Aksi demo kemarin ternyata berdampak pada pagi ini. Seluruh sopir angkutan umum rupanya memilih untuk mogok kerja. Akibatnya di awal pagi seperti ini banyak penumpang yang berjejer di pinggir jalan. Seakan kehilangan akal, tak sedikit dari mereka bahkan berteriak meminta tumpangan pada pengendara motor yang melintas.
Di tengah ributnya keadaan, Karamel justru terlihat sangat santai. Memilih berdiri sedikit lebih jauh dari kerumunan, dia justru memainkan ponsel dengan kedua telinga terpasang earphone berwarna putih. Tak peduli meski kini waktu sudah menunjukkan pukul enam tiga puluh.
Sejenak, kedua netra Karamel menatap langit. Hanya ada segunung awan kelabu di sana. Sama sekali tak memberi celah untuk sang mentari menyinarkan cahyanya.
Dan benar saja, tak lama kemudian awan mulai menitikkan tangisnya. Untungnya hujan datang bersamaan dengan bis sekolah yang sejak tadi Karamel tunggu.
Ya, beginilah keseharian Karamel saat pagi. Bukan lagi menunggu angkutan umum, melainkan bis yang memiliki warna dominan oranye.
Walau terlihat seperti naik kelas jenis transportasi, namun bongkahan besi raksasa yang satu ini justru bebas prabayar. Tak heran, kendaraan itu memang dikhususkan untuk para pelajar.
Sementara itu, hujan semakin bertambah deras. Kabut tebal yang sempat pergi bahkan kembali datang menutupi pandangan.
Karamel membuang napas kasar. Satu hal yang teramat dibencinya, yakni hujan di pagi hari. Selain dingin, kondisi tersebut pun membuatnya malas beraktivitas.
Baru saja tiga puluh detik mendaratkan bokongnya, kedatangan seseorang seketika membuat Karamel sedikit terusik. Cewek yang semula menatap bulir-bulir air yang mengalir di jendela bis, terpaksa harus menoleh beberapa saat untuk melihatnya.
"Resek banget sih," bisik Karamel sangat pelan, telinganya sendiri pun tak mampu mendengar.
Pasalnya sosok yang duduk disamping Karamel ini terlalu menggunakan banyak tenaga ketika mengusap-ngusap pakaiannya yang sedikit basah. Hal tersebut membuat kursi yang cewek itu duduki turut bergoyang.
Namun Karamel memilih untuk mengabaikan. Dia tak mau membuat masalah dengan orang yang tak dikenal.
Tanpa menunggu penuh, bis kemudian berangkat.
Sembari menikmati indahnya syair-syair yang berbisik di telingannya, Karamel menatap ke arah luar dari balik jendela. Hanya saja, sosok di sampingnya ini kembali membuatnya kesal. Bukan tanpa alasan, melainkan sosok itu dengan beraninya memakaikan jaketnya yang basah ke tubuh Karamel begitu saja.
Karamel menoleh hanya sekadar untuk melayangkan protes. Namun setelah mengetahui siapa pelakunya, cewek itu justru memutar matanya malas sambil berdecih.
"Gue tau lo kedinginan, Kar," ucap Zen dengan senyum yang tak pernah lupa untuk terbit.
Karamel membuang napas kasar. Dengan mulutnya yang masih tertutup rapat, dia langsung mengembalikan jaket hitam itu kepada sang pemilik.
"Loh, kok dilepas sih, Kar?" tanya Zen heran.
"Gue nggak butuh."
"Kan lo keding---"
"Maaf, tapi jaket lo itu bau," tutur Karamel mengingat jaket Zen tersebut memiliki aroma khas.
Mendengarnya, Zen sontak menggaruk tengkuknya yang sama sekali tak gatal. Sesaat dia dibuat bungkam karena lidahnya terasa kelu untuk meresponnya.
"What the fuck." Setidaknya hanya itu yang keluar dari bisikan lembutnya.
"Mana basah lagi. Rasanya percuma juga kalo gue pake. Yang ada bukan bikin anget, tapi malah bikin tambah dingin," lanjut Karamel seraya membenarkan earphone-nya yang sempat terlepas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Zekaram
Roman pour AdolescentsKata siapa sahabat menjadi orang pertama yang mengasihani kita? Kata siapa sahabat selalu ada di kala suka dan duka? Kata siapa sahabat selalu menjadi motivator utama? Semua itu salah bagi Karamel. Cewek itu justru harus menelan mentah-mentah derita...