[6]. Harga Diri yang Terus Ditawar

1.2K 217 53
                                    

Hai, apa kabar? 😍

Asli, aku kangen banget sama kalian.
Maafkan baru update di sini. 🤭

Btw, pembaca di WP kayaknya lebih suka nunggu part banyak dulu baru mau mlipir baca, ya? 😆

Happy reading dan jangan lupa vote sama komentar. 🥰🤗

====***====

Ini kali pertama gadis itu merasakan perasaan aneh yang begitu menggelitik di perut. Ia memang terbiasa berdebar ketakutan setiap berada di dekat laki-laki, kecuali Daniel tentu saja. Sania tak pernah lagi takut dengan laki-laki blasteran bermata biru itu. Meski mulanya Daniel harus berusaha keras mendekat. Sampai suatu ketika mereka dekat dan jadian.

Ke mana laki-laki itu sebulan ini? Sedang pulang ke rumah maminya-kah? Di Jakarta?

Sania menggeleng dan memejam sejenak. Ia embuskan napas kasar seraya meletakkan lip tint yang baru semalam dibeli. Gadis yang tengah duduk di depan cermin sembari bersila itu sebenarnya bukan penggemar produk make up. Sungguh, ia berani bersumpah baru kali ini memoleskan produk ini di bibirnya.

Oh, kembali lagi ke persoalan perasaan aneh setiap kali berdekatan dengan ....

"Narendra. Bakhtiar." Sania mengucap nama laki-laki itu pelan-pelan.

Laki-laki itu seperti paham sekali pada kecanggungan Sania. Ia selalu menjaga jarak aman. Yaa, kecuali saat Rendra membantunya mengambilkan setoples gula dari kabinet. Tapi setelahnya, laki-laki bertubuh jangkung itu segera mundur, memberi jarak, kira-kira satu meter.
Namun, meski berjarak, Sania bisa merasakan laki-laki itu begitu hangat melalui tatapannya. Tak ada pandangan menghakimi seperti tatapan mata orang-orang.

Pagi itu Sania dengan lugunya meminta maaf karena baru sempat menemui Rendra untuk berterima kasih. Ia juga meminta maaf pada Gio dan mengembalikan map merah pemberian Tante Nana. Ia tak bisa bekerja menjadi skeretaris Rendra karena suatu hal yang tidak mungkin Sania sampaikan saat itu juga.

Setelah itu, Sania pikir sudah. Mereka tak akan bertemu lagi. Tapi nyatanya, sebelum ia beranjak dari apartemen mewah itu, Rendra melontarkan tawaran, "Bagaimana dengan menjadi teman jalan-jalan Minggu ini sebagai gantinya?"

Sania tercenung pada mulanya. Ia belum mengerti apa korelasi ajakan jalan-jalan dengan penolakannya menjadi sekretaris.

Sampai akhirnya laki-laki itu bilang, "Saya sebelumnya sepuluh tahun tinggal di New York. Baru beberapa bulan kembali di sini. Temani saya berkeliling dan kamu nggak perlu lagi sungkan perkara biaya rumah sakit."

Harusnya Sania bilang tidak atau setidaknya segera menggeleng. Sialnya, kepala dan bibirnya berkhianat. Ia mengangguk dan tersenyum tipis. Tipis saja, sih, tidak terlalu kentara. Eh, iya, nggak, sih?

Sania mendesah lemah. Ia memilih segera memasukkan ponsel pada sling bag kecil beserta dompet yang isinya tak seberapa. Tadi malam Minah memberinya uang tiga ratus ribu. Katanya sebagai ganti karena sering merepotkan sewaktu berdagang kuliner di Alun-Alun Kidul. Padahal gadis berambut tergerai panjang itu tak pernah merasa repot sama sekali. Ia suka membantu neneknya.

"Nia," panggil Minah. Perempuan berambut kelabu itu melongokkan kepala melalui celah daun pintu yang terbuka sedikit.

Gadis yang tengah bersiap mengenakan sweter oversize biru tuanya sigap menoleh. Bibir Sania hampir tersenyum, tapi lengkungan itu ia urungkan ketika menemukan kerutan di antara dua alis Minah semakin kentara. Pertanda kalau perempuan tua itu sedang bingung.

SaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang