Chapter 2 ─ Part 2

103 16 5
                                    

"Aisling, senang bertemu kamu di sini."

Suara Aithne begitu lembut dan halus; penenang, memeluk indra tubuh seperti ikatan sutra hangat dari tangan ibunda, teruntuk anak-anak yang khawatir. Aithne berdiri tidak jauh, terampit longgar oleh dua prajurit pengawal tangan kanan-kiri sang suami. Dengan mata abu gula, Aithne memandang kedua jiwa: Kimos dan Aisling. Mereka memberikan tunduk hormat, hampir bersamaan. Memutar tubuh perlahan-lahan, Aisling menghadap sang ibu kaum.

Aithne menunduk sekilas, balasan untuk gestur hormat kedua jiwa.

"Kehormatan bertemu anda di sini, Nona Aithne." Aisling mengangkat kepala.

"... begitu juga untuk saya." susul Kimos, mengikuti sang kawan.

Kata-kata mereka mendorong naik tekukan senyum pada feminitas wajah Aithne. Gula abu mata sang wanita mengalir, terkunci pada sosok Aisling, bertanya, "saya mendengar kalau kamu menyelamatkan salah seorang temanmu pada pertempuran minggu lalu, apa itu benar, Aisling?"

"Benar," belum Aisling membuka mulut, Kimos sudah menjawab lebih dahulu, "Aisling membawa saya ke tangan petugas kesehatan, melawan keputusan dan perintah dari kapten kami. Sayang dia harus kena marah Kapten Barabas, namun saya berterimakasih padanya. Tidak akan saya ada di sini, menghadap anda bila Aisling tidak melakukan apa yang dia lakukan, Nona Aithne."

Terhadap penjelasan Kimos, Aithne memberikan senyuman. Rasanya sang ibu dari Aisling telah membesarkan seorang anak yang tidak hanya ceria, melainkan juga bertanggung jawab atas nyawa kawannya.

"Saya bersyukur kamu selamat, dan saya bangga atas apa yang kamu lakukan, Aisling." ujarnya, seraya mengembalikan pandangan ke putra Epatina.

Mata Aisling sedikit melebar, "nona tidak marah?"

"Tidak," jawaban datang bersama kekeh tawa ringan dari rona bibir Aithne. Sang wanita menggeleng pelan, ekspresi perhatian mewarnai wajah, "tidak akan saya marah kepada orang yang sudah menyelamatkan nyawa orang lain. Sebagai ketua suku kita, saya sangat bangga atas dirimu; dan ibumu di desa, dia pasti akan merasakan hal yang sama ketika saya menceritakan ini nanti."

Kimos tidak mampu menarik lepas pandangan dari Aithne. Setiap kata yang dia ucapkan, semuanya; dari tinggi dan rendah nada hingga kontur bicara, terjahit oleh kehangatan suara─hawa pemeluk tubuh, sensasi asing bagi hati batu penuh retak. Dia hanya familiar akan rasa panas, terutama pada kulit yang penuh akan variasi bekas luka; selain yang terbaru di lengan.

"Terimakasih, nona Aithne," Kimos melirik Aisling, memperhatikan bagaimana sang kawan berbicara, "anda tidak bisa membayangkan betapa senang hati saya mendengar ucapan itu." begitu santun, padat akan rasa hormat dan kagum, tanpa setetes rasa takut.

Betapa Kimos merasa ganjil tiduran agak duduk di antara mereka, dua bintang kejora cerah penuh bicara, walau tempat ini memang untuknya beristirahat. Pertanyaan muncul dalam benak Kimos. Bukan pertanyaan baru. Berkali-kali telah naik pada permukaan jiwa dalam lima tahun terakhir pelayanannya di bawah dakwah Yosef the Chosen One:

Apakah ini manifestasi hakikat kemanusiaan sebenarnya?

Berbincang renyah penuh santun dan hormat dengan mereka yang memiliki posisi lebih tinggi, tanpa rasa khawatir dan takut akan hukuman bila tergelincir dalam bicara. Khawatir dan takut; hidup Kimos tidak pernah lepas dari bola kembar pengintar kepala tersebut. Bahkan bila pertanyaan pertama terjawab, pertanyaan lain keluar setelahnya; apa itu tepatnya... kemanusiaan?

"Kimos?" jerit listrik melilit indra kulit tatkala ujung jari-jari Aisling menyentuh punggung tangan sang kawan, "kau tidak apa-apa? Kau memandangi Nona Aithne sejak tadi."

"H-huh?" mata Kimos melebar, sadar kalau pandangan dia penuh akan sosok Aithne seorang; beliau pula menatapnya. Menggeleng pelan─hingga cepat dalam waktu singkat, Kimos berkata agak berbisik malu, "mohon maafkan saya, Nona Aithne. Mungkin akibat kelelahan, itu saja."

The Heart of YellowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang