"Setiap manusia, selalu punya masalahnya masing-masing, tapi yang sering diragukan ialah jawaban yang semestinya dicari untuk kemudian ditemukan."
***
Utara's POV
"Punya siapa nih?" pertanyaan Athaya membuat gue ikut menatap rupa-rupa tas plastik, cokelat, bunga, dan bungkusan lain yang memenuhi meja.
"Mau jawab punya gue, tapi gak bakal ada yang percaya juga, jadi ya punya siapa lagi selain si abang-abang idola sekampus," kali ini Langit menatap gue.
"Buat gue? Dari siapa?"
"Gatau dari siapa aja, tadi Adek lo cuma nitipin ke kita doang." Fajar menyahuti pertanyaan gue dengan mulut yang masih terus mengunyah cokelat. "Tapi sebagai ongkos titipan, gue makan duluan deh coklatnya. Gausah ijin sama lo nggak apa-apa, 'kan?"
"Tadi Adek gue di sini? Kok gak ada yang nelpon gue?"
Langit melirik ke arah gue kesal, "Makanya cek hape, orang dari tadi gue udah ngabarin."
Gue mengeluarkan ponsel sejenak, lalu terkekeh menatap Langit dan Fajar seraya memasukkan makanan dan barang yang tergeletak asal di atas meja. "Pasti tadi adek gue ngomel-ngomel deh."
***
Ada banyak hal yang semestinya masih bisa dihargai sebelum hadirnya hilang. Dan mungkin, kebersamaan empat anak lelaki ini, juga jadi satu dari ribuan memori yang akan terkenang hingga tua. Sebab nyatanya sibuk akan ada di antara kesempatan untuk bertemu, yang tak lagi mudah untuk kemudian dirajut.
Empat rahasia atas hidup yang masing-masingnya emban, ialah satu dari banyaknya hal yang perlu dibahas sesekali, agar penuh tidak pernah membuat amarah meledak di antara kehidupan.
Utara, Athaya, Langit, dan Fajar tidak pernah hidup dengan damai selaiknya muda-mudi pada umumnya. Tapi mereka tetap tahu caranya menjadi waras, juga menikmati hidup meski morat-marit ingin teriak lelah pada jiwa yang katanya kekeringan.
***
Utara's POV
"Eh habis ini kan pelajarannya Bu Ratih, cabut aja yuk!" ajakan Fajar membuat gue lagi-lagi tertawa, sebab sudah sejak tadi bisa menebak ke mana isi pikirannya mengarah.
Gue nggak akan pernah bilang bahwa gue mahasiswa paling teladan, tapi kalau dibandingkan Fajar, gue sangat amat bisa dibilang jauh lebih rajin. Nggak pernah ada absen yang gue ambil lebih dari tiga kali di tiap mata kuliah, meski kesibukan kadang bikin kepala gue mau meledak.
"Mau ke mana dulu?" Langit yang sejak tadi sibuk memainkan ponselnya, turut meramaikan obrolan. Sesekali gue menilik lincah gerak tangannya membalas beberapa direct message yang masuk.
"Ke mana keklah, yang asyik-asyik kan banyak tuh. Gue kan udah nyumbang ide buat bolos, nah sekarang gantian kalian yang sumbang ide mau ke mananya."
"Mulut lo!" Satu jitakan yang cukup keras dari Langit mampir di kepala Fajar, membuat gue nggak bisa lagi menahan tawa. "Bener-bener ye ini manusia satu! Lo tuh abis nyumbang ide buat bolos kok malah bangga. Belajar woy, biar cepet lulus!"
"Ah belajar mulu, 'kan udah pernah, tadi pagi juga kita udah belajar. Ya nggak, Tha. Lo ikut, nggak?"
"Udah pernah."
"Udah pernah apaan?"
"Udah pernah bolos."
Sontak gue dan Langit memecah hening kantin dengan tawa yang cukup kencang atas jawaban Athaya. Balasan untuk tanya Fajar dia cetuskan singkat dan menusuk, namun diungkapkan dengan wajah yang tetap datar.
![](https://img.wattpad.com/cover/355326168-288-k822216.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Renjana
RomanceRasa itu begitu luas, dan jika menyatakan hanya supaya bisa memiliki serta menggenggam, mungkin rasa itu akan berubah. Sebab "selamanya" hanyalah sementara.