Sudah 3 hari berlalu sejak Shankara sadar namun kondisi si sulung Alastair itu masih jauh dari kata baik. Shankara masih harus di rawat itensif di rumah sakit, bahkan kini bernapas pun ia harus menggunakan selang oksigen, ia sudah tidak bisa bernapas dengan normal lagi. Namun di lain sisi, kondisi keluarga Alastair kini sudah baik-baik saja. Tidak ada lagi yang namanya iri, benci dan cemburu, yang ada hanya kasih sayang yang membuat keluarga Alastair semakin hangat dan tentu membuat si sulung Shankara merasa bahagia karena kini sang adik sudah tidak lagi membencinya. Gian sudah mau memanggil Shankara dengan sebutan kakak.
Pandu dan Aruna pun meninggalkan pekerjaan mereka untuk sementara waktu lantaran mereka ingin fokus pada kesehatan sang anak sulung. Kalandra dan Gian melakukan aktivitas seperti biasanya sekolah dan yang lainnya. Ah iya, setelah kejadian ini si tengah Kalandra memutuskan untuk menetap di Indonesia bersama keluarga tercintanya. Kalandra ingin menghabiskan waktu bersama kedua orang tuanya, sang adik, dan khususnya sang kakak kembar yang Kala tidak tau sampai kapan Kara akan tetap hidup bersama dirinya dan mereka semua. Terlebih kondisi Shankara yang terus menurun dan tidak ada perkembangan apapun membuat seluruh keluarga Alastair ingin fokus terhadap si sulung. Bahkan perkataan sang dokter 2 hari lalu masih terngiang-ngiang jelas di kepala mereka.
'Tubuh Shankara semakin lemah, jantungnya sudah tidak bisa bertahan lebih lama lagi tanpa adanya donor jantung karena jantung Shankara sudah benar-benar rusak, belum lagi infeksi di paru-parunya yang semakin menyebar. Mungkin Tuhan memberikan kesempatan Shankara untuk bangun kembali karena– tetaplah berada di samping Shankara, dia benar-benar membutuhkan kalian.'
Penuturan sang dokter itu lah yang membuat Aruna takut, sangat sangat takut. Maka dari itu ia tak ingin melepaskan pandangan dari anak pertamanya ini.
"Kakak, kenapa senyum senyum terus begitu?" tanya Aruna heran karena ia melihat sang anak sulung yang sedari tadi terus tersenyum.
"Gapapa bu, Kara cuma lagi ngerasa bahagia aja sekarang.." jawab Shankara dengan senyumnya meski ia harus menggunakan selang oksigen untuk membantuanya bernapas, rona pucat masih menghiasi wajahnya, pipinya semakin menirus, bibirnya juga kering dan semakin hari selalu terlihat membiru.
"Ibu juga bahagia kalau kak Kara bahagia.."
"Iya dong, ibu harus selalu bahagia!"
'Ada atau tanpa Kara..'
"Pasti sayang, ibu pasti bahagia karena ibu punya anak hebat seperti Shankara!" Aruna mengusap lembut surai sang anak.
"Hehe terimakasih ibu. Ohiya, adek kemana? Kenapa belum pulang? Harusnya kan adek udah pulang sekolah dari tadi," tanya Shankara karena tidak biasanya sang adik belum pulang padahal sepengetahuan nya, ini sudah jam pulangnya Gian dari sekolah.
"Adek izin, katanya adek mau latihan dance dulu karena 2 hari lagi ada lomba dance tingkat nasional di sekolahnya dan adek terpilih untuk mewakili sekolah," jawab Aruna.
"Whooaaa adek terpilih ikut lomba mewakili sekolahnya, bu?" tanya Shankara lagi dengan antusias.
"Heem, Kara tau kan kalau sebenarnya adek itu jago dalam hal menari," jawab Aruna yang di angguki semangat oleh sang anak.
"Terus kalau ayah sama Kala? Mereka kemana, bu?" tanya Shankara lagi, memang akhir-akhir ini ia selalu menanyakan keberadaan anggota keluarganya jika tidak ada di rumah sakit.
"Ayah ada meeting penting hari ini, kalau Kala lagi urus pindahan sekolahnya, bentar lagi kayanya Kala pulang," jawab Aruna dengan sabarnya.
"Oh begitu.."
Entah kenapa sejak Shankara sadar, ia selalu ingin bersama dengan anggota keluarganya yang lengkap. Bahkan ia tak mengizinkan siapapun untuk tidur di rumah, Shankara ingin mereka semua menemaninya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorry [Short Story Brothership]
FanfictionKatanya jadi anak pertama itu harus kuat, harus siap menjadi tulang punggung keluarga, harus bisa menanggung semua beban hingga adik-adiknya tidak merasa terbebani. Jadi anak pertama itu harus bisa menjadi garda terdepan untuk adik-adiknya, katanya...