PROLOG

12.9K 436 84
                                    

PLAK!

Kepala Langga tertoleh ke samping akibat tamparan keras dari sang Ayah.

"Dasar anak sialan! Sudah kami besarkan, malah jadi tak tahu diri!" bentak sang Ayah dengan suara menggelegar penuh emosi.

Langga tersenyum kecil, tapi senyuman itu penuh kepahitan. Ia menatap ayahnya dengan pandangan tajam namun kosong.

"Membesarkan aku?" ucap Langga, nadanya sedikit mengejek. "Gak salah dengar nih? Bukannya aku ini tinggal di panti selama bertahun-tahun? Apa kalian lupa, siapa yang sebenarnya membuang aku?" lanjutnya dengan suara datar.

PLAK!

Kini giliran Ibunya yang menampar wajah Langga. Tidak sekeras tamparan sang Ayah, namun cukup untuk membuat dadanya sesak.

"Kurang ajar kamu!" seru sang Ibu dengan emosi membara. Jari telunjuknya mengarah tajam ke wajah Langga. "Harusnya kamu bersyukur! Suami saya sudah sudi mengambilmu kembali ke rumah ini. Dasar anak tidak tahu berterima kasih!"

Perkataan ibunya bagai duri yang menancap dalam-dalam di hati Langga. Sakit, sangat sakit.

"Sakit, Tuhan…" bisik Langga dalam hati, mencoba menahan gelombang emosi yang menyeruak.

Ia menundukkan kepala, mengepalkan kedua tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. Setelah beberapa detik hening, ia terkekeh pelan, suara itu getir dan memecah keheningan.

Langga mengangkat kepalanya, menatap Ayah dan Ibunya dengan sorot mata tajam dan penuh kekecewaan.

"Aku cuma mau tahu, aku ini sebenarnya anak kalian atau bukan?" tanyanya lirih, suaranya hampir tak terdengar, namun cukup untuk membuat semua orang yang ada di ruangan itu terdiam.

Hening. Tidak ada satu pun yang menjawab.

"Apa kalian lupa?" suara Langga mulai meninggi. "Aku juga anak kalian! Anak yang selalu haus kasih sayang dari orang tuanya! Aku juga ingin seperti abang-abangku! Aku juga ingin dimanja seperti mereka!"

Ia berteriak, mengeluarkan semua yang selama ini ia pendam, sementara air mata mengalir deras di pipinya. Langga dengan kasar mengusap wajahnya, mencoba menghapus jejak kelemahan yang terlihat di matanya.

"Ah, tapi aku lupa," lanjutnya dengan nada penuh sindiran. "Aku kan anak yang tidak diinginkan. Anak yang kalian sebut sebagai pembawa sial, bukankah begitu, Tuan dan Nyonya?"

Suasana semakin mencekam. Langga tertawa kecil, getir, sebelum akhirnya ia berkata dengan suara yang datar namun menusuk.

"Lebih baik aku di panti daripada di rumah ini. Rumah yang tidak lebih dari neraka. Terima kasih telah membuat hidupku seperti ini."

Ia menatap mereka untuk terakhir kalinya, seolah mengucapkan selamat tinggal. Lalu, tanpa menunggu balasan, Langga berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan mereka yang kini hanya bisa terdiam, menatap punggung si bungsu yang seolah membawa seluruh kepedihan dunia.

Saat melangkah keluar rumah, angin malam menyapa wajahnya. Langga mendongak, menatap langit yang gelap tanpa bintang.

"Mungkin aku tidak punya rumah lagi," gumamnya pelan. "Tapi aku pasti bisa mencari tempat di mana aku tidak dianggap sial."

Ia mengepalkan tangannya, menahan rasa sakit yang membakar dadanya. Untuk pertama kalinya, ia berjanji pada dirinya sendiri.

"Aku akan menemukan jawabannya. Entah tentang siapa aku, atau kenapa aku harus dilahirkan dalam keluarga ini."

Dengan langkah tegap, Langga berjalan menuju gelapnya malam, membawa luka, harapan, dan tekad untuk menemukan jati dirinya.

•••

Eak awokwoq:v

Ini Cerita pertama saya, jadi yaa harap maqlum kalo kurang beres😁

Betewe votenya, yg ngevote saya doain jadi ultramen ehehe.

Kalo rame bakalan lanjut😗

Lopyu alll🖤

ERLANGGA(Hiatus) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang