5. Entering The Life of Batara Prabu Alamsyah

211 44 2
                                    


SETELAH kurang lebih lima hari mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit, dokter akhirnya memperbolehkan Batara untuk pulang.

Dibantu Mario yang menyopirinya, Batara kembali menginjakkan kakinya di halaman rumahnya yang luas pagi itu.

"Papaaa!!!!"

Bintang yang sudah menunggunya dari depan pintu ditemani Aru seketika berlari menghambur dan memeluk sang ayah. Yang tentu saja, membuat Batara refleks menumpukan kakinya yang masih dilapisi gips pada tongkat yang dia kepit di ketiaknya.

"Bintang kangen sama Papa," lirih Bintang yang masih memeluknya. "Kata Kak Alu, kalau Bintang nakal, kaki Papa nanti jadi kaki lobot."

Mendengar celotehan itu, Batara tak bisa menahan cengiran sebelum menoleh ke arah Aru yang sama cekikikannya.

"Papa baik-baik aja, Bintang," sambung Batara sembari mengelus puncak kepala puteranya. "Kamu nggak perlu khawatir. Ya?"

Bocah kecil di hadapan Batara mengangguk sebelum kembali memeluk sang ayah.

"Kalau gitu gue langsung cabut ya, Tar?" potong Mario menginterupsi. "Abis ini gue ada meeting sama investor dari Surabaya."

Tanpa punya pilihan, respons Batara selanjutnya hanyalah menganggukkan kepala sebelum membalas toss perpisahan dari Mario. "Thanks ya, Mar. Makasih udah mau gue repotin. Sampai ketemu lagi di kantor."

Maka sepeninggal Mario, Batara lantas menggandeng tangan Bintang dan membawa langkah keduanya bergerak menuju pintu masuk.

"So... Welcome home, Mr. Batara."

Batara mengulum senyum tipis di sudut bibirnya mendengar ucapan dari Aru tersebut. Dari sudut matanya, pemuda itu nampak segar dengan padu padan kaus lengan panjang dan celana pendek jins berwarna pastel. Lamat-lamat, Batara juga bisa mengidu aroam jeruk yang entah mengapa terasa nyaman di hidungnya.

"Terima kasih," jawab Batara sebelum menyerahkan tasnya supaya dibawa oleh Aru.

Ketiganya kemudian melangkahkan kaki memasuki ruang utama rumah Batara yang luas. Batara memilih membawa diri untuk rebah di atas sofa beludru yang empuk, sementara Aru lebih dulu menyimpan tas Batara ke atas lemari sebelum kemudian turut duduk di samping Batara seraya menyuguhkan jus jeruk untuk mereka bertiga.

"Jadi, apa yang kamu katakan kepada Utari?" Batara menyahut satu gelas jus jeruk dan meneguknya. Membiarkan cairan tersebut mengalir membasahi kerongkongannya yang kering. "Saya tahu Sunflower Daycare butuh kamu. Tapi kamu malah memilih untuk mengurus Bintang di rumah saya."

"Saya akan menyebut ini sebagai layanan di luar kantor." Pemuda di hadapannya tersenyum tipis. "Mbak Utari bilang, daycare kami memperlakukan pelanggan kami dengan spesial. Jadi dia sama sekali tidak keberatan waktu saya bilang untuk fokus menjaga Bintang selama Bapak menjalani pemulihan."

Atas apa yang diucapkan Aru, Batara mengangguk. "Lalu kuliahmu?"

Karena pertanyaan itu, tentu saja Aru berjengit sejenak sebelum menoleh ke arah Batara. "Bagaimana Anda tahu kalau saya masih kuliah?"

"Insting," jawab Batara acuh seraya meneguk jus jeruknya lagi. "Di kantor saya banyak juga karyawan magang yang seusiamu. Dan saya yakin, kamu bukan jenis anak laki-laki yang akan bergantung pada uang dari orangtua."

Tentu saja, ada rona merah menyembul di pipi Aru kala Batara mengucapkan larik terakhir kalimat tersebut. Ia tahu apa yang baru saja dikatakan oleh lelaki itu bukanlah sebuah pujian. Namun tetap saja, perlahan-lahan, Aru jadi sadar bahwa Batara tidak benar-benar seburuk yang dipikirkannya.

FOREVER WITH YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang