001 ; Ternyata (Bukan) Rumah

14 3 2
                                    


Malam ini langit tampak lebih kelabu daripada kemarin, burung-burung yang biasanya berkicau pun bungkam, tiada nyanyian yang terdengar. Aku duduk di taman, dengan segelas kopi yang sudah mendingin bahkan isinya belum aku sentuh setets pun.

Entah memang hari ini begitu, atau ini hanya sisa-sisa rasa kelam yang menyelimuti hatiku. Karena, ketika memperhatikan sekitar semua orang tampak biasa saja, mereka terlihat bahagia dengan tawa yang tak henti terdengar dari bibirnya. Aku menghela napas, entah kapan aku bisa seperti mereka.

Meski aku tidak tau apa beban yang mereka sembunyikan dibalik wajahnya, tapi setidaknya aku ingin bisa menghilangkan segala masalah dari pikiranku sejenak saja. Aku juga ingin tidur malam dengan nyenyak, tanpa harus mendapatkan mimpi buruk yang membangunkanku tiap tengah malam. Atau rasa sesak tiap bayangan itu dating yang membuat napasku menghilang beberapa saat.

Aku memandangi gelas kopi yang tampak muak, sebab tiap aku membeli kopi itu, selalu berakhir di tempat sampah  dengan isi persis seperti volume awal aku  membelinya. Tapi mau bagaimana lagi, hasratku sudah hilang. Ketika sedang sibuk dengan pikiranku sendiri, tanpa ku duga, suara gemuruh terdengar dari ujung timur, membawa gumpalan awan gelap yang seakan mengejarku. Dengan secepat yang aku bisa, aku melarikan diri dari taman. Benar saja, ketika sampai di salah satu halte, hujan turun begitu lebat.

“Akhirnya hujan juga.”

Bukan, kalimat penuh positifitas terhadap hujan itu bukan dariku, karena sudah jelas daritadi aku hanya membatin dengan rasa kesal. Aku menoleh dan mendapati seorang laki-laki dengan jaket hijau lumut berdiri di sebelahku.

Ia mendongak memandangi tiap-tiap tetes yang jatuh ke bumi seakan-akan itu adalah pemandangan paling indah di bumi, dengan senyum yang selebar iklan pasta gigi ia bermain dengan air yang ia tamping di tangannya.

Aneh, ternyata ada orang yang suka hujan.
Atau aku yang aneh, karena tidak menyukai air yang kataorang adalah angerah dari Tuhan.

“Aduh! Hati-hati dong bawa mobilnya!”

Nah kalau yang ini, adalah suaraku. Bagaimana tidak kesal, sudah dingin karena hujan, aku sengaja berlari seperti atlet dari taman ke halte untuk memastikan bajuku kering, tapi dengan kurang ajarnya ada mobil yang melaju kencang dan menyipratkan kubangan air ke baju ku. Lama-lama aku jadi darah tinggi jika terus menghadapi keadaan seperti ini.

“Bajunya jadi basah, nih pakai jaket saya aja. Biar ngga dingin.”

Laki-laki itu menyerahkan jaketnya padaku, aku hanya memandangnya dengan bingung. Masalahnya, aku tidak mengenalnya sama sekali, bagaimana kalau dia sebenarnya berniat jahat?

“Nama saya Anggara, tenang aja. Saya bukan orang jahat kok," ujar laki-laki itu.

Lelaki yang mengaku namanya Anggara itu tertawa kecil, mau tidak mau membuatku ikut tersenyum juga. Lebih tepatnya tersenyum malu. Apa kepalaku setransparan itu kah sampai-sampai dia bisa membaca pikiranku?

Tanpa ku duga, kubangan air itu membuatku mengenalnya. Orang yang pertama kali membuatku merasa memiliki rumah, setelah rumahku sebelumnya lebur tak bersisa.


___


Setelah hari itu, aku dan Anggara jadi sering bicara kaena kami bertukar nomor. Bukan karena apa-apa, tapi aku hanya ingin tau kontak mana yang bisa aku hubungi untuk mengembalikan jaket itu. Tapi siapa sangka ternyata, kami akan berteman sejauh ini. Sudah tiga bulan berlalu sejak hari berhujan itu.

Anggara hari ini mengajakku pergi ke perpustakaan nasional karena dia tau aku sangat menyukai buku sastra. Ah, rasanya hdupku sangat menyenangkan. Sudah lama aku tidak merasakan adanya semangat untuk menjalani hari. Sekarang, bahkan aku ingin agar hari tidak pernah malam, agar aku selalu bisa bersamanya.

“Kenapa kamu ngga suka hujan, Senara?” Tanyanya suatu hari saat aku sedang sibuk menangkap belalang di taman, aku terdiam beberapa saat sebelum akhirnya tersenyum.

“Soalnya tiap hujan, hidupku ngga pernah senang Anggara.” Jawabku seadanya.

Anggara diam mendengarkan, aku tau dia ingin penjelasan yang lebih lanjut.

“Dulu, waktu hujan aku dapat berita kalau nenek meninggal. Aku sedih, soalnya aku paling deket sama nenek. Ayah sama Ibu selalu sibuk, katanya mereka kerja.” Anggara memandangku dengan mata teduhnya, membuatku merasa begitu didengarkan.

“Terus waktu itu hari ulang tahunku, hari itu hujan juga dan hari itu Ayah sama Ibu pisah. Mereka minta aku untuk ikut salah satu dari mereka. Akhirnya aku milih untuk ikut ibu, ternyata ngga lama dari itu, ibu nikah lagi Anggara.”

Aku berhenti menangkap belalang kecil itu dan pindah duduk di sebelahnya. “Terus, aku ngerasa itu bukan rumahku lagi karena rasanya asing banget. Tiba-tiba aku harus punya saudara dan ayah baru yang belum pernah aku liat sebelumnya. Aku berencana mau pindah ke rumah ayah, tapi ayah juga udah nikah lagi. Jadi deh aku tinggal sendiri kaya sekarang.” Untuk pertama kalinya, aku membagi cerita ini dengan seseorang. Dan, aku tidak menyesal sama sekali, karena ia tidak pernah bertindak yang membuatku merasa kecil. Ia selalu membuatku merasa aku, berharga.

“Kamu hebat, saya bangga.”

Sederhana, tapi untukku itu segalanya.


____



Namun setelah itu kami tidak pernah bertemu lagi, awalnya aku piker karena ceritaku ia tidak mau lagi berteman denganku. Tapi setelah aku renungkan lagi, tidak ada yang berubah dari sikapnya padaku hari itu. Dia rumahku, sudah lama aku tidak pulang kesana.

Dan tanpa di duga, beberapa saat kemudian ia mengajakku bertemu di halte pertama kali kami berjumpa. Tentu saja aku sangat senang, aku sangat merindukannya. Dengan segera aku pergi kesana, membawa seluruh hatiku untuk aku berikan padanya. Ketika sampai, aku melihatnya sudah duduk dengan jaket hijau lumutnya, seperti biasa.

“Hai!” Sapanya dengan senyum yang masih sama indahnya. “Long time no see."Lanjutnya yang hanya aku balas dengan anggukan.

“Maaf ya belakangan ini saya lagi sibuk nyiapin sesuatu,” Ujarnya setelah kami sama-sama duduk.

“Nyiapin apa?” Tanyaku, setengah penasaran setengah takut karena firasatku mengatakan ini akan buruk.

Anggara tersenyum, bersamaan dengan hujan yang turun dari langit, ia mengeluarkan sebuah kertas dari kantongnya. Aku melihat itu adalah sebuah undangan atau sejenisnya. Jantungku berdegup semakin kencang, ini bukan hal yang baik sepertinya.

“Tada! Minggu depan saya nikah Senara.” Ucapnya dengan senyum yang semakin lebar dan bahkan matanya sudah berbinar sekarang. Ya Tuhan, jantungku rasanya berhenti berdetak, tanganku gemetar ketika mengambil surat dari tangannya. Membaca tiap-tiap huruf yang tertera disana dengan mata yang memburam karena air mata.

“Nikah sama siapa Anggara?” Suaraku nyaris tidak keluar.

“Dia pacar saya, kami sudah lama ldr an karena dia harus kuliah di London. Sekarang dia udah balik ke Indonesia, dan saya tidak mau menunda untuk menikahinya. Karena setelah ini, saya pengen ngajak dia untuk pindah ke London. Seperti kemauan dia. Saya senang sekali Senara.”

Aku berusaha sebaik mungkin untuk menutupi semua hal yang bergejolak dalam hati dan pikiranku, dengan sekuat mungkin aku tersenyum di hadapannya. Dia sangat menggebu menceritakan tentang wanita itu, sedangkan aku patah hati disini.

Rumahku telah hilang.

Atau sebenarnya dia memang milikku sejak awal.

Aku hanya meminjamnya sementara dari wanita itu. Aku kini sendiri lagi, dan hujan semakin membuatku ingin menjauhinya.
Hujan kali ini, sama buruknya dengan hujan sebelumnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 13, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Oneshoot Story Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang