.
.
.
Lalu lintas pagi ini tidak terlampaui padat. Hanya memang di jam-jam berangkat kerja seperti ini, deretan kendaraan di belakang lampu merah akan lebih panjang dari biasanya.
Feng Zhou sekali lagi melirik pada tumpukan dokumen di bangku samping kemudinya. Menghembuskan nafas kasar berkali-kali untuk meredakan debar jantungnya. Hari ini semuanya akan berakhir! Kebohongan, manipulasi, dan kelicikan orang itu, ia akan membongkar semuanya!
Sang letnan segera menyambungkan ponselnya pada radio mobil ketika benda itu berdering. Mungkin itu adalah Tuan Choi yang mengabarkan mengenai keberangkatannya ke Korea siang ini.
"Halo Tu--"
"Pagi yang indah, Letnan. Sepertinya akan cocok jika hal besar terjadi hari ini."
Suara ini! Feng Zhou mencengkeram erat stir mobilnya saat menyadari jika yang menelponnya bukanlah Tuan Choi. "Jangan terlalu tegang Letnan. Bukankah semua sudah kau persiapkan dengan matang bersama si pria tua itu?" Suara kekehan terdengar di ujung kalimatnya.
Feng Zhou masih menahan diri untuk tidak bersuara. Meski sebenarnya ia cukup terkejut mendengar orang itu telah mengetahui rencananya bersama Tuan Choi. Tapi bisa saja itu hanya gertakan, Feng Zhou tidak akan mudah terpengaruh!
"Ah, sepertinya anda sangat membenci saya Letnan, sehingga sama sekali tak mau berbicara. Tapi tidak masalah, saya hanya ingin mengucapkan ... Hati-hati."
Bersama ditutupnya telfon, suara klakson nyaring terdengar dari samping kanan. Feng Zhou belum menyadari apa yang terjadi hingga tiba-tiba ia merasakan benturan keras pada mobilnya. Detik berikutnya semua seperti berputar seiring tubuhnya yang terasa remuk. Perlahan Feng Zhou membuka mata saat merasa guncangan itu berhenti, dari balik kaca mobilnya yang retak ia bisa melihat seseorang tengah tersenyum di seberang jalan. Letnan muda itu hanya bisa menghela nafas, tersenyum miris atas hidup mengerikannya yang sebentar lagi mungkin akan berakhir.
"Kau menang lagi, Tuan Xiao," lirih Feng Zhou sebelum suara dentuman dari tangki bensin mobil miliknya yang meledak membuat semuanya gelap.
ᕙ(⇀‸↼‶)ᕗ
Teru-teru-bozu, teru bozu.
Ashita tenki ni shite o-kure.
Sorete mo kumotte naitetara.
Sonata no kubi wo chon to kiru zo..Gadis berambut pendek itu mengakhiri nyanyiannya sambil menggoreskan spidol merah membentuk tanda silang kepada dua gambar lelaki yang berbeda. Dipandanginya kedua gambar yang tertempel bersama 27 gambar lain dengan tanda merah yang sama. Senyum sang gadis terlukis manis, namun juga mengerikan di saat yang bersamaan.
Puas memandang mahakaryanya, gadis itu kemudian berlalu dengan menyambar benda pipih di ujung meja.
"Semua sudah selesai, Master. Apa aku bisa kembali ke rumah sekarang?"
"Tentu saja. Kau bisa kembali ke Jepang kapanpun kau mau, Kumbang Kecil."
"Terimakasih, Master Sean."
ᕙ(⇀‸↼‶)ᕗ
"Ge?"
"Hmm? Apa kau terbangun karena suara Gege terlalu keras, Sayang?"
Pria berambut coklat itu menggeleng dengan mata terpejam. "Aku bangun karena Gege tidak memelukku," jawabnya sambil menduselkan wajahnya di perut sang kakak yang tengah duduk menyandar di kepala ranjang.
Yang lebih tua hanya tertawa gemas. Lalu membawa tubuhnya kembali berbaring.
"Siapa yang menelfon?"
"Seseorang bernama Yu Ren. Katanya ingin bertemu denganmu sebelum kembali ke tanah kelahirannya," jawab Zhan sembari mengecup bahu telanjang sang adik.
"Setelah tiga tahun menghilang tanpa kabar, sekarang tiba-tiba dia mengajak bertemu hanya untuk mengucapkan perpisahan? Benar-benar tidak sopan!"
Sekali lagi Zhan tertawa. "Tidurlah lagi. Ini masih malam."
"Mmm. Jangan lepaskan pelukan Gege."
"Tidak akan lagi dan tidak akan pernah, Sayang."
Tak butuh waktu lama untuk keduanya kembali terbuai mimpi dengan tubuh yang saling memeluk erat. Tidak merasa terganggu meski suara televisi yang tengah menayangkan berita larut malam tentang jatuhnya pesawat menuju Korea Selatan menggema cukup keras.
Entah karma mengerikan seperti apa yang menanti mereka di kehidupan berikutnya. Tapi di kehidupan kali ini, bolehkah mereka berharap untuk mendapat akhir yang bahagia?
~Selesai~