The Lysander's

154 13 1
                                    

♛┈⛧┈┈•༶༶•┈┈⛧┈♛

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

♛┈⛧┈┈•༶༶•┈┈⛧┈♛

°

°

°

Pintu kamarnya diketuk pelan, Ethan sudah bisa menebak, siapa kiranya orang di luar sana yang mengetuk pintunya sehalus itu. Ethan mempersilahkan orang itu masuk, seorang gadis muda dengan paras yang begitu cantik membuka pintu dan memasuki kamarnya. Dia adalah Laura Mond Lysander, putri bungsu keluarga Lysander, adik semata wayang Ethan.

Ethan tersenyum pada Laura, atau yang mempunyai panggilan sayang 'Lulu' dari keluarganya. Gadis itu sudah terlihat murung sejak acara sarapan bersama keluarga mereka pagi tadi. "Ada apa, Lulu? Kau nampak tidak bersemangat hari ini? Apa ada sesuatu yang mengganggu mu?"

Laura berjalan mendekat, melewati sang kakak dan duduk di sofa yang berada tepat di bawah jendela kamar Ethan, Laura duduk menghadap Ethan yang terduduk tenang di depan sebuah kanvas lukis yang sedang dikerjakannya.
"Kak, kenapa kamu tidak menolak saja saat orang tua kita mau menjodohkan mu? Hum? Bukankah kamu tidak ingin menikah? Bukankah kamu lebih suka seperti ini? Tidak akan ada yang mengusik mu di sini. Tapi.. Jika kamu menikah.." Laura kesulitan melanjutkan kalimatnya, bayangan buruk dalam kepalanya setelah sarapan pagi tadi begitu mengganggu.

Ethan kembali tersenyum, sejak awal pria itu sudah tahu alasan yang membuat sang adik menjadi murung begitu. Ethan akan diam selama Laura tak membahasnya, namun jika sudah seperti ini, maka Ethan akan mulai bicara.
Tangannya kembali bergerak, mencelupkan kuas pada cat lukis di atas palet, kemudian menorehkan warna-warna itu pada kanvas yang sudah setengah pengerjaan. Sebentar lagi Ethan akan menyelesaikan lukisannya yang ini. "Justru aku harus berterimakasih pada ibu dan ayah karena masih mau memikirkan anak tidak bergunanya ini, ㅋㅋㅋ." Kekehan yang terdengar kering dan menyakitkan itu sampai di telinga Laura, Ethan bahkan menjawabnya tanpa menatap pada adiknya. Pria itu tengah menyembunyikan perasaan terdalamnya.

"Kak, jangan bicara begitu. Kami semua menyayangimu."

Ethan melirik adiknya dari balik kanvas dan kembali terkekeh, "dan tentu aku juga berterimakasih untuk itu, Lulu." Sahutnya kemudian.

Hati Laura sakit, sangat sakit sampai rasanya hampir sesak. Dia tak suka setiap kali Ethan bicara tak masuk akal seperti barusan. Tidak berguna, katanya? Padahal kehadiran Ethan di tengah keluarga ini sangat berarti untuk Laura. Jika tidak ada Ethan, Laura tidak tahu bagaimana dia akan menjalani hari-harinya di sini. Laura bersyukur karena Ethan lahir lebih dulu, Laura bersyukur karena Ethan adalah kakaknya.

Melihat adiknya yang semakin murung, Ethan menghentikan kegiatan melukisnya, meletakkan peralatan lukis itu kembali ke atas meja dan melepas apron yang sudah banyak terkena bekas cat warna. Ethan bangkit dari duduknya dan menghampiri sang adik, mengambil duduk di sebelah gadis itu.

Tangan Ethan kini bergerak mengelus kepala yang lebih muda dengan hati-hati, surai lembut berwarna cokelat gelap khas keluarga Lysander itu sudah tertata rapih, dan Ethan tidak ingin merusaknya. Sebelum bicara, Ethan tersenyum begitu lembut pada Laura yang tengah menatapnya dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
"Jangan terlalu memikirkan ku, Lulu. Aku baik-baik saja dengan perjodohan itu. Syukur-syukur tidak ditolak lagi, ㅋㅋㅋ. Aku tidak ingin membuat kalian susah dan khawatir lebih dari ini, meski aku bilang aku akan baik-baik saja jika hidup sendiri, kalian pasti tidak akan percaya dan tetap mengkhawatirkan ku seumur hidup kalian. Maka, jika dengan menikah bisa membuat kalian merasa lebih lega, aku sungguh tidak apa-apa."

"Kak, tapi bagaimana jika orang itu tidak memperlakukan mu dengan baik?! Aku tidak bisa mempercayai siapapun untuk bersama mu. Sejak dulu.. Sejak dulu mereka semua sama saja, hiks.. Mereka semua.. Hiks.. Mereka selalu jahat." Air mata Laura luruh kala dirinya kembali mengingat hal menyakitkan di masa lalu. Hal-hal tak mengenangkan dan tak layak yang kakaknya terima dari orang-orang.

Hati Ethan berdenyut nyeri, ini yang membuatnya sangat ingin sehat, dia tidak ingin membuat siapapun menangisinya seperti ini. Bahkan jika Ethan bisa mati sejak dulu, mungkin rasanya akan lebih baik?

Entah anugrah atau kutukan, divonis memiliki penyakit kronis yang tak bisa disembuhkan, yang membuat tubuhnya begitu lemah dan mudah lelah, Ethan memiliki umur yang panjang namun terasa begitu sia-sia sebab tak bisa melakukan banyak hal. Dia akan lelah dengan mudah, bahkan dengan aktifitas yang telah diminimalisir, dia sudah pernah berkali-kali mengeluarkan darah dari hidung, bahkan sampai kehilangan kesadaran karena kelelahan. Tubuhnya terasa begitu ringkih, bak tisu yang diletakkan di atas air.

Myalgic Encephalomyelitis (ME) atau sindrom kelelahan kronis, pada akhirnya membatasi seluruh kehidupan Ethan dari dunia luar. Sudah bertahun-tahun pria itu menghabiskan waktunya lebih banyak mengurung diri di mansion keluarga Lysander, tak bersekolah di sekolah umum, tak pergi ke universitas bahkan ke kantor, tak memiliki kesempatan bergaul dengan lebih banyak orang dan tak pernah mendapatkan undangan untuk berkumpul dan berteman dengan para bangsawan yang sebaya. Ethan bahkan tak ingat terakhir kali dirinya mempunyai teman, dan apakah dia benar-benar pernah memiliki seorang teman?
Yang dia ingat hanyalah tatapan sinis dan kasihan dari orang-orang yang selalu menganggapnya sebagai sebuah beban, penyakitnya ini membuat Ethan sering diremehkan, bahkan oleh sesama keluarga bangsawan. Tak ada yang mau menerima lamaran pernikahan dari Ethan apalagi mengirimkan lamaran padanya, sebab orang-orang sombong itu menilai bahwa putra sulung keluarga Lysander ini bukanlah sosok yang bisa melakukan sesuatu yang menjanjikan seperti yang mereka harap dan butuhkan.

Siapapun tidak akan mau ditakdirkan dengan penyakit aneh seperti ini, termasuk Ethan. Tapi, orang-orang di gereja tempat keluarga Lysander beribadah itu selalu bilang bahwa, penyakit adalah salah satu cara Tuhan memberitahu umatnya bahwa Dia mengasihi mereka. Apa benar begitu? Jujur saja, Ethan tak pernah percaya.





"Hiks.. Kak, aku tidak ingin kamu menikah, aku ingin kamu tetap di sini dan bersama dengan kami. Aku ingin terus bisa mengawasi mu dari dekat, hiks.."

Ethan tersenyum, jemarinya bergerak mengusap air mata di wajah cantik sang adik. "Aku kakak, tapi di saat-saat tertentu aku merasa seperti adik mu. Kau sudah melakukan yang terbaik untukku selama ini, Lulu. Jika saja aku bisa lebih membantumu sebagai kakak?" Senyum di bibir tipis Ethan terlihat begitu sendu, "aku bahkan sudah sangat merepotkan mu dengan melimpahkan semua beban itu. Karena kondisiku yang seperti ini, kau bahkan harus menggantikan ku membantu ayah mengurus perusahaan di saat seharusnya kau bisa hidup lebih bebas sebagai anak muda. Seharusnya sebagai putra sulung, aku bisa lebih berguna, maafkan aku."

Laura menggeleng heboh, kemudian menghambur memeluk kakaknya, erat. Laura tidak pernah mengutuk ketidakberdayaan Ethan untuk berdiri di depannya, dengan Ethan berada di sisinya saja sudah sangat cukup bagi Laura, dia tetap menyayangi Ethan dan ingin selalu bersama untuk menjaganya. "Jangan mengatakan hal seperti itu lagi, kak. Hiks.. Bahkan, jika dilahirkan kembali pun, aku akan tetap memilih menjadi adikmu."

Jawaban Laura membuat hati Ethan teriris pedih, namun juga terasa begitu hangat di saat yang sama. Ethan selalu mempertanyakan hal ini dalam dirinya, apa dia berhak menerima cinta sebesar dan setulus ini dari keluarganya? Keluarga yang bahkan tidak pernah bisa dia bantu dengan kehadirannya. Seandainya Tuhan sedikit lebih baik lagi padanya, Ethan memilih untuk tak dilahirkan saja.





















(♥´∀`)/Sel, 05 Des 23

Noblesse [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang