[13] Nice Shoot

353 93 7
                                    


Wah ... gila!

Dijemputnya jaguar, lho, bukan sedan sembarangan. Nomor plat-nya saja dua digit yang gue rasa pajaknya pasti mahal. Kalau enggak salah B-4-LIM. Sayangnya gue enggak melihat siapa yang menjemput. Apa pria paruh baya yang sama atau bukan. Tapi melihat gelagatnya yang mengesankan buru-buru, mungkin enggak mau ketahuan sama gue, gue yakin kalau dia dijemput orang yang sama saat itu.

Benar-benar Harada ini simpanan, ya? Enggak sangka gue. Penampilannya menipu gue banget.

Gini, gini. Jangan sela gue dulu. Penampilan dia biasa aja, enggak menonjol seperti staff gue yang ada, gue memperbandingkannya sama mereka aja deh. Kalau sama Barbie-barbie yang Nyokap sodori jelas kalah jauh.

Serius.

Cuma pakai kemeja longgar lengan panjang sama celana enggak terlalu ketat. Sopan banget penampilannya ditambah wajahnya yang memang gue rasa hanya pakai make up tipis, poni depan macam anak SMA, belum lagi kacamata burung hantunya itu ganggu banget. Bagian mana yang menarik dari dia? Di mata gue enggak ada.

Tadinya gue mau nyangkal pemikiran picik yang sejak gue lihat Harada sama pria tua di mall membawa tentengan itu tapi semakin nyata gue lihatnya sekarang. Ck! Mungkin dari segi penampilan dia biasa aja, ya. Siapa tau karena servicenya oke, makanya jadi peliharaan.

Antara miris dan enggak sangka aja gue. Mungkin kalau macam Risa atau Dania yang menurut Teddy kehidupannya cukup hedon—gue setuju pada bagian itu memang. Gimana enggak? Hampir tiap malam weekend mereka berdua party di Kemang. Gue aja masih mikir-mikir bukan enggak mau tapi seringnya, pulang dari sana badan gue sakit semua—pemikiran mereka berdua ini jadi simpanan, gue wajar kan hal itu.

Nah ini?

Gue ngusap dada aja deh.

"Lho, Bos? Belum balik?"

Astaga! Subhanallah! "Ngagetin gue aja lo!"

Dia malah tertawa puas banget. "Lo bengong, Yan? Ayam tetangga mati nanti."

"Tetangga gue enggak ada yang miara ayam."

Masih juga tawanya berderai. "Gue pikir lo sudah balik."

"Baru mau balik. Gue duluan, deh."

"Lah, baru mau gue ajak ngopi."

Kening gue berkerut. Tumben. Biasanya Teddy ini paling malas kalau diajak mampir-mampir kecuali ada acara tertentu.

"Gue traktir yaelah."

"Bukan gitu, Bro. Tumben aja."

Dia malah nyengir. "Ayo lah."

Ya sudah, gue urungkan niat untuk segera pulang. Padahal gue pengin ngobrol sama Nyokap nantinya. Mungkin nanti gue tanya sekelebatan aja dan begitu sampai di apartement, gue telepon untuk bicara sama Bokap. Semoga beliau belum tidur. Kalau pun sudah, gue sempatkan pagi telepon. Weekend yang gue janjikan pulang, ternyata enggak bisa. Ada rapat tadi siang dan butuh ektra kerja di hari Sabtu kemarin. Dan gue merasa banget bersalah.

Alhamdulillah banget, keadaan Bokap sudah jauh lebih baik. Gue larang dia kerja semingguan ini. Enggak gue kasih dia kerja atau ada email masuk ke laptopnya. Bokap punya anak buah banyak. Kompeten. Kenapa mesti beliau juga yang usaha keras? Heran gue.

Balik lagi ke Teddy. Enggak banyak bicara di antara kami sepanjang menuju Plaza Senayan. Enggak mengeluarkan mobil karena Teddy bilang pengin melemaskan kaki. Gue enggak masalah karena suasana juga enak. Santai. Enggak akan dikejar-kejar kerjaan lanjutan. Obrolan kami ringan-ringan aja seputaran kerjaan yang masih butuh penanganan lebih.

FALL DOWNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang