Hidup itu pilihan. Kamu menjadi baik, terserah. Menjadi jahat, juga terserah. Namun, pada akhirnya pilihan itu akan membuatmu sadar ketika sudah berada di hari akhir. Semua akan dipertanggungjawabkan entah mulai dari bagaimana sikap kepada keluarga, tetangga, orang lain bahkan kepada diri sendiri.
Maka dari itu, jika mendengar kalimat hidup itu pilihan, maka pilihlah untuk memulai kehidupan dengan baik. Jangan pernah berpikir menjadi orang jahat, karena itu tidak akan pernah menjadikanmu dihargai, dihormati atau pun di mengerti oleh orang lain.
Sebab, jika kamu menginginkan ketiga hal tersebut sedangkan kamu adalah orang jahat, bukannya mendapat perlakuan baik tetapi sebaliknya akan mendapat perlakuan buruk sama halnya seperti kamu berlaku buruk kepada orang lain.
Berbuat baiklah jika kamu ingin mendapat respon baik dari orang sekitar. Sebaliknya, berbuat jahatlah jika kamu ingin mendapat respon buruk dari orang sekitar. Maka pilihlah, itu hak mu sebagai manusia untuk memilih.
Tapi ingat, sebagai manusia, sebagai hamba, sebagai seonggok daging hina ciptaan-Nya tidaklah pantas menjalani hidup sesuka hati, menjalani hidup semaunya bahkan menjalani hidup seperti orang jahat.
Karena yang pantas untuk kita jalani ialah menjadi orang baik, menjadi manusia yang baik bermanfaat bagi orang lain serta menjadi hamba yang taat patuh menjalani kewajiban akan perintah Allah dan menjauhi, mengingkari akan larangan Allah.
"Jadi orang baik maka orang-orang akan memperlakukanmu dengan baik juga? Bullshit! Bertahun-tahun gue baik sama mereka balasannya apa? Cacian, hinaan, batin gue tersiksa. Kalau nggak niat jadiin gue anak, lebih baik buang aja atau bunuh gue sekalian."
Gadis itu membuang ponsel asal hingga menimbulkan suara dentuman cukup keras. Sejenak ia melirik, memandang acuh pada ponsel yang tergeletak di lantai samping tempat tidur. Membiarkan begitu saja tanpa ada niat memungut benda tipis berwarna putih tersebut.
Merebahkan diri di tempat tidur, ia menatap lurus dinding putih polos yang ada di hadapannya. Jemari lentik bergerak abstrak bergerilya ria di lengan kiri, senyum tipis terukir merasakan betapa banyak karya yang sudah ia buat. Terselip rasa kecewa menyelimuti diri tatkala mengingat kembali apa yang telah diperbuat adalah hal terlarang dalam Islam. Namun apa boleh buat, bisikan setan berhasil memperdayainya.
Hingga suara dering ponsel menyadarkan membuat gadis itu terpaksa bangun mengambil ponsel yang masih tergeletak di bawah. Netranya menatap malas tatkala melihat nama di layar ponsel. Pria menyebalkan, pengganggu, tapi perhatian, spesial dan tanpa rasa berdosa pria itu berhasil membuatnya mengerti tentang ... cinta.
"Apa?" jawabnya malas setelah menggeser ikon warna hijau pada layar ponsel.
"Etdah buset, jutek amat."
"Bodo amat. Lo ngapain telpon gue?"
"Lo udah dengar pesan suara yang gue kirim? Ingat, hidup cuma sekali. Jangan sampai lo mati muda gara-gara sering–"
"Lo tahu dan paham gimana gue. Cuma dengan cara itu gue bisa tenang, Satya!"
"Tapi, Ay–"
Gadis itu mematikan ponsel sepihak tanpa mengindahkan nasehat lagi dari pria bernama Satya. Mendengus sebal, ia meletakkan ponsel di nakas dengan kasar hingga menimbulkan suara memekakan telinga. Tidak peduli jika ponsel itu rusak, toh hanya Satya seorang yang menghubunginya.
Orang tua? Peduli apa? Dia hidup aja mereka tidak memedulikan, apalagi jika ia mati. Mungkin mereka bersuka ria, bersenang-senang atau bahkan menggelar pesta perayaan atas kabar duka perihal dirinya.
Memikirkan saja membuat gadis itu lelah. Bagaimana sikap dan perilakunya di rumah ini tidak ada yang menghargai, selalu salah di mata mereka dan selalu disalahkan padahal sebenarnya ia tidak melakukan kesalahan apa pun.
"Ayumna! Bukankah Mama udah bilang jaga Ayumni dengan baik! Mata Ayumni sembab gara-gara kamu, 'kan!? Apa yang kamu perbuat pada Ayumni!? Ayumna, buka pintunya! Kamu tuli, ha!?"
Gadis bernama Ayumna menghela napas kasar, menghempaskan selimut begitu saja hingga berserakan jatuh ke lantai. Kedua tangan mengepal kuat, menyadari jika hari ini akan di mulai... lagi. Hari dimana cacian, makian, hinaan bahkan perlakuan kasar menyakiti fisik hingga batin Ayumna terjadi.
Ekor matanya melirik sekilas benda kecil di nakas. Senyum tipis terbit dengan pandangan sendu menatap benda kecil tersebut.
Tunggu, ya. Setelah ini lo bakal gue pakai lagi. Thank's, udah jadi alat penenang gue.
Netranya menatap kosong pada pintu kamar. Perlahan ia menyentuh gagang pintu, mendorong perlahan ke bawah dan terbukalah hingga menampakkan seorang wanita paruh baya tetapi masih terlihat cantik. Namun kecantikan itu tidak membuat Ayumna merasa nyaman sebab terselip amarah di wajah beliau.
Selamat datang, luka. Hari ini, esok, dan selamanya lo akan senantiasa menyelimuti kehidupan pahit gue.
Aku nggak tahu nulis apa ini?🙈
Tiba-tiba terlintas gitu aja di kepala wqwqSebenarnya ini bukan cerita pertamaku bergenre angst, mungkin udah kesekian kali. Karena, dulu aku pernah dan sering bikin cuman yaa hiatus beberapa tahun :v.
Entah kenapa terselip pengen nulis lagi genre angst, tapi tetap ada spiritual-nya👍🏻
Untuk kalian yang nggak kuat dengan genre angst atau semacam perasaan kecewa, sedih dan ketakutan mendalam mohon tetap dikuatkan yaa atau nggak skip aja.
Jangan salahin aku kalau tisu rumah kalian abis gara-gara baca cerita Berselimut Luka🙈✌🏻
Gimana menurut kalian?
Next nggak?Tenang aja AYU tetap jalan sampai ending👌🏻
Maaf atas kelabilanku ini. Bikin cerita banyak belum satupun terselesaikan🙏🏻
Jaazaakumullahu khairan 🤍
Batam,
9 November 2023
Epina Mardiana
KAMU SEDANG MEMBACA
Berselimut Luka
SpiritualAyumna Fildzhah Gatrandama. Perempuan berusia 24 tahun kini menetap di rumah orang tua yang menurutnya jauh dari kata nyaman. Setelah tamat sekolah ia segera mencari pekerjaan supaya tidak membebani keluarga, ah, lebih tepatnya malas membuat orang t...