Arahkan telinga dunia untuk mendengar kami
Jangan biarkan kami sendiri
Arahkan mata dunia menatap kami
Jangan biarkan kami sendiri
Di manakah mereka yang selalu bicara HAM dan demokrasiDimana bangsa-bangsa muslim yang besar
Apakah nurani telah terpenjara
Di balik tembok besar kepentingan ekonomi
Hingga bungkam menjadi jawaban
atas rangkaian kebiadaban?Kami tak ingin apapun
Kami hanya ingin bebas menjalankan agama kami
yang penuh kedamaian
Tapi hidup kami kini adalah perayaan genosida
di depan mata dunia
ketika menjadi muslim adalah satu satunya kesalahan kami
satu satunya kesalahan kamiSuara tepuk tangan menggema dalam kelas kala Fatimah menyelesaikan bacaan puisi karya Helvy Tiana Rosa yang berjudul, Nyanyian Duka Turakhan Muslime Uighur.
Bait-perbaitnya berhasil menyentuh hatiku, yang mana puisi ini menggambarkan perasaan muslim etnis Uighur dan seluruh muslim dunia. Di mana muslim kadang tidak diterima baik saat menjalankan syariatnya. Bagiku puisi ini mempunyai tempat tersendiri di hatiku.
"Itu dia pembacaan puisi dari Fatimah karya salah satu penulis terkenal di Indonesia, Helvy Tiana Rosa. Diksi, intonasi, serta emosi Fatimah ini luar biasa sekali." Siswa dan siswi yang lain tampak setuju dengan Ibu Guru Bahasa Indonesia tersebut.
"Baiklah, selanjutnya kita akan pindah ke materi berikutnya yaitu musikalisasi puisi. Setelah selesai menjelaskan materi, seperti biasa Ibu akan memberikan kalian tugas praktek." Ibu Intan pun menjelaskan materi dengan ringkas dan cepat, kemudian mengumumkan kelompok yang akan dipilih langsung olehnya.
Anak-anak tampak menantikan dengan siapa mereka akan berkelompok, di mana aku pun sangat merasakan hal itu. Nadia yang duduk di sebelahku pun tampak memanjatkan doa yang kudengar seperti ini,"Ya Allah jangan sampai aku satu kelompok sama Beno. Gak mau Ya Allah, Beno mah gak mau serius kalau kelompok tuh. Hobinya ngajak bercanda terus. Please Ya Allah, becanda sama Lee Min Ho aku gak masalah kok, asal jangan sama Beno."
Aku menggelengkan kepala kala Nadia berdoa demikian. Ada-ada saja temanku ini.
Ibu Intan mulai menyebutkan kelompok pertama, lalu di kelompok ke dua nama Nadia disebutkan dengan Beno yang sedari tadi Nadia panjatkan tidak ingin satu kelompok dengannya. Nadia cukup putus asa saat mendengar namanya disebut dengan Beno. Aku cukup mengerti, karena aku pun tidak ingin satu kelompok dengan laki-laki yang kini tengah tertawa melihat wajah kusut sahabatnya, yang dipasangkan dengan Anjani. Beberapa teman kelasku memberi gelar dia culun. Padahal bagiku Anjani memiliki otak yang pintar.
Kelompok berikutnya namaku disebutkan dengan lelaki yang tak kuharapakan berkelompok dengannya. Marko si menyebalkan dan sering membuatku kesal. Lihat saja sekarang responnya pun sangat menyebalkan, "Wow, gue satu kelompok bareng Ustazah Nayla." Saat aku melihat ke arahnya, dia tampak menyapaku, "Hai Nayla." Teman-teman yang lain pun tertawa.
"Cuma Marko yang menyiratkan rasa sukanya dengan cara aneh Nay," ucap Nadia kala melihat betapa tengilnya lelaki itu.
"Suka sama benci itu beda tipis Nad," jawabku kepada Nadia.
Hampir dua tahun aku satu kelas dengan Marko, dan sikap menyebalkannya itu tidak pernah hilang darinya. Dia suka mencandaiku dengan hal yang harusnya tidak untuk dibercandakan. Aku sampai muak sendiri, apalagi harus satu kelompok dengannya.
***
"Luka." Marko mengulang-ulang tema musikalisasi puisi yang diberikan Ibu Intan kepada kelompok kami yang terdiri dari 4 orang. Aku, Marko, Andini, dan Restu.
Aku yang duduk berhadapan dengannya pun ikut berpikir. Setelah pembagian kelompok, kami pun berkumpul sesuai kelompok masing-masing. Tadi Marko maju ke depan untuk mengambil kertas random yang berisi tema musikalisasi puisi kami. Dan kami pun mendapat tema tentang luka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meraih Cinta-Nya
Short StoryKumpulan beberapa cerpen by : @nurhoiriah_ & @siskamelia__ semoga bermanfaat. "Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam." (Q.S. Al-an'am [6] : 162) Tidak ada yang lebih baik dalam hidup...