How Did We End Up Here?

193 14 6
                                    

Memang benar kata pepatah; segalanya yang ada di bumi ini akan menemui akhir. Akan menemui ajal dari waktu yang terus bergelimang menuju ketiadaan. Ada beberapa orang yang begitu menerima kehilangan berkat waktu. Tetapi sebagian lagi merasa biasa saja dan terus berlagak seakan tak mengetahui apapun. Kondisi itu tak jauh beda dengan kedua insan yang saat ini pura-pura tak saling melihat; meskipun dalam diri sebenarnya ingin saling menyapa atau setidaknya sekali bertatapan mata. Namun, apakah mungkin demikian dilakukan, jika sebenarnya mereka berdua saling bersitegang? Saling menghindari dengan sengaja karena telah berjanji akan bertindak seperti itu setelah semua diakhiri sesuai perjanjian?

Melepaskan sesuatu ketika masih merasa terikat memanglah berat. Lingkungan yang serba tak mendukung ini membuat mereka berpikir banyak hal. Phuwin tak tahan dengan segala ujaran kebencian mengenai dirinya. Hidupnya selalu merasa tertekan, dan semua itu dilewati dengan perasaan tak nyaman tapi merasa harus dilakukan. Sebab ia begitu cinta, begitu jatuh, dan apapun akan dilakukan demi bisa mempertahankan kasih sayangnya kepada yang tercinta; meskipun harus berkorban jiwa dan raga. Sedangkan Pond sebagai seorang ternama merasa tak becus menjadi penyayang. Merasa tak mampu melindungi yang tercinta meskipun sebenarnya bukan salah dia semata. Hanya saja dunia memang sedang jahat-jahatnya, dan akan selalu jahat kepada orang-orang yang merasa dunia ini hanya berpusat kepada diri mereka.

Pond sempat berpikir, mungkin saja ini semua memang takdir. Mereka dipertemukan hanya untuk saling mengisi, tapi tidak saling menemani hingga akhir. Hanya untuk saling belajar bahwa ada manusia yang seperti ini, percintaan yang seperti ini, dan pergumulan mesra yang bombastik tapi begitu dipacu adrenalin. Hanya dipertemukan dalam maksud dan tujuan tertentu. Dan sialnya lagi, mereka tak tahu mengapa bisa demikian. Mereka berdua hanya menerima dan menikmati tanpa tahu akhir yang dihadapi kemudian akan menjadi begitu miris dan getir. Pond dan Phuwin hanyalah insan polos, sedangkan dunia telah bergelincir entah sekian tahun lamanya bersama pengalaman hidup yang luar biasa.

Dunia ini memang tak adil, begitu pikir Phuwin ketika mendapati sosok Pond perlahan melangkah menuju venue pemotretan. Rasanya seperti sudah lama tak melihat rupa manusia yang begitu dicintainya itu. Ia melihat dalam diam, memperhatikan meskipun tak nampak, tapi kedua matanya selalu melekat dengan erat, dan memandang segala gerak-gerik begitu juga raut wajahnya. Begitu rupawan, pikir Phuwin pula. Sempat terdiam lagi sampai-sampai model lain yang sedang diriasnya mengikuti arah pandang. Diam-diam model itu ikut tersenyum; prihatin mendapati kedua insan yang sesungguhnya masih lekat tapi tak bisa saling dekat. Lelaki itu sudah tahu segalanya, dalam diam mendapati segala macam kemungkinan hingga akhirnya menyimpulkan asumsi berupa kebenaran.

"Phuwin?"

"Eh?" Yang dipanggil namanya langsung mengerjapkan mata. "M - Maaf, Dunk. Gue gak sengaja - "

Model lelaki itu menggeleng. "Gue paham kok."

"Maksudnya?" tanya Phuwin dengan wajah heran. Sejujurnya sedikit sangsi karena lelaki muda di hadapannya ini seperti telah mengetahui sesuatu.

Dan pertanyaan itu cukup terjawab dengan kehadiran respon Dunk Natachai perihal pemikirannya.

"Gue gak tau apa yang ada di pikiran lo sekarang ini. Tapi gue cuma mau mengingatkan sesuatu." Lelaki model itu menjeda sejenak, mencoba melihat reaksi Phuwin yang menatap dirinya lekat-lekat. "Selesaikan apa yang sudah kalian mulai, Phuwin. Karena segala hal di dunia ini selalu memiliki akhir yang pasti."

Akhir yang pasti. Sebuah kepastian. Memang benar, salah satu dari mereka masih ingin berusaha bertindak lebih. Berusaha untuk menciptakan kepastian bahwa hubungan ini bisa berlanjut hingga masa depan yang penuh harapan romansa. Pond Naravit menginginkan hal itu, sambil sesekali mencuri pandang ketika mendapati mantan kekasih hatinya bercengkrama dengan lawan main pemotretan. Ia terdiam memperhatikan; sebenarnya sama saja mereka berdua. Tenggelam dalam gengsi yang mendorong keduanya tak ingin saling coba bertemu barang sedetik pun. Pond menghela nafas, mungkin saat ini bukan waktunya. Mungkin Phuwin sudah enggan bertemu dengannya lagi, sebab diri lelaki itu nampak biasa saja.

ALL THE TIME: THE TRILOGY • pondphuwin ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang