"Hei, tadi aku belum tahu namamu siapa, boleh berkenalan?" ucapnya, masih dengan senyum manisnya.
"Boleh, namaku Ari, nama kamu siapa?" jawabku.
"Namaku Lysta, senang bertemu sama kamu. Semoga betah ya berteman sama aku, hehe," jawabnya.
Sudah dua bulan lamanya aku duduk di bangku kelas sepuluh. Aku sudah memiliki beberapa teman yang akrab, termasuk Lysta yang menjadi satu-satunya teman akrab perempuan yang sudah membantuku beberapa kali dalam mengerjakan tugas yang sulit. Dia terkenal jenius dan cerdas, melebihi Dhio.
Pastinya juga cantik, karena yang aku tahu, ia adalah keturunan atau ada trah ndalem ningrat dari Keraton Kasultanan Mataram di Yogyakarta, cucu dari ketrurunan raja di sana. Hingga pada suatu saat, muncul benih-benih rasa suka kepada Lysta, ini terjadi karena kita sering bertemu dan sangat dekat. Tetapi aku tidak berani untuk mengungkapkannya, karena sadar bahwasannya aku ini siapa, punya keahlian apa, diriku tidak bisa melebihi apa yang Lysta punya.
Selama ber bulan-bulan lamanya, tetap kupendam rasa suka itu. Untuk mengatasi hal tersebut, lantas aku bercerita kepada Dhio yang sedang duduk di depan masjid,
"Dhio, aku berhari-hari pengen cerita denganmu, tapi sepertinya aku terlalu malu. Karena aku tidak pernah merasakan hal yang seperti ini sebelumnya. Apa kamu mau mendengarkannya?"
"Haduh, Ari. Kenapa harus bilang seperti itu, aku kan temanmu, jelaslah aku mau untuk mendengarkan ceritamu. Jangan sungkan-sungkan, barangkali aku bisa membantu," jawab Dhio.
"Semoga cerita ini tidak menimbulkan dosa kepada Allah dan tidak termasuk dari salah satu perbuatan zina. Jadi begini, kamu tahu kan Lysta teman perempuan yang selalu dekat denganku?" ujarku.
"Iya, aku tahu, memangnya ada apa dengan Lysta?"
"Entah dari mana dia datang, tiba-tiba saja perasaan suka kepada Lsyta itu muncul dalam diriku dan aku tidak berani untuk mengungkapkan kepadanya karena aku tahu ajaran dari agama Allah Ta'ala, aku takut melanggar apa yang dilarangnya," jelasku.
"Oh, begitu. Intinya kamu menyukai Lysta, puteri dari seorang priyayi ageng karaton itu! Apa aku perlu bilang kepadanya? Hehehe," goda Dhio.
"Loh, jangan! Pokonya jangan ya," rayuku kepada Dhio.
"Iya iya, bercanda kok. Ya intinya biarlah rasa suka itu ada karena itu menunjukkan kalau kamu adalah manusia, itu saja sih pesanku, hehehehe."
"Okelah kalau begitu, terima kasih ya pesannya, kamu memang teman terbaik," ucapku.
"Iya sama-sama, udah ayo sholat Dhuha dulu, barangkali dengan sholat hatimu bisa lebih tenang," ajak Dhio.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Puteri Ageng
Short StorySaat nasib dan takdir dalam asmara saling menipu satu sama lain, hanya waktu yang menjadi saksinya.