Still Counting (x/1)

12.9K 228 10
                                    

[Rules: Cerita ini akan dilanjut kalau pembaca dapat mengapresiasi melalui komen dan vote]

Happy Reading!


.

.

.

Renjun suka bayi, dan kehamilannya yang pertama ini adalah sesuatu yang sangat berharga baginya. Dulu ia menganggap bahwa momen sakral pernikahan bersama sang suami adalah yang paling berarti, tapi waktu alat tes kehamilan yang ia gunakan sepuluh bulan silam menunjukkan manifestasi dari adanya kehidupan baru yang akan hadir di antara mereka, Renjun berani mengganti statement awalnya tadi. Menikah dengan Jeno memang berarti, tapi diberi anugrah berupa bayi jauh lebih membahagiakan lagi!

Yang lebih membahagiakan adalah fakta bahwa Tuhan menitipkan tidak hanya satu bayi, tapi kembar dua sekaligus dalam satu kabar kebahagiaan yang begitu dinanti.

Ya, kabar membahagiakan sepuluh bulan silam, empat puluh minggu yang lalu. Dan sekarang, seharusnya kebahagiaan itu lengkap jika saja dua bayi kembarnya sudah lahir dan tidak membuat calon orang tua mereka ketar-ketir.

Renjun bahagia sekali dengan kehamilannya, meski kini ia harus menelan ludah dengan susah payah tiap kali menyadari fakta bahwa perutnya sudah membulat besar nyaris empat puluh dua minggu, dan bayi-bayinya masih belum mau lahir juga.

.

"Kalau udah mules-mules kasih tau aku, nanti aku jemput."

"Hm."

Renjun hanya menanggapi ujaran penuh wanti-wanti sang suami dengan singkat. Pagi ini ia sedang berjuang untuk bisa menghadapi hari dengan suasana hati dan kondisi perut yang tidak begitu baik. Sudah sejak semalam perutnya terasa begah dan tidak nyaman, dengan kontraksi palsu yang mulai hilang. Sejak kandungannya menginjak usia empat puluh minggu, Renjun selalu menaruh harapan besar pada tiap kontraksi yang datang. Ia berharap bahwa kontraksi-kontrasinya itu akan menjadi tanda awal persalinan, dan bukan hanya sekedar rasa sakit yang lalu hilang dan meninggalkannya dalam harapan dan rasa kesal.

Sembari menarik-narik ujung sweater yang sudah sangat kekecilan, Renjun bangkit perlahan dari meja makan menuju garasi, menyusul sang suami yang sedang menyiapkan mobil. Hari ini ia punya jadwal mengajar pagi, dan Jeno bisa mengantarnya pergi ke kampus. Jadwal suaminya sebagai manager utama di sebuah perusahaan mobil sedang sedikit lenggang hari ini, karenanya Jeno dapat mengantar Renjun yang sedang hamil besar itu pergi ke tempatnya bekerja.

Memang agak ngeri membiarkan sang istri yang perutnya sudah sangat besar itu tetap bekerja. Tapi Renjun yang keras kepala tetap memaksa untuk menggunakan kesempatan hamilnya itu sampai waktunya tiba melahirkan. Katanya, supaya nanti jatah cuti melahirkannya lebih lama.

"Perut kamu udah gede banget, ngga mau operasi aja?"

Renjun menggeleng sembari dengan susah payah memasang seat-belt. Ibu hamil itu lantas mengelus perutnya yang besar dan sedikit tegang, dalam hati menyetujui ucapan sang suami. Selain karena kembar dan usia kehamilan yang sudah overdue, bayi-bayinya di dalam sana juga sepertinya berukuran cukup berat. Perutnya sudah terlihat sangat besar bahkan saat masih berusia dua puluh minggu. Dan di usia kandungan hampir empat puluh dua ini, Renjun sudah tidak dapat mendeskripsikan sebesar apa perutnya sekarang.

Beberapa orang bahkan mengira bahwa ia hamil kembar tiga, ya ampun!

"Tunggu dulu sampe akhir minggu ini." Jawabnya, sembari sedikit meringis. Satu kontraksi datang dan itu membuatnya banyak meringis, mengatur napas, serta mengelus-elus perutnya sendiri.

"Kamu harusnya pake baju yang lebih longgar."

Jeno berujar iba sembari mengelus perut buncit istrinya. Ia dapat merasakan tendangan bayi-bayinya yang aktif di dalam sana, dan itu sontak membuatnya ikut meringis.

"Udah ngga ada yang cukup. Kalau aku pake kemeja bisa-bisa kancingnya copot semua."

"Serius? Bahkan kemejaku juga?"

Renjun mengangguk sembari meringis lagi. Rasa tidak nyaman dalam perutnya semakin bertambah parah saat ia menyadari bahwa sepertinya ia sedang dilanda sembelit sejak seminggu ini. Kondisi perutnya yang terasa begah benar-benar lebih buruk dari kontraksi.

Mereka sampai di parkiran kampus tiga puluh menit setelahnya. Renjun dengan susah payah keluar dari mobil setelah sebelumnya memberikan Jeno kecupan singkat di bibir. Pria hamil itu lantas menyusuri pelataran kampus dengan jalan yang sudah seperti penguin. Sembari memangku pinggang dan mengelus perutnya yang besar, Renjun melemparkan senyum pada beberapa mahasiswa yang menyapa. Beberapa di antara mereka menatap dosen bahasa Mandarin itu dengan heran bercampur iba, berpikir bahwa seharusnya satu-satunya dosen hamil mereka itu sudah melahirkan sejak berminggu-minggu silam, dan bukannya masih mengajar dengan kondisi perut yang sudah sangat besar.

Perjalanannya menuju ruang dosen tidaklah mudah. Ia harus mengantri lift yang kalau pagi nyaris selalu penuh, atau nekat menaiki tangga menuju lantai lima. Kelas akan mulai lima menit lagi, dan rasanya ia tak punya kekuatan lebih untuk cepat-cepat bergegas menuju ruangannya dan kembali menempuh perjalanan menuju ruang kelas. Sebuah kontraksi kembali menghantamnya kala lift yang ia naiki terbuka dan menyuguhinya area koridor lantai lima. Pria itu melangkah keluar hanya untuk berhenti sejenak sembari mengelus perutnya yang menegang kencang.

"Ugh...."

"Kau harusnya sudah ambil cuti sejak sebulan yang lalu, Renjun-ah."

Sebuah suara mengalihkan perhatiannya. Jaemin, si dosen filsafat, kini sudah menuntunnya sembari sibuk berceloteh. Agaknya pria submisif ini sedang dalam mood yang baik. Tak jarang Renjun mendapati teman sesama dosen terdekatnya ini terkesan murung dan banyak menyibukkan diri dalam diamnya.

"Kamu juga pasti mau bilang kalau harusnya aku sudah melahirkan dari satu bulan yang lalu, kan?"

Renjun berujar dengan sarkastik, meski dengan nada lemah dan tak bersemangat. Jaemin yang mendengar itu hanya mengangkat bahu acuh lantas mengambil alih file bag sahabatnya itu sebagai bentuk bantuan ekstra.

"Aku tidak berpikir begitu, takutnya kamu baru akan melahirkan bulan depan."

"Ah!"

Renjun bergidik ngeri. Ia dengan penuh harap lantas mengelus perut super besarnya itu, membisiki bayi-bayinya supaya mereka mau lahir minggu ini, atau bahkan hari ini.

Bel tanda kelas pertama berbunyi, berbarengan dengan satu kontraksi yang membuat Renjun rasanya sulit beranjak dari kursi.

Diam-diam ia meralat doanya, bayinya jangan sampai lahir saat ia mengajar nanti!

----



Hallo! Blurrysky di sini! Cerita ini sebelumnya pernah dipublish di akun blurrysky666 dan karena author lupa pass, author buat ulang akun ini untuk publish kembali ceritanya. 

Book ini khusus terkait birth story dengan main character Noren. Kalian bisa request ide cerita selanjtnya karena kemungkinan bagian "Still Counting" akan lama pengerjaannya (author harus cari file lanjutan cerita ini). 


MPREG NORENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang