[5]

349 24 6
                                    

Pagi ini Vio mengajak Shaka untuk berjalan-jalan ke taman kota, tempatnya cukup jauh dari rumah Shaka. Untung saja Shaka mau menuruti ajakannya, jika tidak Vio akan mati kutu di tempat. Saat ini mereka tengah berada di perjalanan, menggunakan mobil putih milik Shaka. Sebenarnya tadi Vio sempat protes, namun semua celotehan Vio hanya dianggap angin lalu bagi pria itu.

"Kau tidak memiliki mobil lain?" Gerutu Vio kesal, matanya sedari tadi menatap Shaka sinis.

"Ini mobil kesayanganku." Jawabnya santai, membuat perempuan itu memutar bola matanya malas. Bukan hanya warnanya saja yang Vio tidak suka, tapi bentuk dan model dari mobil Shaka sama dengan mobil yang menabraknya hingga terdampar di dunia antah berantah.

Otak Vio terpikirkan sesuatu, "jangan bilang nabrak gue itu Shaka!" Pekiknya dalam hati.

"Jangan berpikiran macam-macam!" Suara Shaka terdengar, kepala Vio terputar sembilan puluh derajat menatap Shaka yang seakan tahu isi pikirannya. "Hanya menebak," Vio menatap Shaka curiga.

"Kau punya indera keenam?" Selidiknya, Shaka terkekeh pelan.

"Tidak, tapi ya. Indera keenam milikku, yaitu mencintaimu." Vio menatap Shaka merasa aneh, apakah Shaka sudah jatuh cinta padanya. Itu berarti dia selamat dari kematian. Sisa perjalanan diisi dengan keheningan, Vio yang bingung ingin membicarakan apa. Sedangkan Shaka yang malas untuk memulai pembicaraan. Akhirnya mereka sampai di tempat tujuan.

"Shaka, lihatlah ada penjual es krim!" Tunjuk Vio pada gerobak penjual es krim yang lewat.

"Lalu?" Vio berdecak pelan.

"Aku ingin membelinya!" Ucap Vio dengan semangat.

"Tidak! Makanan itu tidak sehat, nanti jatuh sakit." Larang Shaka, Vio mencebikkan bibirnya kesal.

"Padahal dulu aku sering makan-makanan pinggir jalan, tapi masih bisa hidup. Malah mati ditabrak mobil kok." Gumam Vio pelan, entah Shaka mendengar atau tidak.

"Eh Shaka, lihatlah ada penjual gulali!" Saat Shaka hendak melarang, Vio sudah terlebih dahulu berlari membuat Shaka harus mengikutinya. Kini ditangan Vio sudah terdapat permen gulali yang baru saja dibeli, tentu dengan uang Shaka.

"Shaka mau?" Tawar Vio mengulurkan tangannya yang terdapat permen gulali.

"Tidak." Jawabnya.

"Baguslah, aku juga sebenarnya tidak ingin berbagi." Shaka mendengus pelan. "Oh ya, aku ingin bertanya sesuatu padamu." Ujar Vio sembari menatap Shaka dalam, "apa kau mencintaiku?" Shaka membatu mendengar pertanyaan tiba-tiba yang dilayangkan oleh sang istri.

"Kenapa kau bertanya hal tidak penting seperti ini?" Vio berdecak pelan.

"Ini penting Shaka," balas Vio. "Katakan iya, maka aku akan selamat." Lirihnya dalam hati.

Shaka terdiam, matanya terlihat sendu tapi Vio tidak tahu apa alasannya. Shaka menatap tepat di mata Vio, seakan tengah menyelami dalamnya perasaan Vio. "Aku mencintaimu," jawabnya pelan. Vio membelalakan matanya terkejut.
Batinnya berteriak, "apakah novelnya berubah?"

Belum sempat Vio berbicara, Shaka terlihat memegangi kepalanya. Mata yang semula menatapnya sendu berubah menjadi tajam seperti biasanya. Vio meneguk ludahnya kasar, menghabiskan makanan yang ada di tangannya.

"Kita akan kemana lagi?" Tanya Vio mengalihkan pandangannya dari Shaka, merasa takut.

"Pulang."

Vio mendesah kecewa. "Aku masih ingin berjalan-jalan, disini suasananya sangat nyaman."

"Besok kita berjalan-jalan lagi, sekarang aku ada urusan."

Vio menatap kecewa Shaka. "Apa urusanmu lebih penting dariku?" Rengeknya.

"Tentu saja, ini menyangkut Amelia."
Jantung Vio serasa di remas oleh tangan tak kasat mata. "Oh begitu, ya sudah pergilah. Aku akan berjalan-jalan sebentar."

"Aku tidak akan lama, setelah Amelia baik-baik saja aku akan pulang." Ujar Shaka yang diabaikan oleh Vio.

"Ya, terserahlah!" Vio berjalan menjauh dari Shaka, berharap pria itu mengejarnya. Namun itu hanya harapan Vio semata, karena saat melihat lagi kebelakang. Shaka sudah tak ada di tempat.

"Dasar suami nyebelin!" Umpat Vio, "katanya cinta."

VVVVVVVV

Malam telah menjemput Vio kini tengah duduk bosan di dalam kamarnya. Tidak memiliki ponsel untuk bermain, serta tak ada televisi di kamarnya. Vio menatap langit malam lewat jendela kamarnya, menatap bintang-bintang yang menghiasi gelapnya langit. Saat asik melamun, suara keras dari pintu kamarnya membuatnya terkejut. Vio melihat ke arah pintu dan melihat Shaka yang berdiri di sana sedang menatapnya marah. Vio hendak menyambut Shaka, namun bukannya pelukan yang di dapat. Cekikan pada lehernyalah yang diterima.

"A-apa yang kamu lakukan?!" Vio kesulitan bernafas, wajahnya kini sudah memerah.

"Apa yang kamu lakukan pada Amelia?" Desis Shaka penuh amarah.

"A-apa? Aku tak melakukan apapun, lepaskan aku!" Cekikan di leher Vio semakin mengencang.

"Jangan pura-pura, kau yang menyuruh orang untuk mencelakai Amelia!" Ucap Shaka dengan marah, mata Vio menatap Shaka bingung, ia tak melakukan apapun.
"Aku tidak melakukannya, percayalah!" Shaka mendorong Vio kebelakang, hingga tubuhnya menabrak dinding. Shaka mengeluarkan pisau kecil dari sakunya, Vio menggeleng saat pisau itu tertoreh di leher Vio. Gadis itu memejamkan matanya, menahan perih saat Shaka menggores lehernya panjang.

"Aku minta maaf, tolong lepaskan aku!" Lirih Vio, sungguh jika ia mati lagi dalam novel sangat tidak lucu. Walaupun dalam novel, Vio ditakdirkan untuk mati ditangan suaminya sendiri. Vio ketakutan, sangat ketakutan.

Vio menahan pisau Shaka yang hendak menggores pipinya, digenggamnya mata pisau itu dengan tangan kosong.

"Aku tidak melakukan apa yang kau katakan!" Mata Vio mulai basah dengan air mata, darah mengalir di leher serta telapak tangan Vio. "Aku tahu, aku dituliskan mati ditangan mu. Tapi aku mohon, jangan bunuh aku sekarang. Aku masih ingin hidup, menemukan kebahagiaan ku di dunia ini."

Pisau berlumuran darah itu terjatuh saat Vio tidak menahannya lagi, serta Shaka yang melepaskan pisau itu dari tangannya. Nafas Vio tak beraturan, takut dan sakit menjadi satu.

"Aku sudah berulang kali mengingatkanmu untuk menjauh dari Amelia, kenapa kamu selalu melanggar?" Marah Shaka.
Sedangkan Vio diam, ia tidak ingin menjawab apapun. Menurutnya, percuma ia berbicara jika tidak ada yang percaya.

"Nikmati kesakitanmu, sebelum aku menambahnya."

Pintu dikunci dari luar oleh Shaka, mengurung Vio yang berlumuran darah seorang diri. Sambil menangis dan menahan rasa perih, Vio mencari kotak P3K di dalam kamarnya. Namun tidak ada sama sekali, Vio menangis kencang.

"Aku salah mendekatinya, seharusnya aku menjauh!" Vio membersihkan lukanya menggunakan tissue.

"Aku tidak ingin mati secepat ini."

Istri Sang Antagonis (V.2) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang