Chapter 16: Taste

1.1K 174 12
                                    

Memasuki hari ketiga Arina mengistirahatkan tubuhnya diatas ranjang rumah sakit. Dalam tiga hari pula semuanya berjalan dengan baik. Hubungannya dengan Sean ataupun hubungannya dengan Kiran, Arina akan selalu mensyukuri semua karunia Tuhan padanya atas bahagia yang Dia beri.

Selama tiga hari Sean rutin berkunjung, dia akan bergilir dengan Kiran untuk menemani Arina agar tidak bosan. Disiang hari terkadang Vanka ikut membantu, sembari keduanya membahas pekerjaan yang terpaksa harus ditinggal begitu saja.

Sean selalu merawat Arina dengan penuh kasih sayang, wanita itu menbantunya berganti pakaian, menyuapinya makan, dan menemaninya tidur lalu pulang dipagi hari karena harus bekerja. Kiran akan datang setelah pulang sekolah, dan menemani Arina hingga malam sebelum Sean datang. Paginya Arina meyakinkan mereka bahwa dia tidak apa sendiri.

Kalau kalian penasaran bagaimana Sean, tentu dia bersikeras untuk pergi setelah Kiran datang, yang artinya dia akan meninggalkan pekerjaan dan membiarkan Willy kerepotan. Tapi Arina tidak mau seperti itu, Sean memiliki tanggung jawab besar atas pekerjaannya. Maka wanita itu memberikan berbagai bujukan yang akhirnya disetujui oleh Sean.

Namun, sepertinya tidak berlaku untuk hari ini. Kemarin Sean mendapati Arina tak sengaja menjatuhkan gelas ketika hendak minum, wanita itu membereskan pecahan kaca sendiri hingga melukai jarinya. Sean marah melihatnya meski tak dia tampakan didepan Arina.

Hari ini Sean berubah menjadi si keras kepala yang enggan mendengarkan perkataan Arina.

"Kamu pergi aja, Se. Kemarin aku denger ditelpon Willy bilang kamu ada meeting kan?" Arina masih berusaha membujuk.

Sean tak menghiraukan, wanita itu malah fokus pada game online pada ponselnya dengan sesekali mendumal ketika dia nyaris kalah.

Arina kesal dibuatnya.

"Aku ngomong sama kamu loh."

"Aku denger kok." Katanya.

"Ya kalau denger dilakuin dong." Sean menghela nafasnya. Ponselnya dimatikan lalu dimasukan kedalam saku jaketnya. Jaket yang dia kenakan kemarin karena lagi-lagi dia enggan pulang dan meninggalkan Arina.

"Aku gak mau Arina. Kalau kamu butuh sesuatu terus aku gak ada gimana?"

Arina memutar bola matanya malas. Ayolah, belum genap empat hari mereka berbaikan, haruskah Arina melontarkan sumpah serapah lagi pada kasihnya?

"Liat." Arina menunjuk tombol merah yang berada tak jauh dari ranjang tidurnya.

"Aku tinggal pencet ini terus nanti suster datang." Lanjutnya.

"Dan biarin kamu luka kayak kemarin?"

Huh.

Rasanya kepala Arina akan meledak saat itu juga. Dia melupakan satu sisi dari seorang Seana Gantari. Sean yang akan berubah menjadi posesif dalam hal apapun jika itu menyangkut Arina.

"Jangan berlebihan deh Se. Cuma luka kecil okay? Aku gak akan luka lagi, promise. Hm?" Arina menyodorkan jari kelingkingnya untuk bertaut dengan milik Sean tanda bahwa dia sungguh-sungguh.

Namun Sean hanya memandang tanpa minat. Arina semakin kesal.

"Yaudahlah terserah." Katanya.

Lalu Arina menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut dan membelakangi Sean. Arina benar-benar kesal pada wanita itu.

"Rin, kamu marah?"

"Iya deh, aku pergi nih. Tapi jangan marah dong. Masa baru baikan udah marah lagi, ya?"

Arina tak menggubris perkataan Sean, dia berpura-pura tertidur dengan memejamkan matanya.

"Arina..."

Pada akhirnya Sean menyerah, helaan nafas terdengar dari wanita itu. Selanjutnya Arina memperhatikan melalui pantulan Vas bunga bagaimana Sean dengan tidak bersemangat mengambil kunci motor yang tergeletak diatas meja. Dia akan benar-benar pergi. Bahkan Arina bisa mendengar pintu terbuka.

Gradasi (seulrene)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang