"Dan di antara tiap-tiap sikap yang diberitakan pada khayalak ramai, sebetulnya ada perasaan yang ditanggalkan hanya untuk diri sendiri."
***
Utari's POV
"Dek, gue nggak jadi ke sana, gapapa, ya?"
Kalau gue boleh ketawa ngakak tanpa mengurangi rasa sopan, gue pasti udah ketawa denger apa yang barusan dibilang sama abang gue. Ya gimana, ini tuh bukan kali pertama dia membatalkan janjinya. Gue malah bisa bilang kalau ini udah jadi kebiasaannya.
"Apaan sih lo? Tadi bilangnya bisa, sekarang gabisa lagi. Lo tuh kebiasaan deh! Suka batalin janji seenak jidat. Besok-besok, kalau lo butuh bantuan, gausah nyari gue lagi."
"Ye kok gitu. Ini serius, Dek, gue lagi sama anak-anak, ogah gue kalau harus bawa mereka ke tempat lo."
"Bodo! Urus aja sana urusan lo yang gak pernah selesai-selesai itu sendirian. Bye!"
Kesal? Udah pasti. Marah? Udah nggak ada lagi kayaknya perasaan marah, saking udah terlalu sering gue kecewa dengan sikap Utara belakangan ini.
"Siapa, Tar?"
Suara Rasi membuat gue buru-buru menyeka airmata yang hampir jatuh. Ponsel yang tadi gue pegang hanya bisa gue lempar asal di tumpukan buku, lalu berbalik arah menatap Rasi. "Hmm. Itu, biasalah, pujaan hatinya Sisi," jawab gue seadanya sambil memegang dada kiri gue yang semakin terasa sesak.
"Bang Uta? Ih kenapa gak kasih ke gue aja sih tadi?"
Teriakan nyaring Shira membuat gue hanya menggelengkan kepala, dan meliriknya malas. "Sekali lagi lo manggil nama Utara kayak gitu, gak ada ya namanya lo nginep-nginep di sini lagi."
"Yaelahhh, iya iyaaa. Lagian kan fans-fansnya emang manggil gitu, Tar."
"Bodo amat. Gak demen gue dengernya, geli. Lagian kenapa harus Utara sih, yang lain 'kan bisa. Lagian lo juga udah punya cowok, Si."
"Yee selama janur kuning belum melengkung mah nggak masalah." Shira menyenggol lengan gue pelan, setelah gue ikut berbaring di antara dia dan Lintang. "Gue juga 'kan cuma pacaran, suka-suka doang mah boleh kali. Lagian lo tau 'kan Tar, seberapa sukanya gue sama Abang lo? Bahkan udah dari lama banget. Buat gue, Abang lo tuh, apa ya, susah deh dipakein kata-kata. Abang lo tuh spesial banget."
"Pake telur berapa?"
"Nggak lucu Rasi!"
Lemparan bantal dari Shira mengenai Rasi yang baru berdiri dan melangkah menuju dapur. Ia melirik sekilas, lalu mengambil bantal yang terjatuh di sebelah kakinya, dan mengembalikannya pada Shira yang saat ini sudah duduk menatap Rasi kesal. "Siapa yang ngelucu, Si? Orang gue nanyain Tari mau telur berapa, gue mau masak mi. Kepedean lo!"
"Eh gue juga mau kalau gitu!"
"Lintang juga mau, Ras."
Rasi memicingkan matanya dan menggelengkan kepala, "Haduh, kalian masak aja sendiri deh, ya."
***
Ada banyak pertanyaan di kepala yang tak selamanya bisa disampaikan dengan gamblang. Entah karena takut menyakiti, entah karena tidak siap dengan jawaban yang ada, atau bahkan memang merasa tak perlu saja untuk bertanya, sebab terlalu tahu jawaban yang diberikan adalah hal standar yang kerap berulang.
Mungkin, itu juga yang kemudian jadi alasan kenapa menyimpan perasaan jadi salah satu hal yang jauh lebih aman untuk dilakukan. Bukan karena tidak ada keberanian mengungkapkan—meski bisa jadi itu salah satu faktor utama—tapi juga karena malas saja dengan hal lain yang mengikuti, pun membuat kepala jadi kian berisik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Renjana
RomanceRasa itu begitu luas, dan jika menyatakan hanya supaya bisa memiliki serta menggenggam, mungkin rasa itu akan berubah. Sebab "selamanya" hanyalah sementara.