Pedih

136 13 1
                                    

.......

KRASHH

Pecahan keramik berhambur acak. Setitik darah meluncur dari pipi kanan nya yang kurus, mengalir lambat dan kering di pertengahan jalan menuju dagu, satu kata untuk itu, terluka. Manik bulatnya kini menatap kaget pada seseorang yang entah dari kapan sudah berdiri di belakangnya tadi. Bibir tipis nan pucat nya bergetar, dan berucap memanggil seseorang yang tidak ia sangka keberadaannya, "I-ibu.."

Di hadapannya, seorang wanita paruh baya dengan penampilan yang sulit di jelaskan, pakaian nya kumal dan berlubang, rambut diikat tak beraturan dan yang paling menonjol adalah mata kosong, kaki berlumuran darah dan tangannya yang terus menjambak rambut nya sendiri seolah dia sudah gila.

Wanita itu ialah sang ibu. JungWon buru-buru melangkah ke tempat sang ibu berdiri, tanpa memperdulikan rasa pedih kakinya yang terluka menginjak pecahan-pecahan keramik akibat ulah sang ibu yang melemparkan piring dan gelas tadi.

"I-ibu, tolong jangan seperti ini.." Lirih JungWon seraya memegang erat kedua pundak sang ibu. Matanya tak kuasa menahan air mata, satu persatu air mata itu mulai menetes, membasahi pipinya dan menghilangkan jejak darah pada lukanya. Seolah tuli, sang ibu menghiraukan JungWon yang kini bahkan sudah berlutut di depannya.

Pasrah, hanya itu yang bisa JungWon lakukan.
Ibu nya kembali kumat, di saat stress dan depresi parah sang ibu akan kehilangan kendali atas dirinya sendiri, nampak kosong dan gila. Banyak hal yang mempengaruhi mental sang ibu hingga dirinya begitu stress, salah satu contoh seperti kalah judi atau bahkan kembali mengingat akan kematian sang ayah.

Hal seperti ini sudah berlangsung sejak dua bulan yang lalu. JungWon menyadari ibunya yang kumat karena mulai menggunakan ganja.

Satu-satunya yang bisa di lakukan saat hal itu terjadi hanya terus mengawasi hingga efek kegilaan ganja itu berlalu, yang biasanya terjadi lebih dari seminggu. Karena tidak memiliki uang untuk memeriksakan ibunya, JungWon hanya bisa terus menerus mengawasi dan merawatnya sendiri, ia juga telah menyiapkan kamar kosong khusus untuk sang ibu tanpa adanya barang-barang lain yang bisa saja menyebabkan kecelakaan.

JungWon kembali berdiri dengan perlahan, sesekali meringis menahan sakit di lutut serta telapak kaki nya yang luka nya semakin melebar. Ia mengusap pelan punggung sang ibu, dan mencium kening nya. "Ibu, ayo ikut aku.. Ibu harus istirahat dulu." Suara lembut dan persuasif sangatlah efektif membuat sang ibu sedikit lebih tenang, dengan gerakan grogi sang ibu melepas tarikan pada rambutnya dan menatap kosong JungWon.

JungWon tersenyum tulus, ia tidak marah pada sang ibu apalagi membenci perbuatan ibu nya. Ia hanya merasa sedih, sakit dan takut. Sedih karena ibu nya yang sehat dan ceria telah hilang, sakit karena tatapan sang ibu yang dulu penuh dengan kebanggaan terhadapnya kini menjadi tatapan kosong dan menggila, serta takut kalau saja ibu nya sudah tidak mau lagi hidup di dunia ini bersama nya...

Sejenak ia memejamkan mata dan menarik napas dalam, ia harus menguatkan hati nya agar tak terlihat rapuh di hadapan sang ibu.

Awalnya JungWon ingin menuntun sang ibu ke kamar, namun dilihatnya masih banyak keramik berceceran yang bisa membuat sang ibu semakin terluka maka JungWon berniat mengangkat sang ibu untuk ia gendong di punggung, namun ibu nya menolak. Sang ibu bergerak sembarang menolak gendongan nya, menjambak rambutnya dan memukul kepalanya.

JungWon yang baru saja hampir mati tenggelam tentu tidak dalam keadaan normal, tubuhnya yang masih sedikit basah ikut tertarik akibat jambakan sang ibu, ia meringis merasakan sakit di kepalanya, dunia terasa berputar di matanya hingga JungWon pun limbung dan jatuh terduduk karena tidak kuasa menahan tubuhnya sendiri yang sedari tadi sudah lemas dan menggigil.

Selain memukuli nya sang ibu kini mulai meracau, berkata bahwa ia adalah seorang pembunuh dan anak sial yang tidak tau di untung. JungWon mendengarkan semua umpatan itu dalam diam, tangannya terkepal erat hingga darah menyesap dari kedua kepalan tangan nya, meski sudah sering ia dengarkan dan mulai terbiasa, namun tetap saja mendengarkan ujaran kebencian dari seorang ibu yang merawat dan mengasuh nya sejak kecil tetaplah membuat hati kecil JungWon terisak.

Ia menarik napas dan menghembuskannya pelan untuk menenangkan dirinya sendiri barang sedikit, dia kemudian menulikan pendengarannya dan dengan perlahan bangkit guna mengambil sepatu usang nya di depan pintu.

Menghiraukan racauan sang ibu, JungWon memakaikan sepatu usangnya itu pada kaki ibunya, lalu mengarahkannya ke kamar menghiraukan pukulan dan makian sang ibu. Sebelum mendudukan sang ibu di sisi ranjang, JungWon dengan cekatan menutup pintu di belakangnya sebelum sang ibu sadar dan berusaha kabur keluar.

Setelahnya ia mengambil sedikit jarak dari sang ibu untuk mengambil sebuah kaplet di dalam tabung obat di dekat nakas.

Ia membungkus kaplet itu ke dalam sebuah daun sirih yang hampir kering dan menunjukkannya pada sang ibu yang maih sibuk meracau, "Ibu mau ini ?" Tanya nya hati-hati seraya menunjukkan daun itu di hadapan ibunya.

Sang ibu langsung terdiam dan menatap daun itu sejenak sebelum akhirnya merampas daun tersebut dengan cepat dari tangan JungWon lalu memakannya tanpa melihat kembali daun apa itu.

JungWon tersenyum pedih, ia harus mengelabui sang ibu agar mau meminum obat tidur nya dengan cara memasukannya ke dalam daun yang sekilas mirip dengan daun ganja tersebut. Setelah memakan daun itu, JungWon menawarkan air putih yang tanpa aba-aba langsung di tepis kasar oleh ibunya.

Gelas keramik itu pecah mengenai kepala JungWon, darah segar mulai mengalir di pelipisnya yang sejak awal sudah terasa sakit. Matanya kini penuh dengan kunang-kunang dan bahkan menggelap karena telah terkena rembesan darah dari pelipisnya. Ia mengusap matanya guna menghilangkan darah itu dari matanya, dia juga menggeleng pelan berharap kunang-kunang itu pergi, namun hal itu tetap tidak berpengaruh, hingga mau tidak mau JungWon dengan cepat keluar dari kamar saat di rasa sang ibu sudah sedikit tenang dan mengantuk.

Karena keluar terburu-buru, JungWon kembali menginjak pecahan keramik tadi, namun kembali ia hiraukan dan pergi ke kamarnya dengan cepat guna mengambil beberapa pil pereda nyeri untuk menghilangkan rasa sakit nya.

Hanya saja baru ia membuka mulutnya hendak minum, penglihatannya sudah gelap dan ia jatuh pingsan.

Saat JungWon bangun, hari sudah gelap. Karena rumahnya tidak lagi ada aliran listrik, berakhirlah semuanya dalam keadaan gelap gulita. Karena terlalu gelap, dirinya bahkan tidak bisa melirik jam dinding yang untungnya masih berdetak, sehingga ia tidak tau pasti jam berapa sekarang.

JungWon mengerjap pelan dan mengumpulkan kembali ingatannya sebelum jatuh pingsan. Berpikir bahwa ia sudah tidur cukup lama, JungWon bangun dengan mendadak mengakibatkan kepalanya pening tidak karuan dan tanpa sadar ia kembali jatuh dalam posisi tertidur.

Dengan susah payah ia menelan saliva nya, karena jujur saja tenggorokannya terasa amat panas dan pedih, tubuhnya juga terasa panas dingin yang sudah pasti dia terkena demam. Tanpa memikirkan hal lain JungWon mengerjap pelan untuk menstabilkan penglihatannya yang memburam, lalu menghembuskan napasnya pelan.

Tangannya yang masih berdarah mengambil posisi untuk menumpu tubuhnya yang hendak bangkit dengan perlahan, mengingat sang ibu yang terkurung di kamar dan belum makan, JungWon harus kembali bangkit dan menyiapkan makanan meski tubuhnya terasa remuk.

Setelah berhasil bangun dengan susah payah, JungWon berjalan kearah dapur bergantung dengan cahaya temaram bulan dan melihat sisa beras yang ada. Satu cup, beras mereka hanya tersisa satu cup kecil yang hanya cukup untuk satu orang makan.

JungWon menarik napas, ia harus kembali berpuasa menahan lapar demi sang ibu. Namun itu tidak masalah, meski tidak makan sekalipun JungWon rela jika itu semua untuk keluarganya.

Dengan gerakan pelan namun cekatan, JungWon berhasil membuat semangkuk bubur hangat untuk sang ibu. Berjalan pelan seraya membawa nampan, ia merasa sangat mengantuk, namun segera ia tepis dengan mencubit dirinya sendiri dengan keras. Ia harus tetap terjaga dan tidak boleh kembali pingsan, dirinya sangat tau keadaan tubuhnya sudah tidak lagi baik, tapi keadaan yang mencekik ini tidak boleh membuat keluarganya semakin sengsara karenanya.

Disaat JungWon hampir membuka kenop pintu kamar sang ibu, dirinya harus terhenti seketika kala suara gedoran pintu terdengar keras dari arah luar. Hal itu lantas membuat JungWon menatap horror ke arah pintu depan rumahnya.

...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 11, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

S.Rend | JayWonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang