Tangkainya iman memiliki cabang
di mana salah satunya
adalah rasa malu.Malam dingin semakin dingin. Rayna terjaga di kamarnya sendiri, melihat wajahnya sendiri dicermin. Meratapi kebodohannya yang keterlaluan saat ini. Bagaimana bisa dirinya melupakan hijab yang selalu dia pakai untuk menutupi auratnya.
Tidak terduga, Abbas melihatnya. Melihat rambutnya terurai begitu saja. Wajahnya memerah, saat mencium aroma Abbas dari jaket yang dia pegang saat ini. Entah ini sebuah keberuntungan atau tindakan tidak terpuji lainnya.
Rayna memilih lelap, membiarkan berbagai kata, tanya menghilang sendiri dari kepalanya.
Ke esokan paginya, Rayna enggan untuk sekedar keluar rumah. Dwi yang mengajaknya untuk lari pagi pun dia abaikan. Dia malu untuk bersitatap kembali dengan Abbas. Kejadian semalam masih mencengkram kuat kepalanya.
"Nih, aku bungkusin soto untuk kamu," Dwi menyodorkan kantung kresek.
Rayna mengambil mangkuk di dapur, memakannya dengan ditemani oleh Dwi.
"Pagi ini bukannya ada bersih-bersih tempat ngaji dan masjid? Aku lihat anak-anak sepulang lari pagi langsung pada ke sana."
Rayna mengangguk saja, dia tidak akan ikut acara bersih-bersih hari ini.
"Kamu tumben tidak ke sana? Harusnya ini kesempatan, noh kang Abbas ada di sini. Bisa tebar pesona kamu," sambung Dwi lagi.
"Tebar pesona apaan, aku lagi gak enak badan. Masuk angin kayaknya gara-gara ngejemput tuan putri berbuat onar,"
Dwi terkekeh merasa bersalah.
"Maaf ya ngerepotin tapi kayaknya aku suka beneran sama Adrian, dia terus menerus minta maaf sedari semalam karena tidak bisa mengantarku pulang. Sweet gak sih."
Rayna memutar mata malas.
"Dwi sebagaimana pun kamu suka sama lelaki tapi harus ingat marwahmu sebagai seorang perempuan."
"Aku tahu kok, udah geude kali aku juga Na."
"Iya tapi jangan sampai khilaf, apalagi kalian suka keluar malam-malam. Godaan setan itu nyata, apalagi aku banyak yang denger Adrian tidak sebaik itu."
"Dia baik sama aku kok, Na. Aku norak dibawa ke tempat tongkrongannya tapi dia tidak malu sama sekali."
Obrolan mereka terintrupsi suara panggilan dari handpone Dwi. Adrian menelponnya. Rayna melihat Dwi kesenengan dan tenggelam dengan obrolan sejoli yang sedang dimabuk asmara.
Rayna menyimpan mangkuk kembali ke dapur. Sarapannya tandas hari ini. Orangtuanya sudah ke ladang. Apa dia menyusul orangtuanya saja hari ini. Di rumah saja seharian pasti membosankan, pikirnya.
Dwi sudah melambaikan tangannya mau kembali ke rumahnya. Rayna mengangguk saja. Dia akan menyusul orangtuanya saja kalau begitu, untuk hari ini.
***
Di ladang orangtuanya sedang memanen cabe rawit, harganya sedang bagus-bagusnya untuk tahun ini. Rayna membantu, berjibaku dengan terik matahari.
"Assalmaualaikum."
Terdengar suara yang akrab di telinga Rayna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Takdir
SpiritualRayna Kamaliya seorang gadis desa yang lugu. Menaruh hati ke teman masa kecilnya Abbas Khalid Razi seorang lelaki sholeh bernasab baik dari orangtuanya. Lelaki terjaga itu apa pantas menjadi harapannya? Di sisi lain ada seorang lelaki pemaksa teman...