Part Empat

601 23 5
                                    

Les memasak tanpa membayar alias GRATIS, sudah berjalan selama sebulan. Aku jadi pintar memasak, dan pintar modus juga. Tak sia-sia aku belajar memasak dengan Abang. Makin lama, menyenangkan juga memasak bersama seperti ini.

Sudahkah diri ini menjadi istri idaman?

Ah, tentu saja belum. Aku masih belum bisa meraih hati si duda. Sulit sekali ternyata, harus ada rintangannya terlebih dahulu sebelum mendapatkannya.

Yang pasti, aku pantang menyerah. Apalagi melihat sikap Abang seperti memberi harapan untuk perawan genit ini berjuang. Tapi sampai kapan digantung? Aku ingin set sat set.

"Abang, aku semakin pinter, 'kan?" Ayo puji aku! Aku ingin mendapatkan pujian dari Kangmas.

"Kalau diasah lagi, masakanmu pasti lebih enak lagi." Hanya itu jawabannnya, tak ada pujian untukku. Alah, masa bodoh, lah.

"Sudah cocok belum jadi istri, Abang?" serangku. Abang hanya diam, membuat hati ini terluka seketika.

Sepertinya tak ada harapan lagi. Bolehkah aku menangis, sekarang? Hiks.

Apakah aku harus menyerah sekarang? Sudah berapa kali aku bersikap tak tahu malu? Haruskah aku langsung menyerangnya? Menariknya ke kamar lalu beradegan gulat bergulat?

Oke, rencana di atas harus disingkirkan.

Aku pulang ke rumah dengan membawa satu mangkok berisi makanan yang hari ini kita buat. Aku pulang dengan tak semangat, masih patah hati karena ditolak berulang kali.

Sepertinya aku bukanlah tipe wanita idamannya. Atau malah hanya dianggap adiknya. Ngenes sekali kisah percintaanku.

"Kenapa pulang-pulang lemes gitu?" Aku hanya mengerucutkan bibir kala Mama melihatku masuk ke rumah. Tanganku menyerahkan semangkuk makanan pada Mama dan langsung diterima oleh beliau.

"Ini pasti yang masak Abra," tebak Mama. Ih, padahal yang masak kita berdua. Mama memang tak percaya jika aku sudah bisa masak. Tapi saat ingin membuktikan, Mama malah mencak-mencak, tak mau kalau dapurnya rusak. Dasar, emak-emak menangan sendiri!

Setelah menaruh mangkok itu di meja makan, Mama menghampiriku yang sedang patah hati. Sekalinya jatuh cinta, eh malah cinta tak disambut.

"Kenapa? Ditolak lagi?" Mama tertawa kecil. Mungkin tahu kalau endingnya aku hanya diabaikan oleh Abang. Pernyataan cinta, dan ajakan menikah sama sekali tak dihiraukan. Pria itu masih menganggapku sebagai anak-anak. Menyebalkan!

"Apa aku menyerah saja, Ma?" lemasku.

"Terserah kamu. Tapi, Mama pikir kamu harus cari taktik lain. Mungkin dia bosan dengan sikapmu yang blak-blakan. Coba trik tarik ulur, siapa tahu dia merasa kehilangan."

Aku berpikir tentang saran Mama. Tapi gimana kalau Abang biasa saja? Atau malah bersyukur aku gak merecokinya. Lebih parahnya lagi janda-janda seksi itu ada peluang mendekat disaat aku bermain tarik ulur.

Hmm, semakin memikirkannya, semakin pusing ini kepala.

"Ma, sepertinya aku butuh asupan pria tampan."

Aku datang Jungkook, hanya kamu lah yang tak mengkhianatiku~

****

Mengingat patah hatiku, seharian aku hanya di kamar saja. Menonton drama, membaca novel, melihat pria-pria tampan di ponsel, jungkir balik, dan masih ada lainnya.

Intinya melupakan sejenak tentang Abraham. Membahagiakan diri tanpa bayang-bayang sakit hati. Tapi bukan berarti aku menyerah begitu saja, aku hanya butuh waktu menata hati agar siap berperang nantinya.

Hingga getaran ponsel membuat atensiku teralihkan dari rasa galau. Dari layar tanpa harus membuka kunci, ada pesan masuk dari Abang. Ingin membuka, aku males. Tapi kalau gak di buka, aku malah penasaran.

Akhirnya aku membukanya, dan hampir memekik bahagia saat dia mempertanyakan tidak kehadiranku di rumahnya. Apakah pria itu merindukanku?

Ayang : Gak datang? Sakit?

Ingin sekali terbang ke arahnya lalu memeluknya erat. Sayangnya semua itu hanya angan saja. Aku masih ngambek gara-gara ditolak mulu. Sakit hati Dedek, Bang!

Terluka~ tapi tak berdarah~

Me : Hari ini skip dulu, Bang!

Ayang : kenapa? Kamu benar-benar sakit? Perlu di jenguk?

Me : Enggak sakit, cuma gak enak badan aja kok.

Aslinya yang sakit hanya hatiku karena ditolak mulu. Perlu menata hati hari ini. Makanya absen ganggu Abang. Siapa tahu, sehari tak diganggu olehku, dia merasa kehilangan dan langsung melamarku.

Ayang : Itu sama saja, Sayang. (Emot ketawa)

What?! Sayang? Aku tak salah baca, berulang kali mengamati pesan itu.

Wah, gak benar ini! Gak benar! Setelah menolak secara halus, sekarang malah buat jumpalitan anak perawan!

Ini laki, sepertinya suka banget bikin anak baper, tapi kalau diseriusin dikira malah bercanda. Emang lakik ya, suka menangan sendiri!

Aku memilih tak membalas. Besok saja acara ganjenku beraksi. Untuk sekarang aku ingin Me time. Oppa-oppa menantikanku untuk menonton dramanya.

Sepertinya semesta tak mendukungku. Saat aku sudah merasa nyaman dengan posisiku dan mencari drama apa yang kutonton, ketukan pintu dan teriakan Mamaku mulai menggangu.

Aduh, apa tak bisa ya, membuat pengangguran sejati ini semedi sejenak? Ada saja yang mengganggu. Karena terus digedor dan Mama terus memanggil, mau tak mau aku harus membuka pintu kamarku yang dikunci.

"Apa sih, Ma?" renggekku bercampur kesal.

"Kenapa, sih, pintunya kamu kunci?" protes Mama.

"Gak kenapa-napa. 'Kan aku pengen istirahat," kilahku.

Mama mendengus. "Kamu turun ke bawah, tuh dicari sama sayangmu. Ciee, di apelin nih? Ciee," goda Mama seraya mencolek dagu.

"Hah? Ngapain?" kagetku.

"Ya, mana Mama tahu?"

Mencebik kesal setelah Mama turun ke bawah, mau tak mau aku harus menemui Abang. Sebenarnya aku juga bahagia, sih, di apelin begini. Apalagi yang datang adalah pujaan hati. Tapi, hati ini masih sakit hati, lantaran cinta yang belum tersambut.

"Abang ngapain ke sini?" tanyaku setelah kami bertatap muka.

"Abang jenguk kamu," jawabnya kalem.

"Padahal cuma capek doang. Nanti juga sembuh."

Abra memberikan senyum mautnya, membuat siapa saja melihatnya bakal klepek-klepek. Termasuk aku, tentunya.

"Abang tadi keluar, terus ingat sama kamu. Jadi, Abang beliin kamu kue."

Melihat sekotak kue dengan nama toko cukup terkenal, mata ini melotot terkejut. Papa yang kerja di kantoran, sama sekali tak berani aku mintai untuk beli sekotak kue ini. Karena selain harganya mahal, lebih baik uangnya buat beli yang harganya terjangkau dan juga enak.

Kaum-kaum miskin sepertiku, uang selalu minta pada orang tua, bahkan jadi beban Mama dan Papa, harus benar-benar menghemat.

Kapasitas otak pas-pasan, tak mau dipaksa untuk bekerja rodi, aku lebih memilih tidak melajutkan sekolah. Hanya tamatan SMA, kaum mendang-mending yang sama sekali tak spesial.

Untuk bekerja pun, Mama melarang dan berkata lebih baik menemani Mama di rumah saja. Paling-paling hanya menghabiskan beras saja, begitu kata Mama.

"Makasih, Bang," ujarku riang dan gembira. Menerima sekotak kue pemberiannya.

Hm, sepertinya aksi ngambekku gak jadi, deh!

....
01/12/23

𝐊𝐚𝐥𝐚 𝐃𝐮𝐝𝐚 𝐌𝐞𝐧𝐠𝐠𝐨𝐝𝐚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang