All The Time

254 14 4
                                    

Sebenarnya kalau membahas enak tak enak pacaran satu agensi pasti jadinya akan ribet dan panjang sekali pembahasannya. Tapi, memang begitulah yang dialami Phuwin setiap hari ketika langkah kakinya memasuki gedung perkantoran yang luasnya bukan main, bahkan melebihi luas rumah neneknya di ujung kampung yang seluas lapangan bola di desa-desa besar. Lelaki itu menghela nafas, pikirannya melayang-layang sejak tadi di atas motor dengan kecepatan di luar nalar karena driver ojek online-nya takut kehujanan sebab awan begitu mendung. Betapa kerennya Phuwin masih sempat berpikir imajinatif, meskipun pikiran itu cenderung kekhawatirannya atas apakah ia nanti kehujanan ketika sampai di kantor dan ditambah bagaimana caranya menghadapi berbagai pertanyaan terkait gosip terkini yang sedang memanas di media sosial.

Sialnya, dan entahlah, apakah memang benar hari ini Phuwin akan sial, tetapi sebelum keberangkatannya tadi ia mendapatkan pesan gawat dari sang sahabat yang bisa disebut saja bernama Love. Perempuan itu memang tak menelfon dengan segera, tapi suaranya yang menggelegar namun kalem secara bersamaan (bingung 'kan?) ketika mengirim voice note membuat Phuwin seperti tersambar petir dan menjelma menjadi pria matang yang gosong sepenuhnya. Diam di tempat, termenung dengan mulut terbuka. Alangkah mendungnya hari ini beserta pikiran Phuwin yang langsung dipenuhi kabut. Lelaki itu mendapat kabar kalau Pond, kekasihnya, tertangkap kamera sedang bergandengan tangan dengannya ketika kemarin mereka berdua pergi bersama di sebuah pusat perbelanjaan.

Mati aku, mati aku, mati aku, ucap Phuwin ketika saat ini berjalan cepat menaiki tangga dan melihat sudah banyak fans menunggu konfirmasi atas berita yang beredar. Lelaki itu begitu benci dengan perhatian yang berpusat padanya, dan lebih benci lagi karena saat ini ia merasa, seluruh mata tertuju hanya pada tubuhnya seorang. Menusuk begitu dalam sehingga tak sadar di tengah ruangan penuh AC yang dingin, Phuwin berkeringat luar biasa sambil beberapa kali menekan tombol lift yang tak segera menyala-nyala. Super duper sial intinya, dan lelaki itu juga beberapa kali mengumpat sambil bergumam sebab mengapa dirinya jadi begitu panik atas segala yang jika dirunut kembali memanglah suatu resiko dari kemungkinan yang sudah pernah dibahas di awal hubungan. Phuwin benci posisi seperti ini, harus dipaksa mengalah dengan kondisi yang begitu mendesak. Tapi kepada siapa ia harus marah? Tuhankah? Dan apakah dirinya diperbolehkan mengadu padahal baru saja menjilat ludah sendiri karena yakin tak akan merasa tertekan dengan keputusan yang telah dibuat dulu?

Phuwin sudah mau meledak, ketika akhirnya lift terbuka dan terpampanglah sosok lelaki pujaan masyarakat berdiri santai sambil berkacak pinggang. Kedua matanya yang jernih bertemu dengan Phuwin yang saat ini melotot kaget, sebab tak menyangka manusia yang sedang dibicarakan di pikirannya malah muncul di depan mata. Semua terjadi dalam beberapa detik, dan tahu-tahu saja di dalam lift itu hanya ada mereka berdua yang saling berjaga jarak. Beberapa saat lalu, Phuwin langsung menghadang jalan Pond untuk bergerak keluar dari kubus besi itu. Mendapat pandangan yang seram, lelaki terkenal itu mundur kembali meskipun dalam hatinya kebingungan setengah mati. Ada apa dengan kekasihnya ini yang terlihat tak biasa, bahkan seperti baru saja dikejar ibu kantin yang hendak menagih utang-utangnya selama bersekolah di SMA maupun SMP.

"Mind to tell me something?"

"Hush, diem dulu!"

"Okay, fine. Apapun yang kamu bilang, sayang."

"Berhenti panggil aku 'sayang'?!"

"Iya, sayang. Maaf."

"Pond Naravit?!"

Tanpa sadar mereka tengah berdebat yang bisa dibilang sepele, pintu lift terbuka lebar dan perlahan. Seperti bisa dibayangkan kalau di film-film, seseorang sudah menunggu mereka berdua sambil berkacak pinggang. Tapi bukan dengan begitu santai seperti Pond tadi di awal perjumpaan, melainkan tatapan intimidasi yang disusul kedua lengan bersedekap, sambil memandang dengan mata super selidik. Membuat kedua lelaki di dalam kubus besi itu terdiam di tempat, dengan seorang hanya menatap datar seakan tak tahu apapun, sedangkan yang satu lagi semakin berkeringat dingin yang menandakan bahwa, mungkin saja... karir yang sudah diembannya dalam beberapa tahun terakhir akan berakhir saat ini juga. Di hadapan sang kekasih, dan juga manager-nya yang cukup galak itu.

ALL THE TIME: THE TRILOGY • pondphuwin ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang