Puteri Ageng

217 5 0
                                    

Pagi hari yang sejuk dan cerah membuatku semangat untuk segera pergi ke sekolah dengan suasana hati yang tenang, burung perkutut yang selalu hinggap di pohon mangga milik nenekku sedang berkicau dengan suara merduanya, para petani yang sudah bersiap untuk pergi ke sawah dan ladang untuk mengambil atau memanen hasil panennya hari ini.

Seperti biasa, aku selalu bangun pagi dan menunaikan sholat Subuh di masjid secara berjemaah. Setelah selesai, aku kembali ke rumah untuk bersiap pergi ke sekolah. Sebelum berangkat, aku sarapan dengan makanan yang sudah disiapkan oleh nenek.

"Ayo, Le, maem dhisik," ujar nenek.

(Ayo, cu, makan dulu)

Setelah makan, aku segera pamit kepada nenek untuk berangkat ke sekolah,

"Nek, Ari berangkat dulu ya."

"Iyo, Le, sing ati-ati, aja banter-banter lek numpak motor."

(Iyo, cu, hati-hati, jangan kencang-kencang naik sepeda motornya)

"Iya, Nek."

Usai berpamitan, aku langsung menyalakan sepeda motorku dan berangkat melewati jalanan ramai yang penuh dengan kendaraan. Setibanya di sekolah, aku langsung memakirkan kendaraanku di tempat parkir sekolah yang ada di bagian belakang dan bergegas masuk kedalam kelas karena giat mengumandangkan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan literasi baca Al-Qur'an akan segera dimulai. 

Ketika berlari menuju kelas, aku bertemu dengan temanku yang satu-satunya aku kenali di dalam kelas, namanya Dhio, anak yang sering terlambat tetapi memiliki otak jenius.

"Hey, Ari, tunggu aku. Tumben kamu telat hari ini, biasanya datang sebelum giat akan dimulai," ucap Dhio.

"Ya tadi karena jalanan macet, biasalah banyak truk-truk besar, mobil, motor para pekerja jadi harus hati-hati. Ayo cepat, lagu Indonesia Raya akan segera dikumandangkan 5 menit lagi, mungkin Bu Alin sudah menunggu di kelas," jawabku.

"Loh, jam pertama memang mapel hari ini apa? Bukannya matematika?" tanya Dhio.

"Haduh, Dhio. Kamu ini terlalu cinta dengan matematika atau gimana sih, sampai lupa jam pertama itu mapel apa. Coba cek jadwalmu dulu," kataku sambil mengelus dada.

"Oh, iya lupa. Hehehe."

"Udah, ngga usah ketawa, ayo cepet," ajakku kepada Dhio.

Ternyata betul apa yang tadi aku prediksikan, Bu Alin sudah ada di dalam kelas. Spontan aku langsung masuk kelas dan menyampaikan permohonan maaf karena telah terlambat.

Bersambung

Puteri AgengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang