Hai, apa kabar semuanya? 🥰
Semoga sehat selalu, ya.Maaf aku menghilang dan lama hiatus menulis. Banyak kesibukan yang harus aku jalani di dunia nyata. Apalagi balitaku lagi dalam tahap gampang tantrum. Entah kenapa akhir-akhir ini sulit sekali aku kendalikan. Sedih dan kadang emosi rasanya mau meledak saking capeknya, tapi namanya anak-anak dia nggak ngerti kalau perbuatannya salah. Mau aku marahin pun dia belum ngerti. Jadi aku memilih diam pas dia lagi tantrum. Kadang aku sampe ketakutan sendiri dan merasa jadi orang tua gagal.
Tapi nggak papa. Aku yakin aku nggak sendirian. Di sini juga banyak yang emak-emak pastinya pernah ngalamin betapa stresnya kalau anak lagi masuk tahap-tahap sering ngambek. Ya, kan? 😁
Semangat buat kita semua. 🥰🤗
Happy reading, jangan lupa vote dan komen! 🥳
====***====
"Ia ingin lari. Yang jauh. Meninggalkan semua kenangan lalu yang terus membayangkan kengerian."
====***====
Ia mengantuk. Masih sangat mengantuk sebab semalam terjaga di ruang tengah demi berjaga. Gadis yang kini tergolek tidur di atas meubel berlapis kain beledu warna jingga itu mengerang malas. Rasanya masih ingin tertidur pulas sampai puas. Namun, sulur-sulur sinar matahari yang menerobos melalui jendela dengan tirai cokelat muda itu teramat mengusik.
Semalam penghuni di balik pintu kamar dengan tirai kerang yang tergantung itu terus mengamuk. Melempar benda apa pun yang bisa ia gapai, membuat Sania berkali-kali menilik ke dalam kamar. Gadis yang kini memaksakan diri bangkit itu berusaha menenangkannya. Namun, seperti yang sudah-sudah. Akan ada luka sebagai hadiah.
Sania menatap punggung tangan kanannya. Ada luka baret kuku yang memerah. Di lengan kiri, ada bekas cengkeraman kuat yang membiru saat sang Mama berteriak-teriak ketakutan. “Aku benci John! Aku benci dia! Bajingan!” Begitu kalimat yang terus diulang-ulang.Minah dan Pardi pun tak kurang-kurang membantu. Pasangan renta itu akan selalu mendapat bagian terakhir, membereskan sisa-sisa kekacauan yang terjadi. Memunguti pecahan gerabah yang berceceran di lantai, menata selimut dan bantal yang bertebaran di sembarang tempat, lalu mengambilkan sebaskom air hangat untuk membasuh luka-luka Sania.
“Nduk, kamu nggak harus menanggung semua. Kamu boleh pergi mencari kehidupanmu sendiri, mengejar mimpi-mimpimu yang tertunda. Mencari pekerjaan atau apa pun itu. Perkara mamamu, biar Nenek, Kakek, sama papamu yang mengurus.” Kalimat Minah semalam terngiang.
Ditatapnya pintu kamar bertirai kerang yang masih tertutup rapat itu. Ada sejumput nyeri yang menyesakkan dada. Menyeruak hingga tenggorokan terasa sakit. Lagi, mata sehitam jelaga gadis itu mulai dipenuhi riak-riak kesedihan. Ia ingin lari. Yang jauh. Meninggalkan semua kenangan lalu yang terus membayangkan kengerian. Namun, setiap melihat perempuan yang telah melahirkannya terkulai tak berdaya usai berteriak-teriak histeris, Sania tak sampai hati meninggalkannya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sania
Romance[21+] Narendra Bakhtiar--Rendra alias Tiar--sudah sering menjalin kerja sama dengan anak gadis orang, entah itu dalam hal bisnis atau romansa. Dalam bisnis, Tiar percaya setiap orang pasti mengejar keuntungan serupa materi. Dalam romansa, ia percaya...