Prolog

45 9 28
                                    

"Happy birthday, Reyyan."

"Happy birthday, Reyyan."

"Happy birthday, happy birthday."

"Happy birthday, Reyyan."

Seusai lirik lagu tersebut dinyanyikan, para tamu serentak bertepuk tangan dengan semangat. Wajah berseri turut bahagia tak pernah luput di ekspresi mereka. Hari inilah tepat dimana remaja bernama Reyyan itu berulang tahun ke tujuh belas.

Suara tepuk tangan semakin terdengar bergemuruh tatkala cowok itu meniup lilin. Karamel yang menyaksikannya di paling depan tentu bisa merasakan kebahagiaan yang dirasakan oleh kekasihnya itu.

Hingga tibalah momen yang paling Karamel tunggu, pemotongan kue. Bukan tentang dia menyukai kue, melainkan di momen ini Reyyan akan mengatakan secara lantang perihal hubungan mereka yang selama dua tahun ini dijalani secara backstreet.

Sembari mengulum senyum, Karamel memejamkan mata. Sementara jari-jemarinya tak pernah lupa untuk dimainkan. Dia gugup. Apalagi di sana tak hanya ada teman-teman Reyyan, melainkan kedua orang tua juga sanak keluarga besar cowok itu.

Sungguh Karamel tak sabar. Rasanya pun seperti tengah berada di alam mimpi.

Hanya saja Karamel seolah dilempar kenyataan. Hingga potongan kue ke empat, Reyyan bahkan sama sekali tak memanggilnya ke depan. Dan begitu Karamel membuka mata, dia justru mendapati cewek lain sudah berdiri di sisi kekasihnya itu.

"Kenalin, dia pacar gue," ucap Reyyan kemudian. Tatapannya begitu dalam tatkala menatap cewek yang tengah memakai topeng pesta itu, seolah menunjukkan rasa cinta yang teramat besar.

"Kalian nggak perlu tahu dia siapa dan wajahnya kayak gimana. Yang jelas dia itu cantik banget, mirip bidadari, sampai-sampai bikin gue kesulitan buat mengalihkan pandangan," tambah Reyyan, lalu tersenyum simpul. Bukannya munafik, dia hanya tak mau jika salah satu temannya ikut jatuh cinta pada manusia menawan di sampingnya ini.

Seketika semua orang di sana langsung menyoraki Reyyan---sebenarnya merasa iri. Tak perlu dijelaskan pun mereka tahu betul cewek bergaun hitam itu amatlah cantik. Terasa sekali dia memiliki semacam aura yang memukau.

Sementara Karamel memilih untuk undur diri. Dia tak kuat lagi jika harus berada di sana terus-menerus. Lukanya pasti akan bertambah besar.

Karamel berlari sekuat tenaga, dia bahkan melepaskan sandal heels-nya dan meninggalkan begitu saja di jalan setapak tengah hutan yang kini sedang dia lalui.

Jiwanya terasa hampa. Pikirannya pun kosong. Rasanya seperti malaikat maut sudah membawa jauh ruhnya entah kemana, karena sekadar menarik napas pun terasa sulit dilakukan.

Cinta pertamanya. Sosok yang selalu Karamel banggakan; yang selalu Karamel nomorsatukan bahkan diatas segalanya; yang selalu membuat Karamel menjadi manusia keji akibat melawan kehendak orang tua, ternyata hanyalah manusia brengsek yang tak pantas mendapatkan ketulusan cintanya.

Awan hitam seketika datang bersamaan dengan petir yang menggelegar. Seakan paham akan luka yang tengah Karamel rasakan, langit bahkan mulai menitikkan tangisnya.

Di sebuah jembatan yang dibawahnya mengalir sungai deras, Karamel menghentikan langkah. Dilihat dari warna air sungai yang sudah berubah cokelat, sepertinya daerah yang kini Karamel pijak sudah dilanda hujan cukup lama.

Setelah sepuluh menit mengingat kenangannya bersama Reyyan, Karamel pun menarik napas panjang. Saat itu juga, dia langsung berteriak sekencang-kencangnya.

Menumpahkan semua emosinya. Setidaknya hanya berteriak yang berhasil dia lakukan dengan sempurna. Meskipun hatinya sangat terluka, nyatanya air mata sama sekali enggan keluar.

Dan kini Karamel merasa tak tahu harus melangkahkan kaki kemana. Dia tak punya tujuan. Rasanya ingin sekali pergi ke tempat yang mana tak ada manusia lain selain dirinya. Namun, apakah tempat kosong seperti yang ada dibayangnya itu ada?

Karamel kemudian kembali berteriak, kali ini lebih keras dari sebelumnya.

Bersamaan itu, sebuah motor sport berwarna hitam tiba-tiba terlempar keras membentur salah satu pohon rindang. Namun itu tak berhasil membuat Karamel mengalihkan pandangan.

Di balik tatapannya yang kosong dan memburam, Karamel mendapati seseorang berpakaian serba hitam tampak mendekat. Hanya saja telinganya seakan tuli. Dia sama sekali tak bisa menangkap deretan kata yang orang itu ucapkan, walaupun dia mengucapkannya dengan berteriak.

Setibanya sosok itu di samping Karamel, entah kenapa mulutnya mendadak tertutup rapat, tak lagi mengoceh tak jelas.

Tak lama, Karamel merasa orang itu menyentuh pundaknya dengan satu jari hingga berkali-kali. Entah apa yang dilakukannya, yang jelas hal tersebut sangatlah membuat Karamel risih.

Terdengar sebuah hembusan napas lega. Kemudian terdengar pula sebuah kalimat, "Syukurlah bukan setan."

Mendengar penuturan tersebut, emosi Karamel terasa sedikit tersenggol. Dia langsung menatap cowok itu dengan sinis dan juga tajam, tajamnya bahkan seolah mampu menembus jiwa yang ada di dalam raga sosok di sampingnya ini.

"Lo ngapain berdiri di sini?"

Di tengah hujan yang semakin deras, kali ini Karamel berhasil mendengar suara cowok itu dengan lengkap. Hanya saja rasa sakit membuatnya malas bicara.

Tak mendapati jawaban dari sosok di dekatnya, cowok itu beralih menyapu pandang Karamel dari atas ke bawah. Memastikan lagi jika dirinya tak bicara dengan makhluk tak kasat mata. Walaupun dia akui, dia melakukannya dengan penuh rasa takut.

"Lo nggak nyadar apa penampilan lo gimana?" Sekali lagi, dia menatap Karamel dari ujung kepala hingga ujung kakinya. Sementara mulutnya memaparkan, "Udah nyeker, pake gaun putih, rambut digerai sepunggung, make up luntur, nggak ada gairah hidup. Lagi cosplay setan ya lo? Kurang kerjaan amat."

Tatkala hawa dingin yang semakin menyeruak, Karamel menghembuskan napas kasar. Hembusan napas hangat terlihat bagaikan asap tipis yang mengudara.

"Bisa diem nggak?" sergah Karamel. Saat ini dia hanya ingin sendirian. Tak mau diganggu, bahkan oleh nyamuk sekalipun.

Cowok itu mengusap wajah kasar, lebih tepatnya menyeka air hujan yang menetap di sana. "Gue cuma nanya loh. Salah emang gue nanya?"

"Berisik."

Karamel memejamkan netra. Dia juga menutup telinga dengan kedua tangannya. Perasaannya kini sangatlah kalut, dia benar-benar tak ingin diganggu.

Tak lama, Karamel kembali membuka mata secara perlahan. Bibirnya bergerak mengucapkan kalimat, "Lo bisa pergi nggak? Gue capek, pengen ma—"

"Eh, lo kalo putus cinta jangan keterlaluan gini dong. Niat bunuh diri lo mending gagalin aja deh, dosa tahu. Inget, di rumah ada bokap-nyokap nunggu kepulangan lo dengan lengkap. Pastinya mereka bakalan sedih kalo lo pulang cuma raga sama nama doang. Lagian ada banyak kok cowok baik di luaran sana yang cocok bersanding sama lo," potong cowok itu cepat, lebih tepatnya memberikan arahan.

Setidaknya hanya sedikit patah kata yang bisa cowok itu berikan sebagai penyemangat. Meskipun sebenarnya kalimat barusan lebih pantas ditujukan oleh dirinya sendiri.

Sejatinya, dia pun hanyalah manusia menyedihkan yang setiap harinya selalu memikirkan cara untuk menghilang dari dunia.

***

Tanpa basa-basi, langsung lanjut aja ke bab satu deh.

Have fun, guys!

Kisah ZekaramTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang