Bab 1 : Kehidupan masa kecil

676 73 11
                                    

Matahari sayup menatap bumi. Burung - burung pun mulai kembali ke sarangnya masing - masing. Suara mengaji di toa masjid menggema ditelinga. Langkah anak - anak menyusuri jalanan desa yang basah habis hujan sore tadi.

Seorang gadis belia berjalan bersama teman seusianya. Mendekap Al-qur'an di dadanya. Dia sebentar lagi lulus SD. banyak yang bilang sekolah SD selesai, mengaji pun akan ikut selesai.

Rayna Kamaliya nama gadis belia itu, tidak ingin membenarkan anggapan semua orang. Dia akan berusaha terus mengaji kepada Ambu dan Abah walaupun kelak dia sudah remaja lekas dewasa.

Masjid yang di samping kediaman guru ngajinya sudah penuh oleh jama'ah untuk shalat maghrib berjamaah. Rayna ikut dalam shaf karena mengajinya bagian malam.

Selesai shalat, mereka lekas masuk ke kediaman Ambu dan Abah. Ada tempat terpisah lelaki dan perempuan untuk mereka mengaji. Biasanya Abah akan mengajar para lelaki. Ambu yang perempuan.

Ada sekat di antara tempat lelaki dan perempuan tapi di tengahnya mungkin bekas pintu yang sudah dibuka. Mereka bisa melihat satu sama lain diam - diam. Bagi Rayna, bekas pintu itu kebahagiaan baginya karena dia bisa melihat seseorang di sana.

Gadis kecil seusianya telah disisipi rasa menyukai. Rasa suka yang wajar, kekaguman yang wajar karena Kang Abbas anak lelaki yang mumpuni dalam hal agama. Dia dididik sedemikian baik oleh Ambu dan Abah yang tak lain adalah kedua orangtuanya.

"Abbas, abah ada undangan pengajian di desa sebelah. Lanjutkan mengajar teman - temanmu," ujar Abah.

Abbas mengangguk, walaupun masih terbilang muda. Dirinya sudah mampu untuk mengajar teman sebayanya.

"Ambu pun ikut menemani Abah, Rayna ajarkan teman - temanmu juga ya. Nanti kalian pulang seperti biasa," Ambu menimpali.

Rayna tidak merasa dirinya lebih baik dari teman - temannya dalam hal mengaji tapi Ambu selalu meminta untuk mengajar. Rayna tidak keberatan untuk itu.

Sepeninggal Abah beserta Ambu suara yang tadinya bergemuruh yang ngaji tiba - tiba berubah menjadi godaan.

"Ehem, Abbas lope Rayna, ehem." Goda teman - temannya.

Ada celetukan godaan itu, teman - temannya serempak menggoda mereka berdua. Rayna dan Abbas lantas kelimpungan, tanpa sengaja beradu tatap. Merah wajah keduanya.

Melihat Rayna dan Abbas mati kutu. Teman - teman mereka serempak tertawa.

"Sudah, ayo kita lanjutkan mengaji lagi," ujar Abbas.

Mereka semua menurut, kembali melanjutkan ngaji mereka.

***

Setelah pukul delapan malam. Anak - anak ngaji bubar. Sebagian yang lain masih dibelakang karena membereskan ruangan mengaji mereka begitu pun Rayna.

"Kang Abbas, sapu di mana ya?" tanya Rayna mau menyapu lantai bekas karpet.

Abbas dipanggil Akang oleh anak - anak ngaji.

"Di dalem rumah kayaknya Na, ambil saja," jawabnya.

Dari ruangan mereka ada pintu menuju ke tengah rumah. Rayna pun mengambil sapu itu ke dalam. Di dalam Rayna tidak menemukan sapu itu.

"Ada gak, Na?" tanyanya ikut masuk ke dalam.

"Belum ketemu kang,"

"Ah, sepertinya di kamar. Sebentar ya,"

Saat Abbas sibuk mencari Rayna melihat sekeliling. Abbas anak satu - satunya. Penerus Abah untuk menyiarkan ilmu. Keluarga Abah dulunya adalah sepuh desa yang pertama kali datang untuk menyiarkan ilmu agama.

Keluarga mereka dihormati karena jasanya mengajak masyarakat mulai mengenal agama.

Kehidupan masa kecil mereka menyenangkan. Sepulang sekolah mereka tidak pernah jauh dari tempat mengaji. Libur biasanya mencuci karpet atau beberes tempat ngaji.

Saat itu mereka sering bertemu. Satu sekolah juga. Seperti halnya masa kecil mereka pun bermain bersama.

Waktu kelulusan pun tiba, anak lain melanjutkan sekolah ke sekolah menangah pertama tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Abbas satu - satunya yang sekolah jauh.

Dia sekolah dan juga pesantren di Yayasan milik Omnya Abbas di kabupaten lain.

Sore itu semua anak pengajian berkumpul di pengajian. Kebanyakan anak - anak yang ngaji malam. Pagi di hari ahad itu mereka melihat Abbas untuk yang terakhir karena setelah itu mereka akan jarang ketemu.

Rayna beserta temannya yang lain melihat Abbas yang menyalami teman lelakinya. Saat ke temannya yang perempuan dia hanya memberikan seulas senyum. Senyum yang mampu membuat orang memblasanya dengan seulas senyuman juga.

"Aku berangkat ya teman - teman. Do'a in semoga Abbas betah di sana," ujarnya.

Semua teman - temannya meng aaminkan. Abbas masuk ke dalam mobil, sebelum masuk apa hanya perasaan Rayna saja atau tidak. Dia melihat Abbas tertegun menatapnya sejenak.

Rayna yang setengah melamun, tersadar dan memberikan seulas senyum. Senyumannya dibalas lebar oleh Abbas yang langsung melambaikan tangannya kepada teman - temannya.

Kehidupan masa kecil itu sederhana tapi entah mengapa membekas di hati  Rayna Kamaliya.

Apa mungkin kehidupan masa kecil mereka pun membekas di hati Abbas?

Waktu tak serta merta memberi jawaban. Dirinya lekas berputar sebagaimana detaknya merupakan nilai tak ternilai bagi umat manusia.

***

Assalamulaikum Readers semua. Sepertinya aku akan kembali menulis, mudah - mudahan bisa konsisten di tengah gempuran ibu - ibu anak satu.

Selamat membaca aja ya..Semoga suka..^^

Dua TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang