"Tidak pernah ada rasa yang membunuh, namun yang ada hanyalah kamu yang berulang mengeluh."
***
Waktu sudah menunjukkan pukul satu siang, dan suasana kantin sudah berubah bak pasar pagi yang penuh dengan debat tawar menawar. Riuh suara mahasiswa yang tengah memesan makanan tenggelam bersama dengan candaan di setiap meja yang telah terisi. Semua orang tengah larut dalam diskusi bahkan gosip-gosip yang katanya kekinian. Namun lain halnya dengan seorang perempuan yang mengenakan kemeja katun rayon berwarna putih dengan earphone yang sedari tadi melekat di telinganya.
Alunan lagu "One Last Time" dari Ariana Grande serta semangkuk bakso berhasil membuatnya bahagia di terik mentari hari itu. Perempuan tersebut memilih tempat duduk yang cukup jauh dari keramaian kantin. Meja bundar di bawah pohon akasia, yang letaknya di luar area kantin menjadi salah satu tempat favoritnya dan ketiga sahabatnya melewati jam pergantian kelas seperti saat ini.
Utari's POV
"Sumpah ya, gue gak tau isi otak itu cewek-cewek apaan. Emang gak ada kerjaan lain apa, selain gangguin gue dengan nitipin barang-barang kayak gini?"
Gue meletakkan asal setumpuk cokelat, surat, serta bunga-bunga yang katanya identik dengan ungkapan rasa cinta di sisi meja yang masih kosong.
"Lo tuh ya! Udah gak masuk kelas, eh dateng-dateng malah ngomel. Heran gue." Rasi melirik sekilas ke arah gue, lalu kembali menikmati baksonya. "Ya udah sih maklumin aja, Tar."
"Tapi, Ras, gue bosen. Males tiap jalan dihalangin mulu, terus mereka nitip inilah itulah, pake salam-salam pula. Lagian ya, emang Abang gue artis? Kalau emang mau ngasih ya kasih ke dia aja langsung, gausah nitip ke gue gituloh."
Mata gue sekarang sepenuhnya menatap Rasi yang tengah menyeka keringat di wajahnya. Sekali lagi ia melirik malas pada barang-barang yang gue yakin banget dia juga bosan melihatnya terus-menerus. "Karena sekalian modus mau deketin lo kali, lagian kenapa lo gak bilang langsung ke mereka kalau lo gak suka dititipin?"
"Udah, tapi tetep aja tuh mereka gak peduli."
"Ya udah kalau gitu terima nasib aja, gausah dikeluhin sama dibikin ribet, meledak lama-lama ngeluhin hal yang sama terus."
Ya nggak salah juga sebetulnya apa yang barusan Rasi bilang. Gue lagi-lagi mungkin memang harus menerima nasib karena udah terlahir jadi adiknya Utara. Si sosok laki-laki sempurna yang digadang-gadang bisa masuk kandidat mantu idaman, apalagi melihat prestasinya yang segudang. Gue nggak melebih-lebihkan hanya karena dia abang gue, karena emang dia sesempurna itu dari segi akademik maupun non akademik.
Kadang gue bahkan bertanya-tanya, kenapa ada dan kenapa bisa manusia kayak gitu hidup? Bukan berarti gue mau dia nggak hidup, cuma kayak, kok bisa? Kenapa dunia nggak adil? Si Utara Utara itu punya banyak hal yang bisa dibanggakan, sedangkan gue ya nggak jauh-jauh dari predikat adiknya Utara, bahkan yang lebih pedih lagi kalau di keluarga paling juga ditambahin dengan label si penyakitan.
Ini emang bukan kejadian yang baru pertama gue alami, dititipin ini itu sama orang-orang yang katanya tertarik. Tapi nggak tahu kenapa, gue masih aja belum bisa terbiasa. Ada banyak hal di diri gue yang justru bawaannya mau marah tiap lihat semua perhatian yang ditujuin ke Utara. Kalau dibilang iri, nggak juga atau bisa jadi emang gue iri. Gue iri karena gue nggak pernah dapat perhatian yang sebesar itu dari keluarga, bahkan orang lain.
"Gatau ah, Ras. Sini bagi minum lo dulu. Haus banget gue, panasnya makin hari makin kebangetan, neraka beneran udah bocor kali ya?!"
Coret semua ocehan gue tadi, karena itu semua nggak ada apa-apanya dibandingkan keluhan Lintang yang baru aja muncul dengan muka yang ditekuk. "Aduh girls, bantuin Lintang dong nyari ide feeds yang baru. Bosen nih lihat Instagram Lintang yang gini-gini aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Renjana
Roman d'amourRasa itu begitu luas, dan jika menyatakan hanya supaya bisa memiliki serta menggenggam, mungkin rasa itu akan berubah. Sebab "selamanya" hanyalah sementara.