Part Satu

1.4K 58 11
                                    

Hai, kali ini aku ikut event samudera printing. Mohon dukungannya dengan vote dan komen! Thanks you.

Happy reading!
_________________

"Ada tetangga baru," kata Mama, saat melihat mobil pickup pengangkut barang berhenti di depan rumah yang lumayan lama kosong. Kira-kira, sudah dua tahun rumah itu tak ada penghuninya. Kini sudah ada yang menempati, dan rumah itu persis di samping rumah kami.

"Syukur kalau ada penghuninya, Ma, biar gak serem," kataku pada Mama, seraya melihat samping rumah yang tampak ramai. Kadang, aku bergidik ngeri saat melewati rumah itu, apalagi posisi balkon kamarku menghadap sisi rumah itu. Rumah terasa menyeramkan meski di halaman rumah itu, lampu terus menyala.

"Dasar penakut," cibir Mama lalu masuk ke rumah. Mencebik kesal, aku melirik ke arah rumah itu sebelum menyusul Mama.

"RIA, JANGAN LUPA SAPU ITU HALAMAN!" teriak Mama dari dapur.

Menepuk kening, aku segera mengambil sapu dan menyapu halaman rumahku sendiri. Ini semua gara-gara Mama yang mengajakku bicara tentang tetangga baru, sehingga membuatku lupa awal tujuanku keluar dari kamar tercinta. Apalagi kalau bukan membantu Mama membersihkan rumah. Mama yang memasak, aku yang menyapu rumah dan halaman.

Ngomong-ngomong, tentang tetangga baru. Sebelum tahu ada yang akan menempati, rumah itu dibersihkan dua hari sebelum di tinggali. Bahkan dicat ulang agar rumah tampak baik.

Hingga tatapanku tak sengaja melihat mobil mewah berhenti di depan rumah yang baru di tempati itu. Pemilik mobil keluar dari sana dan  menghampiri pengangkut barang. Aku tak melihat jelas sosok itu karena posisinya membelakangiku, namun yang pasti dia seorang pria. Pria yang menurutku sangat tinggi, dengan bahu yang lebar dan, oh... apa itu? Lengannya sungguh berotot. Tipe-tipe pria yang suka berolahraga.

Mobil pickup yang mengangkut barang melaju pergi dan hanya menyisakan pria itu. Mataku menyipit, dan berharap dapat melihat wajah tetangga baruku. Sayangnya, jangankan dapat melihat, pria itu malah masuk ke rumahnya, dan meninggalkanku dalam rasa penasaran.

****

"Ma, tetangga baru kita kayaknya pria bujang deh," ujarku pada Mama. Tangan ini tak hentinya menyomot gorengan yang dimasak Mama, lalu menyuapkan ke dalam mulut. Rasanya enak, ingin nambah lagi, Mama tuh pandai sekali memasak. Sayangnya Mama memukul tanganku saat ingin menyomot makanan lagi.

"Jangan dimakan sendiri dong, Ria! Bisa habis, terus gak ada lauk," sungut Mama dengan tangan masih cekatan dalam memasak.

Mencebik kesal, aku duduk di kursi tak jauh dari Mama. Mama itu, tipe wanita yang tak mau direcoki oleh orang lain, apalagi saat memasak begini. Mama suka memasak, dan sebagai anak, herannya aku tidak dibolehin ikut membantu memasak. Kalau aku ingin membantu, Mama pasti mencak-mencak, mungkin risih saat aku bukannya membantu, malah mengulur waktu yang ada.

Jadi, tak heran kalau sampai sekarang aku sama sekali tak bisa memasak. Bisa sih, itu pun hanya memasak air, goreng telur, dan memasak mie.

"Ma, tumben masak agak banyak?" tanyaku agak merasa heran. Di rumah ini hanya ada aku, Mama, dan juga Papa. Masak pun hanya cukup untuk kami bertiga saja.

"Mama mau kasih sebagian untuk tetangga baru. Kita sebagai tetangga baik hati, sekali-kali memberi makanan sebagai tanda pengenalan," jawab Mama seraya menaruh makanan di rantang.

"Nah, tugas kamu yang kasih makanan ini," perintah Mama, lalu menyodorkan rantang dua tingkat.

"Tapi aku malu, ma," rengekku. Ogah-ogahan mengambil rantang tersebut.

"Halah, biasanya juga malu-maluin. Udah, gak usah rewel. Katamu tadi tetangga kita pria bujang. Nah, siapa tahu nanti dia jodohmu." Ih, Mama, enteng banget ngomongnya.

Mau tak mau, aku harus memberikan makanan ini pada tetangga sebelah. Semoga aja tetangga baru itu tidak ada di rumah. Namun, anganku terpatahkan saat melihat mobil mewah itu terparkir cantik di garasi.

Menghela napas pelan, aku ayunkan kakiku menuju ke rumah itu. Pagar yang tak dikunci membuatku ragu untuk membukanya. Takut dianggap tak sopan.

"Permisi!" teriakku di depan gerbang. Berkali-kali berteriak, namun tak ada tanda-tanda pemilik rumah keluar.

Sepertinya dia tak mendengar suaraku, jadi kuberanikan diri membuka pagar yang tak dikunci dan menuju ke pintu rumah.

Mengetuk pintu sampai tiga kali dan mengucapkan salam, akhirnya pintu rumah terbuka. Dan betapa tercengangnya aku saat melihat sosok pemilik rumah yang menatapku penuh tanda tanya.

Deg deg deg.

Jantungku berdetak hebat, terpesona melihat paras pria matang di depanku yang sialnya SANGAT TAMPAN dan juga MENAWAN. Astaga! Baru kali ini aku melihat pria penuh pesona seperti ini. Apa kabar jantung? Yang pasti sudah tidak tenang.

"Siapa?"

Sial! Kenapa suaranya sangat seksi. Suara beratnya membuat bulu merinding, hingga sisi diri yang centil meronta-ronta untuk meluncurkan aksi, namun harus aku tahan. Tidak lucu di pertemuan pertama, aku malah bersikap agresif dan tak tahu malu.

"Ha-halo, Mas, eh, Om" sapaku gemeteran. Tak kuat rasanya doi melihat ke arahku dengan mata tajamnya. Tolong, Bang, jaga matanya agar aku tidak jumpalitan. Soalnya hati ini murahan sekali melihat pria tampan dan matang.

"Iya?"

Meringis kecil, akhirnya aku dapat mengendalikan diri dari sisi ganjen yang tak tertolong.

"Na-namaku Laria, biasa dipanggil Ria. Aku tetangga baru di samping rumah," kataku memperkenalkan diri, seraya menunjuk ke arah rumahku berada.

"Aku disuruh Mama buat kasih ini," lanjutku sambil menyodorkan rantang. "Sebagai tanda pengenalan sebagai tetangga."

Ya Tuhan, di hadapan pria ini aku terasa kerdil sekali. Berapa ya tinggi pria tampan ini? Aku saja hanya sebatas dadanya. Jika aku dan dia.... Astagfirullah, aku segera beristigfar ketika mataku jelalatan. Jaga mata, jaga hati, tapi sayang kalau dilewati. Uhuk.

"Ah, begitu. Baiklah, saya terima. Dan terima kasih." Pria yang tak ku tahu namanya menerima rantang pemberianku. Meski hanya tersenyum tipis, rasa-rasanya pesonanya tak semakin luntur, malah tambah membuat kinerja jantungku berdetak hebat.

Apakah ini ya, yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama?

"Sama-sama," ujarku malu-malu meong. "Kalau gitu, aku pulang dulu, Om."

"Ya, hati-hati."

Berat juga langkahku meninggalkan rumah ini. Apalagi saat diri ini penasaran dengan nama pria itu. Daripada rasa penasaranku tak tertolong lagi, aku membalikkan tubuh menghadap ke arah pintu rumah itu. Dan ternyata pria tampan itu mau menutup pintu rumahnya. Tidak bisa! Ini tidak bisa dibiarkan! Sebelum pulang, aku harus tahu siapa namanya.

"Om! Namanya siapa?!" tanyaku cukup kencang.

Pria itu diam sejenak, mungkin berpikir-pikir dulu untuk memberitahukan namanya pada bocah sepertiku. Jiah, bocah? Padahal umurku juga sudah 20 tahun.

"Abraham, Abra." Suara beratnya mengucapkan namanya, membuat senyum ini merekah. Akhirnya aku tahu namanya.

Abra ya, namanya. Nama yang pas untuk orang setampan Om Abra.

"Salam kenal, Om Abra!" kataku padanya, lalu berlari karena malu. Wajahku memanas, rona merah menjalar di muka. Tuhan, Laria mau kalau jodohnya seperti dia. Mau banget malah!

....
24/11/23

𝐊𝐚𝐥𝐚 𝐃𝐮𝐝𝐚 𝐌𝐞𝐧𝐠𝐠𝐨𝐝𝐚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang