The Skies Cafe

180 16 4
                                    

Ruangan luas yang tak terlalu besar itu dicat dengan warna biru muda lembut yang memanjakan mata. Sebuah cafe sederhana yang cantik dengan seluruh perabotan berwarna pastel yang beradu di tiap sudut, membuat para pengunjung betah berlama-lama sebab suasana yang terasa nyaman. Suguhan berbagai macam menu kue kering sampai cake, minuman coffee dan non coffee serta alunan musik klasik turut melengkapi suasana di sana.

Bel di atas pintu masuk cafe berbunyi saat seseorang membukanya, seorang pria dengan tubuh tinggi gagah yang berbalut setelan rapih itu menatap ke penjuru ruangan sebelum berjalan mendekat ke meja kasir. Aroma manis kue dan kopi sudah menyapa indera penciumannya sesaat setelah dia melangkah masuk. "Permisi, apa kalian memiliki sesuatu yang tidak terlalu manis untukku?" Tanyanya pada seseorang yang menjaga meja kasir, seorang pemuda tampan yang usianya ditaksir berkisar awal dua puluh tahunan.

Pemuda itu tersenyum ramah menyapa, sebelum menjawab pertanyaannya. "Selamat pagi, tuan? Untuk menu yang anda minta, mungkin kami bisa menyiapkannya. Boleh aku tahu apa yang anda butuhkan? Sepotong kue atau secangkir minuman hangat?"

"Tentu, keduanya." Sahut si pria.

Pemuda di balik meja kasir itu mengangguk sembari tersenyum, yang mana menunjukkan cekungan manis di kedua sisi pipinya yang cukup berisi seperti mochi, "baik, tuan. Aku akan menyampaikan pesanan anda lebih dulu pada orang dapur, jika tidak keberatan, mau kah anda menunggu sebentar?"

"Baiklah, aku akan menunggu."

"Anda akan membawanya atau makan di sini tuan?"

"Di sini saja."

"Baik, boleh ku tahu nama anda untuk pesanannya, tuan?"

"Namaku Namuel."

"Baik, tuan Namuel. Mohon menunggu sebentar, ya? Anda boleh duduk lebih dulu di kursi yang masih tersedia."

"Oh? Apa aku tidak langsung membayarnya?"

"Untuk pesanan anda, kami harus memastikan bahwa anda akan menyukainya terlebih dulu setelah mencicipinya. Jika anda suka, anda boleh membayarnya." Pemuda kasir tanpa name tag identitas itu selalu bicara dengan ramah dan menyenangkan, senyumnya bahkan tak hilang sepanjang dia bicara dengan Namuel.

Kemudian, Namuel ikut tersenyum tipis, mengangguk paham sebelum akhirnya berlalu dari depan meja kasir ke salah satu kursi kosong yang dilengkapi dengan meja bundar berwarna merah muda.
Namuel mendudukkan dirinya di sana dan mulai sibuk dengan ponselnya, sembari menunggu, Namuel terus menghubungi beberapa orang yang diketahuinya pernah menghabiskan waktu bersama Tristan, menanyai mereka satu persatu tentang kemungkinan bahwa sang adik tengah bersama dengan mereka. Namun sejak tadi, tak satupun dari orang-orang itu memberikan jawaban yang Namuel inginkan. Kebanyakan dari mereka bahkan bilang bahwa tak lagi berhubungan dengan Tristan setelah hari terakhir di mana mereka bersama.

Namuel menghela nafas gusar, jujur saja hal ini membuatnya sedikit khawatir, Tristan memang sudah dewasa dan sudah pernah tidak pulang ke rumah untuk waktu yang lama, entah itu untuk urusan kantor atau hanya keinginannya saja, tapi dia tidak pernah melakukannya tanpa meninggalkan kabar seperti ini, bahkan kepada Namuel. Tristan bahkan meninggalkan seluruh barang-barang pentingnya di kamar, membuat Namuel rela meninggalkan sarapan untuk bergegas mencarinya yang di pikir masih berada di sekitar lingkungan mansion. Namun nihil.

Namuel mendesah, meletakkan ponselnya pasrah di atas meja, matanya dipejamkan dengan kepala menengadah, belum apa-apa dia sudah merasa lelah. Mungkin, akan sulit untuk membujuk Tristan sekalipun dia telah menemukannya nanti, Tristan dan ayah mereka itu sama-sama seperti batu, tak ada yang mau mengalah sampai salah satu dari mereka hancur. Namuel dan ibu nya lah yang akan selalu babak belur untuk menjadi penengah antara mereka.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 07, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Noblesse [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang