26. Maaf

1.3K 50 0
                                    

Pukul 19.05 wib, Aby sampai di kontrakannya dengan keadaan lelah. Seharian ini ia jalan kaki ke sana ke sini untuk mencari pekerjaan. Namun, sampai sekarang ia belum dapat pekerjaan. Ia juga memasukkan lamaran ke beberapa tempat, semoga saja ia mendapat panggilan nanti. Ternyata mencari pekerjaan sangat susah, apalagi perbandingan antara lowongan dan pelamar pekerjaan sangat jauh sekali.

Menghela napasnya, ia pun masuk ke kontrakan sambil mengucapkan salam. Namun, tak ada sahutan, ia juga tak melihat ada Maya di ruang tengah kontrakan. Biasanya perempuan itu akan ada di sana sambil memainkan laptop milik Aby untuk jualan online. Perlahan, usaha online shop Maya mulai menambah pelanggan. Untuk itu, sekarang Maya sudah mencoba menggunakan marketplace untuk jualan.

Aby berjalan menuju kamar, hingga ia bisa melihat Maya yang tengah salat. Membuat senyum lelaki itu mengembang, seketika juga rasa lelahnya mendadak hilang, pemandangan di hadapannya sekarang terasa meneduhkan hatinya.

"Assalamualaikum," ucapnya, ketika Maya selesai salat.

Perempuan itu mendongak, melihat ke arah Aby dan tersenyum. Sebelum akhirnya berkata, "Wa'alaikumussalam."

Aby menghampiri Maya yang terduduk di atas sajadah dan masih memakai mukenanya, lalu ia duduk di hadapan Maya dengan senyuman yang ikut mengembang.

Perempuan itu meraih tangan kanan Aby, lalu mencium punggung tangannya, yang dibalas oleh Aby dengan mencium keningnya.

"Kita udah kayak suami istri beneran, ya, Aby," ujar Maya dengan senyuman yang tak luntur dari wajahnya.

"Lah, emang kita suami istrinya bohongan?" tanya Aby.

"Bukan gitu, Aby. Maksud aku itu ... emmm ... apa, ya? Bingung mau jelasinnya, pokoknya gitu, deh," jawab Maya, bingung sendiri. Membuat Aby terkekeh, lalu mencubit hidungnya gemas.

"Nggak jelas kamu."

Maya malah nyengir, lalu menunduk dan tangannya menggelitik telapak tangan kanan Aby yang masih ada di genggamannya. Dan lelaki itu hanya diam saja, dengan kedua mata yang menatap Maya penuh cinta.

"Udah makan, hm?" tanya Aby, membuat Maya mendongak dan menatapnya kembali.

"Udah," jawabnya.

"Makan sama apa?"

"Sayur bayam dari Bu Hartati, tadi Bu Hartati ke sini dan lihat aku masih muntah-muntah. Terus tanya aku udah makan apa belum, aku jawab belum, karena nggak selera. Setiap makan juga malah aku muntahin lagi. Makanya tadi Bu Hartati buatin aku sayur bayam sama bubur, terus nyuruh aku makan. Ya, aku paksain makan walaupun sedikit, sedikit," jelas Maya.

Tangan Aby terulur mengelus kepala Maya yang masih tertutup mukena, wajah perempuan itu tak sepucat 3 hari lalu. Namun, tetap saja ia khawatir ketika Maya terus muntah-muntah. Apalagi, Aby juga tak selalu ada di sampingnya, karena harus mencari pekerjaan.

"Obat dari dokter udah kamu minum?" Maya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Sehari setelah Maya tes menggunakan testpack, keesokan harinya Aby mengajak perempuan itu untuk periksa ke dokter.

Sama seperti hasil dari testpack yang perempuan itu gunakan, saat diperiksa pun dokter juga bilang jika Maya tengah mengandung. Katanya kandungan Maya sudah memasuki Minggu ke-4. 

"Kamu udah makan, Aby?" tanya Maya.

"Udah, tadi mampir ke warteg," jawabnya.

"Salat magribnya nggak ketinggalan, kan?"

"Nggak, kok, tadi juga ke masjid dulu sampai isya sebelum pulang."

Maya mengangguk, lalu kembali tersenyum. Tangannya kini membenarkan rambut Aby yang tampak acak-acakan, lalu beralih mengusap pipi Aby. Sedangkan lelaki itu terus memandang wajahnya.

"Capek, ya?" tebak Maya yang hanya dibalas dengan senyuman Aby. "Nyari kerja sesusah itu, Aby?"

"Belum rezeki, jadi belum dapat untuk sekarang. Besok aku cari lagi."

Perempuan itu menghela napasnya, tak tega melihat Aby setiap kali pulang terlihat kelelahan, tapi juga belum mendapatkan hasil apa-apa.

"Maaf," kata Maya tiba-tiba, membuat Aby menautkan sebelah alisnya.

"Untuk apa?" tanya Aby tak mengerti.

"Sudah membuat kamu harus merasakan keadaan seperti ini, harusnya aku bilang maaf dari awal. Maaf, gara-gara aku, kamu harus memikul beban dan tanggung jawab yang besar. Maaf, gara-gara aku, kamu jadi harus banyak kehilangan. Maaf, gara-gara aku, kamu harus melewati jalan yang terjal. Aku minta maaf untuk semua rasa lelah dan sakit hati kamu, Aby." Air mata Maya menetes begitu saja saat mengatakan itu, entah kenapa ia merasa apa yang terjadi pada hidup Aby adalah karena dirinya.

"May, kenapa kamu ngomong kayak gitu?"

"Karena semuanya gara-gara aku, kan? Aku yang membuat kamu dimarahi dan diusir sama Papa kamu sendiri, aku yang membuat kamu harus rela menjual barang-barang kesayangan kamu, aku juga yang membuat kamu harus susah payah cari kerja."

"Kamu nggak salah, May. Jangan bilang kayak gitu."

"Tapi, hidup kamu berubah setelah menikahi aku, Aby."

Aby menghela napasnya gusar, kedua tangannya menggenggam erat kedua tangan Maya. Entah kenapa Maya malah membahas itu, padahal dirinya sudah sangat ikhlas dengan kejadian yang pernah terjadi, ia juga tak mempermasalahkan apa pun yang akan ia lalui.

"Maya, dengar aku. Hidup aku memang berubah setelah menikahi kamu, tapi aku nggak menyesali apa pun, nggak akan pernah. Termasuk pilihan aku untuk menikahi kamu saat itu. Karena menurutku, nggak perlu ada yang harus disesali, apa yang terjadi, ya memang sudah seharusnya terjadi. Bukankah setiap detik kehidupan kita sudah diatur sebaik-baiknya sama Allah, May? Mungkin, kejadian saat itu bukan kemauanku dan kamu. Tetapi, kita nggak tau, Allah sedang merencanakan apa dibalik semua yang terjadi pada kita sejak malam itu. Aku percaya, May, jika semuanya akan indah pada waktunya. Kita hanya perlu berusaha, berdoa, dan menunggu." Air mata Maya semakin menetes setelah mendengar itu, sejak tahu ia hamil, hatinya jadi sensitif.

"Sini," ucap Aby sambil menarik Maya ke dekatnya, sebelum akhirnya memeluk perempuan itu. "Jangan nangis."

Maya membalas pelukan Aby dengan erat, rasanya sangat nyaman berada dalam dekapan lelaki itu. "Aku bersyukur banget bisa mendapatkan suami seperti kamu, Aby. Tolong jangan tinggalkan aku, sekarang aku hanya punya kamu. Mama aku sendiri nggak tau apakah masih mau menganggap aku anak atau nggak, sampai sekarang Mama nggak pernah menghubungi aku sama sekali," ucapnya. Jika harus jujur, ia sangat merindukan mamanya. Meskipun sikap mamanya berubah sejak berpisah dengan sang Papa, tapi tetap saja ia merindukan sosok mamanya. Lebih tepatnya mamanya yang dulu.

"Aku mana bisa tinggalin kamu, selain kamu tanggung jawabku. Aku juga nggak bisa kehilangan kamu, May. Aku cinta kamu." Aby mengecup puncak kepala perempuan itu, dan mempererat pelukannya. "Bosen nggak?" tanyanya tiba-tiba, membuat Maya mendongakkan kepalanya menatap Aby.

"Heem, bosen banget. Tiap hari di kontrakan terus," jawab Maya.

"Mau jalan-jalan nggak?"

"Jalan-jalan ke mana?"

Aby tampak berpikir sejenak, lalu menatap Maya kembali sebelum akhirnya ia berkata, "Jajan."

Senyum Maya mengembang setelah mendengar itu, lalu menganggukkan kepalanya antusias.

"Ayo," ajak Maya sambil melepaskan dirinya dari pelukan Aby, lalu ia melepas mukenanya.

"Sebentar, aku ambil jaket buat kamu." Aby bangkit dari duduknya, lalu berjalan menuju lemari kecil yang berisi pakaiannya. Ia mengambil satu Hoodie miliknya, sebelum akhirnya kembali pada Maya.

"Ini kan Hoodie punya kamu, Aby."

"Nggak apa-apa, kamu pakai punya aku aja biar lebih hangat."

Maya hanya menurut, memakai Hoodie milik Aby yang terlihat kebesaran di tubuhnya. Bahkan, kedua tangannya tenggelam karena ukuran baju mereka tidak sama. "Aby, kegedean."

"Nggak apa-apa, nggak terlihat buruk juga dipakai sama kamu," kata Aby sambil merapikan rambut perempuan itu yang sedikit berantakan. "Berangkat sekarang?"

"Ayo." Aby menganggukkan kepalanya, lalu menggenggam tangan Maya. Sebelum akhirnya membawa perempuan itu pergi dari sana.

***

Rumah Sepasang LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang