SORE harinya, Aru memarkirkan sepedanya di pelataran rumah Batara yang dipenuhi dengan pepohonan bonsai dan bunga-bunga mawar yang sedang bermekaran. Melangkahkan kakinya memasuki pintu rumah Batara yang terbuka, Aru segera disambut oleh Bintang yang segera berlari dan menghambur memeluknya.
"Kak Alu sudah dataangg....!!"
Bintang kemudian menarik Aru menuju meja di ruang tengah di mana beberapa kotak puzzle dan mainan berbentuk robot pun dinoasurus berserak di atasnya. Pemuda itu menyapa Batara yang terduduk di atas sofa seraya memainkan tablet di tangannya.
"Sore Pak Batara," sapa Aru ceria.
"Sore juga, Ru. Macet nggak?"
"Kebetulan nggak terlalu, Pak." Aru menjatuhkan diri ke atas lantai dan meladeni Bintang yang kini memamerkan mainannya dengan bangga.
"Ayolah, bisakah kamu berhenti memanggil saya dengan 'Pak'?" protes Batara pura-pura kecewa. "Saya belum setua itu."
Tentu saja, Aru tak bisa menahan tawanya. "Saya hanya berusaha profesional," canda Aru. "Anda sudah punya anak, dan saya harus menghormati status itu."
Lagi, Batara mendecih berpura-pura tersinggung. Sementara tak jauh dari tempatnya, Aru mulai sibuk bermain dengan Bintang yang kini asyik menggerak-gerakkan robot miliknya seolah meraka sedang beradegan si sebuah film super hero.
"Panggil saja saya dengan nama, nggak usah pakai embel-embel," ujar Batara meletakkan tablet miliknya ke atas pangkuan. "Saya bukan bos kamu. Jadi jangan terlalu formal."
Mau tak mau, Aru mengangguk saja atas apa yang diucapkan oleh Batara.
Untuk sekian menit berikutnya, tak ada lagi percakapan di antara keduanya. Aru masih sibuk membantu Bintang menyusun puzzle sementara Batara juga nampak sibuk dengan tabletnya. Sama seperti yang pernah disinggung Batara, rumah besar ini memang terasa begitu sunyi karena hanya ditempati oleh lelaki itu dan puteranya. Meskipun banyak foto dan lukisan yang berjajar di tembok, tetap saja tak mampu menghilangkan hawa sunyi yang terasa.
"Kak Alu, Bintang mau pup." Out of nowhere, rengekan Bintang tersebut memecah hening yang tercipta.
Maka detik berikutnya, Aru bangkit dan membimbing Bintang menuju kamar mandi. Begitu Bintang sudah masuk kamar mandi, Aru memutuskan untuk menunggu di luar sampai bocah kecil itu menyelesaikan aktivitasnya.
Menyandarkan tubuh tak jauh dari kamar mandi, kedua mata pemuda itu lalu menyusuri deretan foto yang terpajang di sepanjang tembok. Rasa penasaran membuat Aru mendekat pada salah satu foto.
Pemuda itu tersenyum. Menatap potret Bintang ketika masih bayi. Sejak bayi, Bintang memang mewarisi mata dan wajah dari Batara. Kemudian, padangannya tertuju pada sebingkai foto di sebelahnya.
"That was Elena." Aru sedikit berjengit kaget menyadari Batara muncul di belakangnya. Pria itu mendekat sehingga keduanya kini berdiri bersisian, menghadap potret sesosok perempuan dalam balutan pakaian santai tengah memasak di dapur. "Ibu Bintang."
"She's beautiful," komentar Aru. "Pantas anda begitu mencintainya."
Sebagai respons, Batara hanya tersenyum tipis seraya menjulurkan tangannya untuk membelai lembut foto tersebut. "Dia perempuan paling cantik dan baik hati yang pernah saya temui. Dan dia satu-satunya perempuan yang bisa membuat saya jatuh mencinta tanpa perlu alasan apapun. Sayang, takdir harus menempatkannya pada sebuah situasi yang membuatnya harus pergi secepat ini."
Meskipun samar, Aru bisa menangkap nyeri dan kerinduan yang sangat dari sorot mata Batara.
"Paling tidak, dia sudah bahagia sekarang," ucap Aru dengan nada sesopan mungkin. "Makanya jangan sampai anda membuat Bu Elena kecewa dengan menyia-nyiakan Bintang."
KAMU SEDANG MEMBACA
FOREVER WITH YOU
RomanceSekalipun, Aruna Giandaru tidak pernah menyangka bahwa pertemuannya dengan Batara Prabu Alamsjah akan membawanya pada pelik kehidupan lelaki itu. Berawal dari pertemuan keduanya di sebuah daycare tempat Aru bekerja paruh waktu, hidup pemuda itu lan...