Prologue - Untuk Julian Rivero

172 7 1
                                    

Untuk Julian Rivero,

Matahariku yang terbenam namun tak kunjung terbit kembali.

Halo, Vero. Tidak terasa sudah ratusan matahari terbit kita tidak berjumpa. Aku masih bertanya-tanya tentang keadaanmu sekarang, tapi aku yakin kamu tidak pernah sekalipun bertanya-tanya tentang keadaanku. Aku tidak dapat menyalahkan siapapun atau apapun selain diriku sendiri atas kepergian kamu, tapi kadang aku juga merasa ini semua merupakan salahmu. Namun, mungkin sebenarnya ini bukan salah kita berdua, kan? Aku rasa ini memang sudah tertulis dalam buku takdir dan tidak ada jalan untuk melarikan diri dari scenario tragis yang ditulis atas nama kita berdua.

Ver, aku bingung. Bagaimana caranya aku bisa mengalihkan pikiranku kepada orang lain? Masalahnya, setiap kali aku tertarik kepada seorang laki-laki, itu bukan karena aku menyukainya. Tapi melainkan karena aku ingin mencari tambatan untuk mengisi tahta kosong milikmu di hatiku. Hanya sekedar pelarian. Aku jahat, aku tahu. Tidak seharusnya aku menggunakan seseorang untuk menjadi pelampiasan perasaanku terhadapmu. Tapi, Ver, ini semua di luar kuasaku. Ini terjadi layaknya gravitasi bumi yang refleks akan menarik segalanya hingga menyentuh tanah tempat tinggal milyaran manusia ini. Asal kamu tahu, Ver, aku tidak tahu bagaimana aku menghentikan gravitasi itu saat aku berada di atas awan tanpa parasut dan tidak mungkin menghindari menghantam dataran yang tak kenal maaf di bawahku ini, aku rasa, aku masih berharap kamu masih akan menangkapku dan menyelamatkanku dari gravitasi. Tapi nyatanya, kamu sudah berubah pikiran. Iya kan, Ver?

Sudah lama aku tidak menangis, Ver. Tapi saat aku menangis karena kamu, aku bahkan tidak menyadarinya. Terkadang saat berbicara dengan temanku tentang kamu, mataku akan memerah dan aku baru akan menyadari hal itu saat temanku memberitahuku. Terkadang aku mendengarkan lagu dan tanpa izinku air mata akan menetes satu demi satu. Aku bingung, Ver. Rasanya seperti hujan kemanapun aku pergi.

Kamu ingat tidak? Waktu pertama kali kamu bertemu denganku, kita itu bisa dibilang musuhan. Makin lama, kita jadi temen, sampai entah apa yang terjadi. Tapi, setelah satu putaran revolusi bumi, kita menganggap satu sama lain sebagai lebih dari teman. Aku tahu pada saat itu, aku telah menerima kenyataan bahwa hubungan kita mau tak mau pasti akan berakhir. Namun, ada sedikit bagian dari diriku yang berdoa hal itu tidak akan terjadi. Tapi apa boleh buat ya, Ver? Aku memang langit kelabu di malam tak berbintang dan kamu rindu sinar mentari di pagi hari yang cerah. Jadi, kamu pergi meninggalkan aku, langit kelabumu yang terlupakan oleh waktu.

Jujur, aku iri dengan orang-orang yang dapat dengan mudah mengesampingkan masa lalu mereka dan hidup tanpa dibebani sakit yang tidak dapat diobati di hati mereka. Tetapi saat aku berpikir ulang, orang-orang mungkin tidak akan mengira bahwa dibawah senyuman dan tawaku, di balik segala canda dan kebahagiaanku, ada kamu yang selalu menjadi luka tak kasat mata di jiwaku.

Ver, aku akan sangat bahagia kalau kita bisa mengulang waktu dan aku bisa mencegah kamu mendekatiku. Seharusnya, aku mendengar perkataan hati nuraniku, kan? Seharuskan aku sadar bahwa kamu tidak mungkin bisa menjadi 'selamanya' bagiku. Kamu adalah 'selamanya' yang ditakdirkan untuk seorang perempuan dengan otak cerdas gemilang yang dapat selalu membuatmu tertawa, kamu adalah 'selamanya' yang dimiliki oleh seorang perempuan yang tahu makanan favoritmu dan tidak pernah bosan mendengar ocehanmu tentang band favoritmu, walau mungkin dia tidak menyukai band itu.

Perempuan itu bukan aku, Ver. Perempuan itu bukan aku yang hanya dapat menekuk bibirku karena memang aku orang yang sangat mudah bete. Perempuan itu bukan aku yang tidak dapat menoleransi kamu saat memasang lagu band kesukaanmu dengan volume keras. Dan perempuan itu bukan aku, karena kamu sudah memutuskan hal itu saat aku masih percaya bintang-bintang bersinar untukku karenamu.

Doaku untuk kamu, adalah agar kamu menemukan perempuan itu. Dan juga agar walaupun kamu sudah bahagia dengan perempuan itu, kamu tidak akan pernah melupakan aku dan kita dan jutaan memori yang tidak mungkin dapat aku sesali. Karena, Ver, kita adalah bagian dari sejarah umat manusia. Aku tidak perlu kita diingat oleh jutaan makhluk di alam semesta ini. Aku lebih memilih dilupakan bersamamu daripada diingat tanpamu. Tapi, aku mohon, dan aku berdoa, jangan pernah lupakan aku. Jangan pernah lupa akan janjimu yang tak pernah aku harap kamu tepati. Aku hanya bahagia janji itu pernah dibuat. Mungkin di kehidupan ini kamu tidak mampu menepatinya, tapi aku berdoa di kehidupan lain, kamu menepatinya dan kamu masih menyayangiku.

Dari lagu yang tak pernah lagi kamu dengarkan,

Melody.

Letters You'll Never ReadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang