Matahari merangkak naik ketika mobil yang ditumpangi Dian berhenti tepat di sebuah rumah dua lantai yang berantakan tak terurus. Cewek itu yang pertama turun dari mobil, memutar sejumput rambut ungunya hingga bergelombang. Lalu tersenyum manis saat melihat seorang pria berdiri tak jauh dari pintu rumah tersebut.
"Sayang!!" Teriaknya seraya berlari memeluk pria itu.
"Kok lama sih, aku nunggu dari tadi."
"Maaf ya, aku ngurus orang-orang itu," menunjuk mobil di pelataran. "Ribet, harus olahraga dulu."
Leon terkekeh. "Kamu nih ya," mencubit hidung Dian gemas. "Yaudah yuk masuk, aku capek nunggu di luar."
"Ntar dulu geh, mainan aku belum dibawa masuk."
"Oh iya, yaudah aku masuk duluan deh, nanti nyusul ya, baby." Leon mengedipkan satu matanya, membuat Dian tertawa.
"Sure baby."
Di dalam mobil Shana hanya bisa melongo tanpa suara. Ia tahu kalau teman-temannya juga mengenal Leon, dan Shana juga tahu kalau tidak ada satu pun yang bisa berbicara karena lakban menutupi mulut mereka.
"Heh! Cepat bawa mereka masuk!"
Pintu mobil terbuka, pria-pria berbadan besar itu pun langsung menyeret empat gadis yang berada di dalam sana. Mereka membawanya mengekori arah jalan Dian yang melangkah di depan.
Sampailah di lantai dua di suatu kamar berdebu dengan ukuran sedang, Dian memberi kode supaya pria-pria tadi mengerjakan tugasnya. Lantas, dengan sekali tarik, Shana dan yang lain pun diseret dan dijatuhkan ke lantai, lalu diikat dengan satu tali panjang, tak lupa melepas lakban hitam yang membuat mereka senyap sedari tadi.
Usai pintu tertutup rapat, Shana menghela napasnya pelan. "Kalian tadi liat juga kan, kalo itu Leon?"
"Iya, gue liat. Bahkan gue hafal sama mukanya karena Sella pernah nujukin foto dia ke gue." Jawab Missa yang berada tepat di belakangnya. Punggung mereka bertabrakan satu sama lain karena pria-pria itu mengikatnya berputar.
"Gue masih nggak percaya Leon sekongkol sama Dian buat sekap kita." Di samping Shana, Deeva termenung, mengamati sepatunya yang kotor akibat perkelahian singkat tadi.
"Gue pikir dia cowok baik-baik karena Sella selalu cerita tentang dia, eh ... ternyata sama aja. Tapi masalahnya ini lebih parah, sama Dian."
"Udahlah, Shan. Mau gimana lagi? Cowok emang bisa berubah cepet, lagian Sella juga gitu kan." Missa melirik sekilas ke belakang.
"Iya tau, cuma kan Leon yang ngajak balikan. Bukan kemauan Sella juga."
"Yakin pasti Sella kecewa banget sama Leon."
"Tapi kalian mikir juga nggak sih, ngapain coba Leon sekongkol sama Dian? Terus tadi liat kan seberapa akrabnya mereka sampe peluk-peluk terus manggil babi?"
Deeva mencubit pinggang kiri Missa yang kebetulan tepat di belakang punggungnya. "Baby, ya bukan babi!"
"Duh ... sama aja lah, sama-sama ada b dan a nya."
Deeva menghela sebagai tanda menyerah menjawab ucapan Missa. Lalu dia berucap.
"Sebenernya gue juga mikir gitu. Apa mereka udah pacaran ya?"
"Mungkin." Jawab Missa enteng.
"Kalo mungkin caranya mereka deket gimana?"
"Lo tau sendiri Leon waktu itu dateng ke sekolah, kayaknya sih mau ketemu Sella. Pasti dari situ mulanya keakraban mereka."
Deeva terdiam, memikirkan ucapan Shana barusan.
"Ini kita di mana sih?" Riana yang kala itu masih ditutup matanya pun celingak-celinguk, ia tidak tahu tempat apa yang menjadi persinggahnya. Bahkan ia tidak bisa melihat karena penutup mata ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ineffable | Dear Diary | End
Roman pour AdolescentsIneffable adalah sesuatu yang melampaui kemampuan bahasa untuk mengungkapkannya. Arti lain adalah "tak terlukiskan". Ada banyak kisah yang ditulis di cerita ini, salah satunya Abel. Gadis berkulit sawo matang yang tidak percaya akan cinta. Abel piki...