Between Illusion and Reality

108 12 0
                                    

Phuwin's POV

Mereka bilang, yang tak mungkin bisa jadi mungkin. Sebab yang terpenting kita percaya saja dulu akan terjadi kemudian hari.

Persis seperti yang kurasakan saat ini. Aku sudah sering melihatmu dari jauh. Jauh sekali, bahkan sudah pasti kamu tak tahu aku hidup bersamamu dalam beberapa bulan terakhir. Kamu di sana, bersenang-senang di tengah lautan manusia. Pesta ini dimulai beberapa saat yang lalu dan aku yang serba tak terlihat ini hanya bisa bersandar di pojokan ruang sambil meneguk sekaleng soda. Kuperhatikan gerak-gerikmu, kupuja-puja dari kejauhan. Semua orang merayakanmu, meskipun sebenarnya ini acara internal agensi, tapi aku tahu semua orang menyadari kehadiranmu dan kamu turut dirayakan pula secara tak sengaja. Kamu masuk ke dalam ruangan, dan semua orang menyebut namamu. Menyapa dirimu dengan senyum yang entah mengapa terasa penuh akal bulus, tak murni, dan juga tak berarti. Senyuman formal, bisa dibilang. Tapi mungkin kamu tak menyadari, sebab akulah yang sangat memahami dirimu. Begitu teramat sangat.

Inilah pertemuan pertama kita. Perjamuan pertama yang kamu mulai dengan langkah kaki tertuju padaku. Aku tak tahu harus bertingkah bagaimana, meskipun jelas sekali tubuh ini bereaksi padamu. Ingin tak sekedar berbicara denganmu, tetapi juga merasakannya. Dan aku ingin mengenal lebih jauh dari sekedar namamu. Aku ingin mengenal apa yang ada di dalam dirimu. Bahkan aku tak sempat berkata, ketika dengan mulus kamu berkata ingin menjalin rasa demi rasa. Perlahan menuju tempat tinggalmu yang antah-berantah setelah malam semakin larut, dan orang-orang mencari tahu ke mana dirimu pergi. Mereka tak tahu bahwa aku menculikmu, menculik perhatianmu yang saat ini berhasil terpusatkan dan aku begitu bahagia. Bahagia yang terasa sejenak sebab setelah ini, dalam sekelibat pikiranku, aku tahu semua akan kembali seperti biasa. Menolak perkembangan asmara.

Tapi ternyata dunia begitu baik. Dunia sedang begitu memanjakan manusianya. Aku menjalin cinta, aku melabuhkan hati ini kepada dirimu seorang. Kami bersenang, kami bergurau, kami menyatukan rasa karsa hingga terlupa bahwa cinta tak selamanya gembira. Bahwa cinta bisa jadi merupakan awal dari keterpurukan. Awal dari segala hal yang muncul kemudian, naik-turun seperti menjelajahi sebuah perbukitan atau bahkan pegunungan sekaligus. Aku pasrah, aku tahu kalau kita akan mengalami ini. Aku tahu kamu milik publik, dan aku milik diri sendiri. Sudah pasti mau tak mau diriku mengalah untuk berbagi. Dan realita begitu licik untuk berkata, bahwa semua akan baik-baik saja. Ya, baik-baik saja. Semoga memang begitu, dan bodohnya aku sangat percaya.

Sebab nyatanya tidak. Apa itu rasa percaya? Hidupku begitu was-was, aku penuh kekhawatiran. Semuanya terasa sangsi, dan aku benci seperti ini. Aku benci harus berlagak tak tahu apa-apa. Aku benci ketika di sini, di dalam gedung ini, aku harus bertindak seakan tak mengenalimu. Seakan tak pernah bercengkrama denganmu begitu intim, tak pernah saling menjelajah tubuh masing-masing, dan tak pernah mengobrol panjang lebar soal masa depan yang kita emban bersama di hari tua nanti. Semua itu seakan lenyap tak bersisa, padahal aku jelas tahu kalau kamu memang tulus. Bahwa perasaanmu memang nyata dan aku sendiri juga bisa merasakannya. Tapi entah mengapa, seiring berjalannya waktu, aku merasa tak pantas mendapatkan ini. Segala tekanan itu hanya kupendam sendiri karena tak mampu rasanya kucurahkan kepadamu.

Kamu sudah begitu lelah, sayang. Kamu sudah begitu lelah dengan segala prahara dunia yang kejam ini. Aku tak ingin menambah beban pikiranmu, jadilah aku tersenyum baik-baik saja. Aku munculkan rasa bahagia ini padamu, meskipun dalam hati ingin sekali aku berteriak kepada dunia, bahwa aku sangat mencintaimu. Aku begitu mencintaimu dengan tak begitu sederhana. Ingin sekali kuperlihatkan kepada dunia bahwa kamulah satu-satunya yang membangkitkan sisi lain diriku. Sisi lain yang begitu terpendam, hingga rasanya tak ingin sedikitpun bagian ini kutunjukkan kepada yang lain selain dirimu seorang. Aku sangat mencintaimu, kamu tahu, Pond? Sangat amat mencintaimu... tetapi mengapa dunia ini justru ingin mencegahku berbuat lebih?

Apakah mungkin kita memang tak berarti? Apakah mungkin kalau selama ini semua hanya ilusi? Apakah aku hanya bermimpi? Apakah aku hanya bersenang-senang diri padahal sebenarnya kamu begitu ingin mengingkari? Aku benci perasaan ini, Pond. Aku benci harus memendam ini semua. Aku bingung, aku takut, aku merasa semua ini membayang-bayang. Apakah kisah ini nyata atau hanyalah jebakan dunia saja? Apakah perasaanmu nyata padaku? Pond, aku ingin semua ini terjawab. Aku ingin memecahkan teka-teki ini. Tapi apakah diriku mampu menyelesaikannya? Tolong, katakan padaku nanti. Setelah semuanya sudah kembali tenang, dan bilanglah padaku kalau kita memang bisa kembali bersatu. Sebab aku masih mencintaimu. Sangat amat mencintaimu. Selalu.

ALL THE TIME: THE TRILOGY • pondphuwin ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang