Setelah meng-unblock kontak Arsen, Vanya memang memutuskan untuk mengajak pria itu bertemu. Ia tidak ingin egois lagi, dan bermaksud untuk mendengarkan penjelasan dari mulut Arsen sendiri. Biar nanti ia bisa memutuskan apa yang akan ia lakukan setelahnya.
Keduanya memutuskan untuk bertemu di sebuah cafe. Namun, sayangnya sampai satu jam berlalu. Arsen belum juga memunculkan batang hidungnya, pesan yang kembali ia kirimkan pun tak kunjung ada balasan, tak ada kabar sama sekali darinya.
Vanya semakin yakin saja, kalau pria itu tak benar-benar ingin menjelaskan semuanya. Tak pernah benar-benar ingin memperbaiki hubungan diantara keduanya. Ia tak akan datang. Apalagi mengingat kenyataan kalau dia sudah di jodohkan dengan orang lain, sudah pasti kalau calonnya itu melarang Arsen untuk bertemu dengan dirinya.
Akhirnya, Vanya memutuskan untuk menghubungi Clara saja agar menemaninya di cafe itu. Sekedar untuk ngopi-ngopi dan ngobrol biasa.
"Vanya, sorry telat. Lo sih, dadakan banget ngasih taunya. Gue lagi nugas juga." Ujar Clara terengah-engah, sembari mendudukan dirinya di depan Vanya.
"Hari minggu masih aja nugas." Celetuk Vanya.
"Yeuuu, gue mah mahasiswi rajin." Belanya. "Eh btw, udah ketemu Arsen nya ?"
Vanya menggeleng lemas, "Ga dateng."
"Hah serius ?"
"Makanya gue nyuruh lo kesini buat temenin gue, gue badmood banget."
"Gila yaa, udah di kasih kesempatan buat jelasin malah gadateng."
Vanya hanya mengedikkan bahunya pelan, "Lo, kalo mau nugas-nugas aja. Gue cuman minta lo buat temenin gue aja disini."
Sejujurnya, dari lubuk hatinya yang paling dalam. Vanya berharap Arsen akan datang walaupun terlambat. Tapi lagi-lagi harapan hanyalah sebuah harapan yang kadang tak pernah sesuai dengan apa yang kita inginkan. Sampai Clara menyelesaikan tugas kuliahnya pun, Arsen benar-benar tidak muncul.
"Vanya .."
Vanya mengalihkan pandangannya dari lalu lintas yang begitu padat, ia menatap lurus pada Clara yang baru saja memanggilnya. Yaa, selagi Clara tadi menyelesaikan tugasnya. Sedari tadi Vanya hanya sibuk dengan pikirannya sendiri, sibuk berkutat dengan lamunannya sembari menghabiskan beberapa gelas coffee. Hingga tak terasa, pancaran cahaya matahari sore pun sudah mulai berwarna orange keemasan.
"Pulang sekarang yuk, udah mau malem nih." Ajak Clara.
Vanya mengangguk pelan, toh tak ada lagi yang harus ia tunggu. Tak sampai dari 10 menit keduanya kini sudah berada di luar cafe, menunggu taksi kosong yang melintas. Namun, tiba-tiba Clara meminta izin untuk kembali ke café. Mengambil novelnya yang katanya tertinggal. Vanya akhirnya menunggu seorang diri, sembari menikmati suasana senja sore itu. Entah mengapa, semburat kemuning itu selalu berhasil mengingatkannya pada Arsen. Bagaimana tidak, dulu ketika keduanya masih bersama. Menikmati senja selalu menjadi kencan favorite keduanya.
"Vanyaaaa ..."
Gadis itu terkesiap saat samar-samar mendengar suara lengkingan yang memanggil namanya, suara itu mirip dengan suara Arsen. ia merasa sudah gila, sampai-sampai bisa berhalusinasi mendengar suara Arsen yang memanggil namanya.
"Vanyaaaa ..."
Panggilan keras itu sekali lagi berhasil membuyarkan pikiran Vanya, ia tidak sedang berhalusinasi. Arsen benar sedang memangggilnya, Vanya menoleh ke seberang jalan untuk mencari si empunya suara. Kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang sempat menghalangi pandangannya. Hingga tak butuh waktu lama, Vanya bisa melihat Arsen yang sedang berdiri di seberang sana. Pria itu mengenakan kaus hitam lengan pendek, celana levis abu-abu, serta topi hitam baseball yang Vanya rasa itu adalah topi yang pernah Vanya belikan dulu. Arsen memamerkan senyumnya dengan sangat manis, seperti terasa mimpi sudah lama Vanya tak melihat senyumnya itu, senyuman yang benar-benar Vanya rindukan selama ini.
Vanya tak berniat untuk melarikan diri kali ini, seutas senyuman tipis bahkan terbentuk di wajahnya seraya membalas senyuman dari pria itu. Sangat-sangat tipis hingga Arsen pun mungkin tak akan mampu untuk melihatnya. Pandangan Vanya masih fokus padanya, ia terhentak saat melihat Arsen yang tergesa-gesa menyeberang jalan tanpa memperdulikan para pengendara yang mulai membunyikan klakson terhadapnya. Sebuah sepeda motor nyaris saja menyerempetnya kalau ia tak cepat-cepat mengindar. Melihatnya seperti itu benar-benar membuat Vanya hampir gila. Sampai sesuatu yang tak pernah Vanya bayangkan pun terjadi dalam hitungan detik ...
"AAARSEEEEEEN !!!" Teriaknya sekuat tenaga
Suara klakson kini saling bertautan dimana-mana, hingga memekakan telinga. Sekumpulan asap hitam keluar mengepul mengotori udara dari kendaraan roda empat yang baru saja menghantam kendaraan lain di depannya. Sore menjelang malam ini begitu riuh, semua orang menghentikan kendaraan mereka, para pejalan kaki berlarian ke tengah jalan berkerumun pada satu titik, mengelilingi satu sosok yang baru saja tergeletak hebat tak sadarkan diri.
Vanya membeku di tempat, tubuhnya terasa lemas, kakinya serasa tak menapaki tanah. Ia berlutut sembari membekam mulutnya sendiri, tak percaya dengan apa yang terjadi, tak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat. Air matanya membuncah ke permukaan, ia menangis tanpa suara. Dadanya sesak sekali, kepalanya terasa pusing, ia begitu linglung. Waktu seakan berhenti dan dunianya .. seakan runtuh saat itu juga.
Tak berselang lama, suara dari mobil ambulance mulai terdengar semakin mendekat, beriringan dengan cahaya Orange keemasan yang perlahan mulai meredup. Menandakan hari akan mulai gelap, senja terasa begitu singkat, singkat sekali seperti saat Vanya melihat senyuman yang ia rindukan itu.
Tangisnya makin tak bisa ia bendung, menyadari bahwa senja telah memberikannya banyak cerita, tentang senyuman, cinta, tawa, rindu, dan kini .... Air mata.
***
Terima kasih sudah membaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
MEMORIES
FanfictionAku masih selalu merindukannya tak pernah benar-benar melupakannya. Hanya saja, ego dan gengsiku yang teramat besar menenggelamkan semuanya. Sampai ...