-Akhir Insiden-

2 2 0
                                    

Di dalam lebatnya hutan, sinar rembulan menembus kulitku melalui jendela. Berhasil membangunkan ku setelah kejadian hebat yang aku sendiri tak ingat akan nya.

Aku bangun seorang diri di dalam rumah tua yang tak berpenghuni, kelihatannya sudah di tinggalkan selama beberapa tahun oleh pemilik sebelumnya, hal itu di indikasikan oleh jamur yang tumbuh lebat di sekitaran tembok rumah. Aku bangun di atas kasur kayu berderik yang hanya berisikan matras yang tidak empuk. Aku segera bangun dan melakukan sedikit peregangan, anehnya aku dapat melihat suasana malam hari dengan jelas tanpa bantuan senter atau pencahayaan lain hanya ada cahaya bulan remang remang yang menemaniku. Menyadari ada sesuatu yang janggal dengan diriku sendiri, aku segera mencari cermin di ruangan itu.

"Benar saja, hal ini kambuh kembali" ucapku setelah melihat pantulan diriku sendiri di cermin sebelah kasur.

Cermin itu mengungkap kebenaran yang menyedihkan. Setengah wajahku telah berubah menjadi monster yang mengerikan, "Ini sudah terlalu parah, aku tak akan bisa kembali seperti sedia kala." kataku sambil menunduk pasrah pada keadaan.

Di sela-sela kesedihanku aku mendengar suara kegaduhan hewan di luar rumah yang menggaung memenuhi ruangan. Waspada akan hal itu aku melompat ke atas seketika menghancurkan atap rumah menggunakan sisa kekuatan yang ku punya. Benar saja sekumpulan singa, serigala, gajah, dan sapi telah berkumpul mengepung rumah. Aku melihat sekitar dengan lebih teliti menggunakan mata Adam, rupanya di pohon-pohon telah ada segerombolan burung gagak dan beberapa elang yang mengintai di sertai ular di dahan-dahan itu.

Aku berteriak dengan kencang
"APA MAU KALIAN?!!!"
seketika membuat suasana hening.

Beberapa saat kemudian, muncul cahaya putih menyilaukan di atas para gajah ternyata itu adalah Malaikat yang melindungi daerah hutan itu. Dia berwujud layaknya seorang Dewi lengkap dengan kedua sayap membentang luas membelah kesunyian yang telah ku ciptakan, lalu dia menjawab pertanyaan ku,

"Kami ingin kamu menebus segala dosa-dosa mu yang telah kau perbuat pada hutan, hewan, dan manusia di sekitar sini! Kami ingin kamu mati!"

Kata-katanya membuatku semakin waspada.

Aku menumbuhkan sayap untuk bersiap-siap kabur dari situasi genting ini. Namun usahaku sia sia, Malaikat yang telah mengetahui niatku langsung menghantam ku dengan sebongkah pohon besar yang melesat di belakangku, dampak dari tabrakan pohon dengan tubuhku membuat seluruh atap rumah hancur berkeping-keping, serta melumpuhkan sayap dan kaki ku secara bersamaan. Aku yang putus asa kembali bertanya.

"Apakah tidak ada cara lain untukku agar dapat menebus semua kesalahanku?"

Tanpa kusadari air mata menetes di pipi sebelah kanan, membuatku menyadari bahwa akhir ku semakin dekat. Malaikat itu menatapku dengan tatapan penuh kebingungan, namun di saat yang bersamaan aku dapat merasakan amarah yang memuncak dari tatapannya.

"Kau sungguh ingin meminta ampunan setelah semua hal yang kau perbuat ini? Pembakaran hutan, pembantaian binatang tanpa pandang bulu, membuat manusia di sekitar sini sengsara dan harus pindah karena minimnya sumber daya alam untuk hidup. Apakah kau benar benar mengira akan ada belas kasihan untuk mu?!??"

Pernyataan dari Malaikat tersebut membuat beberapa bagian dari ingatan ku pulih, aku teringat moment dimana aku membakar hutan ini secara membabi buta dengan api dari tangan ku. Aku yang telah kehabisan tenaga akhirnya tumbang tak sadarkan diri.

Bangun bangun aku sudah berada di sebuah rumah besar yang hangat karena perapian yang menyala

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bangun bangun aku sudah berada di sebuah rumah besar yang hangat karena perapian yang menyala. Aku menoleh ke samping dan melihat sesosok wanita yang tak ku kenali parasnya. Rambutnya putih bergelombang, kulitnya putih jernih memancarkan cahaya ilahi, ku coba untuk membangunkannya dengan pelan.

"heiiii, haloooo, bangunlah...."

Dia yang terbangun membuka mata nya yang ternyata biru tua seperti dalamnya samudera. Mata biru itu tanpa ia sadari menangis, meneteskan air mata yang langsung di ikuti oleh pelukan erat ke arahku. Aku yang ingin menghindar tapi tak bisa karena masih lemas hanya bisa menerima peluk eratnya yang hangat, aku kebingungan.

"Kau kenapa? Kenapa menangis? Apa yang telah terjadi? Siapa kau!?"

Dia hanya mengendorkan pelukannya tapi tak menggubris tanyaku. Setelah 10 menit berlalu akhirnya dia melepaskan pelukannya dan mulai berbicara sesuatu.

"Namaku Luciel, kau biasa memanggilku Ciel. Apakah kau tidak ingat?"
Aku hanya bisa menggelengkan kepala, tak ada satu ingatan ku yang merespon pernyataannya.

"Kau benar benar telah membuat kakak ku Raphael marah. Aku tahu ini semua berada di luar kendali mu, namun mereka menilai ini semua kesalahan mu karena pemilihan keputusan mu yang terlalu naif dan sekarang kamu harus menanggung konsekuensinya. Aku termenung sejenak. Kata katanya membangunkan memoriku sedikit demi sedikit.

"Apakah kau benar-benar melupakan semua kejadian itu?" lanjutnya. Aku mulai mengingat kejadian dimana hutan ini mulai di serang oleh para Rifthounds. Ya.... para gerombolan Rifthounds yang datang dari neraka paling bawah, konon katanya mereka adalah anak buah dari raja anjing penjaga di sana Cerberus peliharaan Hades yang paling setia.

"Namun kenapa para mahluk dari dunia bawah ingin mencari masalah dengan hutan ini?" gumamku lirih.

"Oh apa yang telah terjadi pada wajah mu Noah?, apa yang telah kau tumbalkan untuk kekuatan yang dapat mengusir para anjing neraka itu?" Pertanyaan Luciel mengingatkan ku tentang kejadian malam itu, dimana Rifthounds yang telah menyebar ke seluruh hutan membuatku menjalin kontrak dengan sesuatu yang tak kuingat.

"Noah, kau akan segera di adili besok, jam 3 sore. Datanglah ke Court of Freelands bersama Ciel." Raphael yang tiba tiba mendobrak pintu seketika mengakhiri monolog ku.

Aku yang merasa siaga tapi masih lemas hanya bisa menjawab "Baik" dengan nada yang tertatih. Ciel yang mendengar pengumuman itu segera meninggalkan ku dan menyusul kakaknya untuk pergi ke ruangan sebelah. Penasaran namun tak bertenaga, aku memutuskan untuk kembali tidur agar dapat memulihkan tenaga.

Monster.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang