Part Delapan

458 22 14
                                    

Kalau selama ini aku hanya salah paham, berarti cemburu dan rasa galauku jadi sia-sia, dong?

Jika Abang belum menikah, lalu siapa wanita itu? Bahkan, mereka tampak sekali sangat akrab. Sesekali juga mereka saling melempar candaan. Ingin bertanya, tapi aku malu.

Kulirik kamarnya dari balkon kamarku. Sosok pria yang membuatku jatuh cinta itu tampak sedang sibuk dengan laptopnya. Entah apa yang kerjakannya, dia benar-benar fokus.

"Gara-gara dia ngomong kalau belum nikah, aku jadi terbayang-bayang, 'kan." Rasa kesal saat ini paling mendominasi. Bagaimana tidak, kalau gara-gara ucapan Abang aku jadi kepikiran.

Terkadang aku bingung bagaimana tanggapan Abang tentang perasaanku. Kadang, pria itu memberikan harapan seolah ada jalan untuk mendapatkannya. Kadang juga, dia memberi batasan bahwa aku sulit menggapainya.

Pria seperti ini harusnya tak usah diperjuangkan. Harusnya aku mencari pria lain yang pantas mendapatkan cintaku. Nyatanya, kita tak akan tahu bagaimana hati ketika dia melabuhkannya.

Ah, aku jadi pusing sendiri!

Daripada aku terlalu berpikir hal yang membuatku pusing, aku sekarang sibuk dengan promosi jasa cateringku. Meski tahu kalau memulai bisnis itu tak mudah, aku tak akan pantang menyerah.

Seperti pepatah, berakit-rakit ke hulu, bersenang-senang kemudian.

Walau kadang kala aku tergiur untuk menjadi konten kreator, yang katanya gajinya bisa sampai puluhan juta.

Dasar tak berpendirian!

Bersyukurnya aku, ketika promosiku membuahkan hasil, hati ini senang tak terkira. Seolah tak percaya kalau ada yang memakai jasaku yang masih pemula ini. Mungkin, karena harganya bisa dibilang terjangkau, mereka mencobanya.

Salah satunya adalah tetanggaku, namanya bu Halimah. Bu Halimah memesan 25 nasi kotak untuk acara arisannya. Semoga saja nanti ketika teman-teman bu Halimah mencoba masakanku, mereka juga ikut-ikutan memesan.

Aku sangat percaya diri dengan masakanku. Rasanya tak seburuk itu. Hampir sama dengan masakan Mama. Apalagi yang mengajariku memasak adalah Abang, masakan Abang sangat lezat. Pria itu kalau bilang dia adalah koki, aku pasti sangat-sangat percaya.

****

"Ria."

"Iya, Bang?" Aku malu-malu menatap Abang.

"Abang cinta sama Adek, Adek mau gak jadi istri Abang?"

"Mau, mau!" Mengangguk semangat, tangan ini memegang erat tangannya.

"Abang senang mendengarnya." Setelah itu kami...

Gedubrak!

"Auw," ringisku memegang punggung. Mataku mengerjap sesaat dan tersadar kalau aku jatuh dari ranjang.

Astaga, kukira itu semua nyata, ternyata hanya mimpi belaka.

"Ya Gusti, Ria, sebegitu ngebetnya kamu ingin nikah, heh?" sinisku pada diri sendiri.

Padahal sebentar lagi kami mau berciuman, eh ternyata hanya mimpi saja. Memang ya, mimpinya sungguh ter-la-lu.

"Ria, katanya mau belanja!" Teriakan Mama terdengar di kamar. Ah, aku lupa kalau hari ini aku harus belanja untuk acara nanti besok jam sembilan.

"Iya, Ma! Ria mandi dulu!" Dengan semangat aku beranjak dari lantai, menuju ke kamar mandi.

Hanya butuh waktu lima belas menit untuk membersihkan diri, aku segera memakai pakaian dan menghampiri Mama. Hari ini Mama yang mengantarku ke pasar. Aku tak bisa menawar, karena jika pedagang bilang harganya A, aku hanya iya-iya saja. Meski harganya aslinya tak semahal itu.

"Harusnya dari jam enam tadi kamu bangunnya. Sekarang lihat, sudah jam berapa sekarang?!" Mama mengomel, membuatku mengerucut.

Kulirik jam di dinding menunjukkan pukul 07:15 WIB. Halah-halah, Mama lebay sekali. Pasar juga belum tutup dijam segini. Masih terbuka lebar, menunggu para pembeli membeli dagangannya.

"Masih pagi, Ma," sahutku setelah sekian diam. Tak ambil pusing Mama yang kesal, aku pun mengajak Mama segera ke pasar. Tentu saja menaiki motor kesayanganku.

"Ayo cepetan, Mama juga nanti mau keluar sama teman Mama."

Mendengar Mama meminta untuk segera berangkat, kutarik gas motor hingga Mama nyaris terjungkal, dan terjadilah Mama memukul kepalaku dengan spontan.

**

Lelahnya pergi ke pasar dengan belanjaan yang banyak. Memulai bisnis memang tak semudah itu, tapi ada rasa senang juga.

"Minum es buah kayaknya enak ya, Ma," ujarku pada Mama. Memberi kode kalau aku ingin Mama membelikannya.

Apalagi panas sangat terik, belum ada hujan turun membasahi bumi. Setiap malam aku pasti kegerahan kalau AC belum menyala.

"Kamu ini ada aja yang diminta," kesal Mama, namun tak urung tetap memberikan uang warna hijau padaku.

"Beli dua ya, Mama juga mau yang segar-segar," kata Mama sambil selonjoran.

"Asyiap, Mama." Dengan riang aku keluar dari rumah. Beli es buahnya tak jauh dari rumah. Karena tetanggaku juga ada yang berjualan. Rasanya sangat nikmat, dan dapat melepas dahaga.

"Bu, es buah dua bungkus ya," ucapku pada pedagang. Sembari menunggu, aku duduk dikursi sambil melihat orang berlalu lalang. Mataku menyipit melihat orang yang sangat-sangat aku kenal.

Si Abang mau ke mana, ya? Kalau dilihat-lihat sepertinya mau berjalan ke arahku. Ah, dan benar saja, Abang membeli es buah sama sepertiku. Abang juga membeli rujak sayur satu porsi, tapi eh... loh kok duduk di sampingku? 'Kan aku masih canggung sama Abang.

Bukan hanya salah paham saja, tapi juga tentang mimpi anehku itu. Melihat Abang, aku jadi canggung sendiri. Apalagi waktu mau ciuman, refleks diri ini menatap bibir seksi Abang yang merah alami.

Andai saja kita halal, sudah kusosor sedari tadi. Duh, mesumnya diri ini.

"Ria, segitunya ya lihat bibir Abang." Ucapan Abang membuatku tersadar. Aku pun salah tingkah, malu juga karena tanpa aku sadar kalau aku terlalu intens menatap Abang secara terang-terangan.

"Siapa juga yang lihat bibir Abang," elakku tak mau mengaku. Bisa hancur harga diri ini yang tinggal setengah.

Kudengar Abang tertawa, tawanya merdu sekali. Di mataku sepertinya tak ada cacat sedikitpun paras Abang dan segala sisinya. Cuma pura-pura tak peka saja sama perasaanku. Dia sepertinya masih denial dengan perasaannya, yang berpikir tak mungkin jatuh cinta sama anak-anak.

Ih, sok tahu sekali ya aku. Muehehe.

"Main ke rumah Abang yuk," ajaknya seperti pedofil melihat mangsa.

"Ngapain?" tanyaku. Diusia sedewasa ini, memangnya mau main apa? Ular tangga?

"Ada barang yang mau Abang kasih ke kamu. Sepulang dari ini, kamu mampir dulu ya."

Tak enak menolak, aku pun mengiyakan. Ketika pesanan kami sudah selesai dan pesananku dibayar oleh Abang, kami berjalan bersisian.

Sesekali kami mengobrol hingga tak menyangka telah sampai ke rumah. Niatnya ingin masuk ke rumah Abang hanya mengambil barang, eh malah terkejut dengan kehadiran wanita berumur namun masih terlihat cantik diusia senjanya.

"Abra, Mama nunggu dari tadi eh malah lama. Loh, ini siapa? Calon menantu Mama, ya? Ya Ampun, Abra, pintar juga kamu cari menantu buat Mama."

Waduh, calon mantu gak tuh?

....
11/12/23

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 01 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

𝐊𝐚𝐥𝐚 𝐃𝐮𝐝𝐚 𝐌𝐞𝐧𝐠𝐠𝐨𝐝𝐚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang