[25] Fix! Gue gila

373 113 18
                                    


Gue enggak pernah memaksakan sebuah kehendak pada seseorang, perempuan terutama. Kalau dia sudah menolak, ya sudah. Gue biasa saja dan lebih sering setelahnya si perempuan itu yang malah mengejar-ngejar gue. Awalnya gue senang-senang saja tapi makin lama jengah juga dengan keadaan seperti itu.

Memang, awalnya gue yang salah. Istilah kerennya apa, ya? Bikin baper anak orang? Ah, itu lah. Makanya sekarang gue malas melakukan hal itu lagi. Gue bersikap sama rata pada semuanya yang pernah gue temui, termasuk barbie-barbie pilihan Nyokap. Biar kepala gue enggak pening sendiri.

Tapi semua itu enggak berlaku di depan Harada. Gue yang tadinya mau bersikap biasa saja, enggak terlalu terusik dengan sikap dinginnya, malah ... astaga! Kacau banget. Rasanya gue pengin ke dokter buat cuci otak biar enggak lagi-lagi mengulangi kebodohan kuadrat yang baru saja gue lakukan.

Menariknya?

Memaksanya masuk ke mobil?

Demi apa coba? Hanya untuk mengantar dia ke rumah?

Ya Robbi salam! Belum pernah gue seperti ini sebelumnya. Sudah sepanjang jalan Harada enggak banyak bicara dan menjawab pertanyaan gue singkat banget. Terlalu malu, gue memilih menceburkan diri saja. Biar lah. Gue hanya berdoa sepanjang jalan pulang, Harada enggak punya pikiran macam-macam.

Duh, bego Rian! Mana ada perempuan yang masih punya pikiran positif kalau cara lo kayak tadi? Lagian kenapa bisa lost control gitu, sih? Astaga Tuhan! Kenapa gue bego banget!!!

Ini semua karena tampang Harada yang enggak pernah mau menatap gue lama kecuali tadi. Dia mendongak, wajahnya yang polosan itu sama sekali enggak ada takut-takutnya menatap gue. Walau enggak ada kata-kata protes terucap, tapi gue tau, dia enggak mau ngalah perkara tadi.

Diajak ngopi bareng, enggak mau.

Diantar pulang, nolaknya bikin gue kesal sendiri.

Diajak makan apalagi, kesannya gue maksa banget sama dia.

Sumpah, ya, ini semua karena rasa penasaran gue sama sosok Harada. Gue pengin tau dia tinggal di mana dan paling enggak, sedikit saja dia macam perempuan-perempuan yang pernah dekat sama gue. Senang-senang saja pulang bareng dan bisa ngobrol sama gue.

Enggak semua perempuan sama seperti itu, Rian!

Jadi benak dan otak gue ini perang. Otak gue bilang, gue paksa saja sampai rasa penasaran gue tuntas. Sementara benak gue berkata, itu enggak bagus sama sekali. Apalagi Harada ini bisa dikategorikan jauh dari yang menjadi standart gue mengenai perempuan.

Penasarannya gini, menurut otak gue yang cerdas ini, gadis macam Harada hanya polosannya aja yang terlihat aslinya enggak. Buktinya, dia dijemput om-om. Mobilnya mewah pula. Gue perlu membuktikan sendiri, kalau dia minimal tinggal di apartement mewah. Atau kalau perempuan itu terbiasa dengan laki-laki, sikapnya pasti manja dan dengan mudah bisa gue rayu.

Sayangnya gue salah total.

Sikap Harada ketus sekali dan seolah gue ini hama. Ditambah arah yang ia tunjukkan justeru mengarah pada perumahan biasa. Gue disuguhkan dengan rumah dua lantai yang asri dan homey banget walau dari luar tapi kesan itu sudah gue dapatkan. Dan juga ... mobil sedan Harada masuk ke dalam dan terparkir di sana.

Artinya ... mobil itu miliknya.

Tapi enggak menutup kemungkinan, kan, kalau semuanya fasilitas dari Om-nya itu?

Ck!

Tapi juga ... kenapa dia dingin banget sama gue? Memangnya om-om yang dia miliki, ganteng banget?

Rian! Rian! Lo kenapa, sih?

Gue sampai mengetuk klakson mobil berkali-kali di area parkiran apartement saking kesalnya dengan apa yang gue pikirkan. Juga tindakan gue yang di luar kebiasaan ini. Semacam ... gue enggak terima kalau Harada bisa melihat orang lain. Pria berumur pula. Tapi matanya malah enggak melihat ke arah gue.

FALL DOWNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang