Satu

384 16 8
                                    

"Eh, udah lihat belum komentar netizen di YouTube-nya Irfan?"

"Irfan yang baru bikin film yang judulnya Le Ciel Est Bleu, yang dipromoin KBRI?"

"Iya! Kan Irfan punya kenalan lokal staf, nggak heran sampe dibikin acara sama KBRI. Padahal biasa aja filmnya. Cinta-cintaan nggak jelas. Ironis ya, di sini dipuja-puja, tapi sama netizen Indonesia dihujat."

"Mungkin selera netizen Indonesia yang rendah kali."

"Yeee! Coba lihat komentarnya!"

Setelah aku sadar bahwa Ruqa sudah menunggu di pintu kelas yang terbuka, aku berjalan dari bangku panjang kuliah yang tempat duduknya mirip stadion bola. Bangku-bangku panjang dari kayu disusun menjadi undakan-undakan dan di pinggir kanan dan kiri terdapat tangga. Aula gedung lama didesain seperti ini supaya memudahkan para mahasiswi mendengarkan penjelasan dosen yang berada di tengah bawah tepat di depan papan tulis.

Tadinya aku berniat menunggu para mahasiswi yang duduk di pinggiran bangku meninggalkan tempat duduk supaya aku bisa keluar, berhubung aku duduk di tengah. Namun tanpa sadar aku malah mendengarkan gosip dari kedua mahasiswi Indonesia yang duduk di depanku.

Posisiku yang duduk di belakang kedua mahasiswi tersebut membuatku sangat leluasa melihat layar ponsel mereka. Aku bisa melihat video YouTube yang sedang mereka putar serta komentar netizen yang mereka obrolkan.

"Kamu dari tadi tidak melihat aku melambaikan tangan?" tanya Ruqa. "Aku bahkan meneriaki nama 'Melati.'"

"Maaf, aku tadi lagi berpikir tentang materi Hadits Ahkam tadi yang dijelaskan dukturah[1]. Susah ya."

"Kamu bohong. Aku melihat kamu menguping teman-teman Indonesia-mu bergosip kan?" Kedua mata Ruqa yang tajam seakan menusuk kedua mataku yang sipit.

Perkenalkan, temanku Ruqa, nama pendek dari Ruqayyah. Dia campuran Amerika-Nubi. Nubi itu etnis yang berada di bagian selatan Mesir yang berbatasan dengan Sudan. Sedangkan penduduk bagian utara Mesir mayoritas dihuni oleh etnis Arab. Berhubung Ruqa campuran, ayahnya seorang Amerika mualaf dan ibunya etnis Nubi, jadi Ruqa memiliki kulit sawo matang.

Semua penduduk Mesir memiliki postur tubuh yang tinggi, sehingga aku yang notabene orang Indonesia yang bertubuh kecil harus mengimbangi langkah Ruqa yang besar-besar. Apalagi abaya hitam yang selalu dipakainya berukuran lebar sehingga memudahkannya untuk melangkah besar. Kami berdua sudah berteman sejak SMA di Ma'had Al-Azhar Bu'uts. Sekarang kami satu jurusan di Syariah Islamiyah.

"Mana Rana?" tanyaku.

"Dia sudah pergi terlebih dahulu. Seperti biasa, dia akan memakan tokmiyyah bil baidh yang cepat saji dan kembali berkutat dengan buku-buku diktat kuliah sepulangnya ke rumah."

"Bukankah dia mengajak kita untuk pulang bersama? Biasanya dia akan menyapa beberapa mahasiswi sepanjang jalan terlebih dahulu."

"Tapi kamu terlalu lama. Kamu tahu sendiri dia tidak suka membuang waktunya. Mungkin saat kita sedang mengantri crepes yang antriannya panjang, dia sudah duduk manis di sofa apartemennya di Distrik Enam."

Rana, temanku asal Irak. Dia dan keluarganya tinggal di Distrik Enam, dekat dengan Kuliyah Banat (kampus perempuan) yang berada di distrik yang sama. Biasanya kami bertiga jalan bersama ke seberang kampus dan berpisah di tengah jalan karena aku dan Ruqa ke arah Distrik Tujuh. Namun hanya pulang saja kami bersama-sama. Sewaktu di Ma'had Al-Azhar aku tidak begitu dekat dengan Rana karena dia berada di kelas dua, sedangkan aku dan Ruqa di kelas tiga. Rana mengikuti ujian akselerasi, jadi dia bisa kuliah di tahun yang sama denganku. Dia lulusan terbaik, bahkan ijazahnya diberikan oleh Syeikh Ahmad Thayib dan fotonya terpampang di website milik Al-Azhar. Hebat, kan?

Jejak Semesta KairoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang