Setelah kepulangan Kala, si bungsu Gian terus saja menempel pada kakak nya yang satu itu. Gian selalu berusaha membuat sang abang mengabaikan kakak sulungnya. Seperti saat ini, Kala dan Gian sedang bermain game di ruang keluarga. Mereka terlihat sangat asyik sekali hingga tak memperdulikan seseorang yang tengah memperhatikan mereka sejak tadi di kursi rodanya tanpa melakukan apapun.
"Abang, jangan kesitu! Gian bisa mati tau kalau abang kesitu!" pekik Gian heboh, meski sedikit kesal namun wajahnya terlihat menikmati game yang tengah di mainkannya bersama sang abang.
"Ya terserah gue dek, bukannya disini kita emang musuh ya? Jadi gapapa dong kalau gue nyerang lo wkwk," sahut Kala dengan santainya.
"Iya tapi abang curang, tuh kan abang main nembak aja padahal Gian belum siap! Ish abaaaaaaang!" Gian mulai merajuk seperti anak kecil, memang jika bersama Kala, Gian akan menunjukan jiwa kebocilan nya.
"Gue ga curang dek, itu namanya strategi. Bedain dong strategi sama curang hahahaha," Kala lagi lagi dengan sabar menyahuti adik bungsunya itu.
Hingga akhirnya layar televisi besar itu menunjukan bahwa Kala lah pemenangnya.
"Yeayyyy gue menang dek!" seru Kala heboh.
"Abang curah ah, nyebelin!"
"Hahahaha ututututututu jadi adek abang yang satu ini marah," Kala mencubit gemas pipi sang adik bungsu.
"Ish abang sakittttttttt!" Gian mengerucutkan bibirnya kesal setelah sang abang melepaskan cubitannya.
"Hahahaha maaf maaf, habisnya lo gemesin banget, enak ya Kara tiap hari bisa gemesin lo kayanya," Kala mengusak surai Gian dengan lembut.
"Sembarangan, gue ogah tuh di sentuh sama si Kara," sahut Gian pelan, namun masih terdengar oleh Kala.
"Heh ga boleh gitu," tegur Kala dengan raut wajahnya yang kembali terlihat serius.
"Ya abis nya dia itu ngeselin tau bang, seharian kerjanya cuma diem doang, kalau ga diem ya caper," Gian mendelik malas.
"Ya emang apa yang mau Kara lakuin? Lo berharap Kara main akrobat? Jangan gila, lagian lo tuh harusnya sering-sering ajak Kara main, kasian kan Kara di rumah terus pasti bosen, dia juga butuh temen main lho," ucap Kala mencoba memberi pengertian.
"Aku juga jarang main bang, ibu kadang ga izinin aku main. Ibu tuh maunya aku jagain si Shankara terus padahal kan dia udah gede udah bisa ngurus diri sendiri, jangan nyusahin orang lain terus," sahut Gian serata melipat kedua lengannya di depan dada.
Kala yang mendengar itu pun hanya bisa menghela napas lelah, percuma juga memberi pengertian pada Gian yang mana adiknya sangat bebal, susah di kasih tau dan keras kepala.
'Ibu sering cerita ke gue dek, katanya ibu ga izinin lo main di luar dan nyuruh lo buat jaga Kara di rumah bukan semata-mata karena itu doang. Tapi ibu berharap ketika lo sama Kara, kalian tuh bisa baikan, bisa ngobrol, bisa main, ibu berharap kalian bisa akur layaknya sodara, kaya gue sama lo, dek.'
"Udah ah ga boleh gitu sama kakak nya sendiri, entar kalau ga ada nyesel loh kamu."
"Gue malah seneng kalau dia ga ada," celetuk Gian.
Tanpa keduanya sadari sejak tadi seseorang yang tengah menjadi topik pembicaraan mereka tengah memperhatikan dalam diam. Beruntung saat ini pendengarannya masih belum terlalu jelas hingga ia tak bisa mendengar apa yang sang adik bicarakan tentang dirinya.
'Bahkan adek ga pernah nunjukin senyum adek sama kakak, apalagi ketawa kaya gitu. Gian keliatan nya bahagia banget ya kalau sama Kala. Kenapa dek? Kenapa kalau sama kakak adek ga pernah bahagia? Maaf kakak cuma bisa buat adek ngerasain sakit hati. Tapi kakak juga mau kaya Kala, kakak mau di anggap ada, kakak mau adek anggap kakak ini sebagai kakak bukan sebagai penghancur kebahagiaan adek. Kakak cuma mau buat adek bahagia, tapi kakak ga bisa lakuin itu. Kalau dengan kepergian kakak nanti bisa buat adek bahagia, adek bisa kan tunggu sebentar lagi?'
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorry [Short Story Brothership]
FanfictionKatanya jadi anak pertama itu harus kuat, harus siap menjadi tulang punggung keluarga, harus bisa menanggung semua beban hingga adik-adiknya tidak merasa terbebani. Jadi anak pertama itu harus bisa menjadi garda terdepan untuk adik-adiknya, katanya...