Prolog

102 5 0
                                    

Gadis itu menunjukkan wajah intimidasinya sebagai penanda bahwa dirinya telah memenangkan kompetisi yang bisa dibilang cukup kompleks ini. Sambil bersiul untuk memecah keheningan, kedua tangannya bersembunyi di balik saku jaket hitamnya. Kepalanya bergerak ke berbagai arah, sampai dia memfokuskan pandangan matanya kepada tujuh laki-laki yang sebaya dengannya dan sedang terkapar lemah di hadapannya.

Satu di antara laki-laki itu, menatap gadis di hadapannya dengan amarah yang menyala-nyala. Akan tetapi, lakban hitam yang menempel dengan setia di area mulutnya, serta tali yang mendekap erat tubuhnya telah menjadi penghalang besar baginya untuk melakukan perlawanan. Dia hanya bisa menggeliat di atas tanah sebagai pelampiasan emosinya.

Menyadari gelagat aneh dari laki-laki tersebut, gadis cantik nan tinggi yang bernama Sanika itu dengan perlahan melangkahkan kakinya, untuk mengurangi jarak di antara mereka berdua. Sehingga jarak di antara mereka hanyalah lima senti. Sanika menundukkan kepalanya untuk melihat wajah lelah dari laki-laki itu.

Laki-laki tersebut hanya melemparkan tatapan tajam dan semakin lincah menggeliat di atas tanah, dirinya amat murka. Bisa-bisanya Sanika hanya menarik ujung bibir kirinya ketika melihat kelakuan dari laki-laki itu. Keangkuhan terukir jelas pada wajahnya. Dan entah mengapa, keangkuhan itu tampak bercampur dengan kecantikan yang dimilikinya.

Tingkah aneh laki-laki itu semakin membuat Sanika merasa risi. Dia sangat heran, hanya laki-laki ini yang menggeliat tidak jelas sejak tadi, sedangkan keenam temannya hanya pasrah menerima keadaan. Penampilan mereka sama, dibalut oleh lakban hitam dan tali.

"Hei, tenang, aku tahu kamu tidak terima dengan keadaanmu yang sangat menyedihkan ini." Ledek Sanika sambil mengulum tawa.

"Mengapa kamu menggeliat tidak jelas seperti ini? Lihatlah ke enam temanmu, mereka hanya pasrah dengan keadaan yang telah ditakdirkan Tuhan." Celoteh gadis berbalut jaket hitam itu.

Laki-laki itu hanya mengerang tidak jelas, maklum saja karena mulutnya ditutupi lakban. Dirinya sangat ingin menghancurkan orang yang ada di hadapannya menjadi beberapa kepingan lalu membakarnya dengan api yang menyala. Tapi, sangatlah mustahil untuk melakukan itu.

Sanika meletakkan ujung telunjuknya tepat di dahi laki-laki itu, sebelum mengucapkan kalimat yang sudah dia susun sejak tadi, sebelum ketujuh laki-laki di hadapannya ini berhasil dia taklukkan.

"Hanya Cantika yang sepertinya tulus menyayangi dirimu, wahai tuan muda. Dulunya, dia adalah sahabatku. Tapi karena kamu, dia rela terjun ke dalam lingkaran busuk dan rela tertular banyak virus hanya untuk mendapatkan seorang tuan muda yang gagah ini, yaitu kamu." Ujarnya angkuh sebelum melayangkan tamparan keras kepada laki-laki malang itu. Rasanya puas sekali.

"Dan sepertinya, dia akan bernasib sama seperti kamu, dan keenam temanmu. Ketampananmu yang amat memesona itu telah membutakan mata dan hatinya, sehingga dia mau-mau saja dihinakan oleh kata-kata busuk yang keluar dari lidahmu, tuan." Dia menghentikan perkataannya yang bersatu dengan pujian hiperbola, mengambil napas untuk menenangkan dirinya.

"Reymala tidak akan pernah menjadi milikmu. Dia adalah perempuan yang terhormat, tentu dia tidak akan mau dengan laki-laki bodoh seperti kamu." Sanika melihat sebuah ruangan di arah sana, berkeinginan untuk mengunjunginya.

"Sebentar, aku akan melihat Cantika dulu, orang yang tergila-gila denganmu. Duduk yang manis, wahai anak-anak tampan." Perintah Sanika bersatu dengan kalimat hiperbola.

Aksi Menemukan JejakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang