4

64 7 0
                                    

Lelaki itu menatap Sika lekat. Dari pita pink yang bertengger pada rambut hitamnya, kardigan biru tua yang terlihat sedikit basah karena rintik hujan, tas punggung berwarna hitam dengan motif bunga, sepatu hitam dan kaus kaki putih setinggi betis.

Murid teladan, batinnya.

Mereka sedang berdiri pada sebuah gapura yang menyatu dengan gerbang sekolah. Hujan turun diwaktu yang sangat tidak tepat.

"Dunia sempit" Ucapnya. Sika mengangguk lemah, moodnya sedang tidak baik. Sedari tadi jantungnya terus berdebar menantikan dirinya akan di hampiri oleh guru BP. Ia terus menunduk dan memilin jarinya gugup. Beberapa percikan air hujan mengenai sepatu mereka. Lelaki itu terus memperhatikan tingkah Sika yang berdiri di sebelahnya.

"Pertama kali telat?" Sika mengangguk lagi.

"Pantas." Ucapnya sembari menyenderkan punggung pada gerbang bercat hitam itu. Ia meraih sebatang rokok dari saku jaket kulitnya, menyalakan pematik, kemudian menghisap dan menghembuskan asap putih berbau khas dari gulungan tembakau itu.

Sika mengibaskan tangannya, berusaha menghilangkan asap yang membuatnya terbatuk.

"Matikan" Ucapnya seraya terbatuk kecil.

"Permintaan atau perintah?" Lelaki itu menatap Sika dengan tatapan nakal yang tidak ia suka.

"Aku ada asma" ucapnya lagi seraya menutup hidung dan mulutnya dengan tas punggungnya. Berusaha mendapatkan rasa kasihan dengan cara menatapnya melas. Lelaki itu sempat melebarkan tatapannya, namun tindakan selanjutnya sangat di luar dugaan. "Kalau begitu minggir sana"

Sika menjatuhkan rahangnya cukup lebar, tidak percaya dengan ketidakpedulian yang lelaki itu tunjukkan pada penderita penyakit yang sensitif dengan perubahan udara, situasi dan kondisi seperti dirinya. "Kamu sangat kasar" Lelaki itu mengangkat satu alisnya bingung.

"Kamu anak baru?" Sika mengangguk. "Pantas." Kini berganti, Sika yang bingung.

"Kenapa memangnya? Ada hubungannya dengan sikap kasarmu?"

"Tentu saja" Mendengar itu, Sika kembali mengingat perbincangannya dengan Ayu akan sosok berandalan tampan satu-satunya di sekolah ini. Sika mencondongkan tubuhnya, berusaha melihat papan nama yang berada di dada kanan lelaki itu, walaupun sulit karena tertutup jaket kulitnya.

"Sarwapalaka" Gumamnya. Tanpa sadar, hal itu membuat sang pemilik nama menoleh dan melakukan hal yang sama, hanya saja tidak sampai mencondongkan tubuh seperti Sika.

Sika nampak berpikir, bukan dia. Namanya sama sekali tidak menunjukkan ada unsur Manyuk, bahkan itu adalah nama yang indah. Sarwapalaka yang apa ya artinya, Sika membatin sok tau.

Sika mendengar dehaman kecil dan langsung menarik dirinya ke posisi awal. Tatapan mereka bertemu, menyelam dalam pada manik berwarna hitam pekat milik Abi dan manik berwarna madu milik Sika. Keduanya terpaku cukup lama hingga bunyi bel membuat Sika langsung membuang pandangannya asal. Berbalik dan menunggu guru BP datang.

Abi terkekeh kecil melihat tingkahnya. Ia membuang dan menginjak rokok yang sudah setengah habis itu, padahal ia hanya menghisapnya sekali. Abi beranjak dan menyusul Sika yang kini tengah diceramahi oleh pak Yusuf, guru BP SMA 2 Mitara. Saat pak Yusuf melihat lelaki itu, ia sedikit terkejut. Bukan, bukan karena lelaki itu telat, bukan karena dia tidak membolos lagi karena terlanjur telat, pun bukan karena  ketahuan membolos yang akhirnya membuatnya di skors. Tapi karena lelaki itu berjalan menghampirinya. Lelaki yang biasanya akan langsung pergi tanpa ingin mendengar hukuman dan segala macam ancaman untuknya karena sudah hafal dengan semua itu berjalan menghampiri guru BP dan berdiri di hadapannya, siap mendengar apapun yang keluar dari mulutnya.

Sika melirik Abi yang berdiri tegap di sebelahnya, sedari tadi ia menunduk malu karena menjadi tontonan beberapa murid yang berjalan menuju kelas. Abi hanya memasang wajah santai, bibirnya menarik garis tipis hingga senyuman manis itu terpampang, seakan ia sangat siap menerima dan ikhlas menjalankan segala hukuman yang hendak diberikan.

Niatnya yang akan membolos karena telat lagi kini tertahan, berkat satu orang perempuan bermanik madu.

---

Sika mengayunkan kain pel itu kesal. Sudah tiga puluh menit ia mengepel aula besar ini tapi Abi sama sekali tidak ada niat membantunya. Dalihnya, dia yang akan mengepel kering setelah Sika selesai mengepel basah semua sudut. Disana, Abi sedang tiduran sembari melempar tangkap bola kasti, entah ia dapat dari mana. Suara siulannya justru membuat Sika semakin gerah. Ia pun merutuki kesialannya dan sekolah ini. Sekolah bergengsi tapi Aula upacaranya malah bocor, batinnya kesal.

Dengan hikmat, dia pun kembali mengerjakan tugasnya agar lelaki yang ia tidak ketahui nama panggilannya itu bisa dengan segera mengerjakan sisanya. Bahkan sesekali Sika berlari sambil mengepel lantai agar cepat selesai, dan hal itu membuat Abi tersenyum tipis dan kembali memainkan bola kastinya.

Tiga puluh menit kemudian, Sika berjalan gontai menghampiri Abi yang saat ini sedang tertidur di pinggir ruangan, menjadikan jaket kulitnya sebagai selimut dan tas punggungnya sebagai bantalan.

"Hei, Bangun. Aku sudah mengerjakan bagianku" tidak ada jawaban. Sika hendak membangunkannya dengan menyenggol kakinya, tapi hal itu sangat tidak sopan, kan? Alhasil, Sika pun menunduk dan menyenggol bahu lelaki itu pelan, agar dia tidak terkejut. Abi pun membukan matanya, melihat pemandangan wajah Sika yang sedikit lusuh karena keringat. Rambutnya ia ikat asal dan beberapa helai jatuh tak beraturan. Manik hitam itu melirik pada papan nama perempuan itu dan beralih menatapnya dalam. Sika yang ditatap seperti itu merasa tidak nyaman dan mundur beberapa langkah.

Abi beranjak dari tidurannya, mengibas-ngibas seragamnya pelan.

"Baiklah, terima kasih atas kerja samanya. Aku pergi" ucapnya seraya berjalan menjauh sembari mengalungkan tas selempang hitamnya dan jaket kulit yang ia jinjing.

"Apa maksudnya? Hei! Kamu belum mengerjakan bagianmu!" Teriak Sika pada lelaki itu.

"Tidak ada waktu" Sahutnya setelah menguap kecil. Sika hendak bertanya lagi namun jawabannya sudah ia dapatkan dari bel tanda istirahat yang baru saja terdengar. Sika menatap tak percaya, apa dia baru saja ditipu?

"Sampai jumpa, July" Sika hendak meluapkan kekesalannya hingga panggilan yang tidak biasa itu terdengar.

Sika menatap lekat bahu lebar itu, ia merasa aneh saat mendengar nama akhirnya disebut, menjadikannya sebuah panggilan. Hal itu membuatnya ingin mengabadikan suara itu di dalam ingatannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 17, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KalosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang