2

50 3 0
                                    

Lautan pelajar berseragam merah putih tampak berlarian dari berbagai penjuru menuju satu titik yang sama, yaitu gerbang sekolah. Mereka ingin segera melarikan diri dari tempat mengerikan tersebut, namun aksi mereka dihadang oleh seorang satpam paruh baya. Usianya sekitar lima puluh tahun, tapi dia masih memiliki fisik yang kokoh lagi kuat.

Dia menghadang lautan siswa-siswi itu, karena tidak mengizinkan mereka untuk pulang lebih awal. Waktu pulang sekolah yang sebenarnya adalah pukul dua belas pas. Dan saat ini, masih pukul sebelas lewat lima puluh, dia meminta anak-anak itu untuk menunggu selama sepuluh menit.

Berbagai reaksi dikeluarkan oleh mereka. Ada yang menampilkan raut wajah masam, ada yang mengeluh, dan ada juga yang hanya diam saja, memilih untuk menunggu waktu pulang tanpa melampiaskan kekesalan pada satpam itu.

"Dih, kok disuruh nunggu, sih?" Keluh seorang siswi, merasa kesal dan melampiaskannya dengan cara mengepalkan kedua tangannya.

"Tahu, nih, biasanya dibolehin pulang lebih awal." Jawab temannya sambil memainkan rambut dengan jari telunjuknya.

"Sok asik bener ini satpam." Keluh siswa lain, dia hanya ingin pulang sekarang juga.

"Duh, ini panas banget. Di depan sana udah ada es teh itu. Haus juga." Seorang siswa meringis, dia ingin sekali untuk berlari menghampiri penjual es teh yang sudah berdiri di depan sekolah. Tenggorokannya amat kering karena air minum yang dia bawa sudah habis sejak tiga jam yang lalu.

Kalimat-kalimat pedas itu turut ikut bergabung ke dalam suasana mencekam itu. Sebenarnya, waktu pulang sekolah tersisa tiga menit lagi, yang membuat lautan pelajar tersebut mulai bersiap siaga di depan gerbang sekolah, menunggu satpam itu membukanya.

Mereka rela berdesak-desakan satu sama lain hanya untuk segera pulang dari sini. Tingkah mereka membuat satpam bernama Soni Mulyawan itu tertawa, anak-anak ini begitu lucu, pikirnya.

Dan, tak perlu menunggu lama, siswa-siswi yang berkerumun itu memberikan jalan kepada Soni untuk membuka gerbang, dan mulailah terlihat sebagian besar di antara mereka berlarian kencang menuju pedagang jajanan, atau berlarian menuju orang tua mereka yang sudah menjemput.

Berbeda dengan seorang gadis mungil yang terduduk kaku di atas kursi kayu sambil melamun. Dia tidak ikut serta dalam keributan dan kehebohan di luar sana, karena dia hanya memilih untuk duduk diam di dalam kelas saja.

Dia hanya menatap kosong papan tulis putih dihadapannya. Sambil mengetukkan jari telunjuknya ke atas meja, menunggu keributan di luar sana mereda. Dia sangat tidak suka dengan keributan. Dia adalah pribadi yang amat pendiam, tidak banyak bicara.

"Reymala!" Sahut seseorang yang membuyarkan lamunan gadis itu. Seorang pria yang memakai kemeja putih motif garis-garis hitam dan celana hitam, sebuah helm yang terletak di atas kepalanya, serta sebuah kunci motor yang digenggam tangannya, baru saja menyadarkan gadis tersebut dari lamunan tidak jelas itu.

"Bapak? Kok Bapak di sini?" Dengan polosnya gadis itu bertanya, dia tidak sadar bahwa sekarang adalah waktu pulang sekolah.

"Lah, kok nanya kenapa Bapak ada di sini? Ini 'kan udah waktu pulang, Nak. Ayo, kita pulang!" Bapaknya merasa gemas sendiri, dengan tingkah anaknya yang lucu itu.

"Tadi aku gak ikut keluar, karena semua orang ribut. Makanya aku di dalam kelas aja, eh tau-taunya Bapak udah datang." Ujarnya sambil meninggalkan kuris kayunya. Tak lupa tas ransel dipakainya, dan mematikan semua saklar yang ada untuk menghemat listrik.

"Makanya, kamu itu jangan kebanyakan melamun." Nasehat Bapaknya berulang kali, Reymala memang suka melamun, entah apa manfaatnya.

"Iya, Pak. Maaf." Hanya itu yang bisa Reymala katakan. Dia sudah berusaha untuk menghilangkan kebiasaannya itu, namun tidak pernah membuahkan hasil.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 19 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Aksi Menemukan JejakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang