Chapter [ I ] Cry of the Outcast

17 4 0
                                    

=======[Dilarang Plagiat]=========
Hembusan angin sejuk menerpa desa kecil di pinggiran hutan, menyelusup melalui jendela kamar yang remang-remang. Di dalam gubuk sederhana, seorang wanita melahirkan bayi laki-laki yang akan dijuluki Ashalan. Namun, kebahagiaan yang seharusnya terpancar dari momen kelahiran ini ternodai oleh kehadiran seorang dukun tua yang membawa kabar buruk.

"Anak ini dilahirkan dengan tanda-tanda yang tak lazim. Kemampuannya bisa membahayakan kita semua," bisik dukun tua itu kepada kepala desa, yang mengangguk serius.

Tapi takdir Ashalan sudah ditentukan sejak lahir. Kemampuan langka yang dimilikinya, mampu membangkitkan perisai magis, menjadi kutukan di mata penduduk desa. Mereka menganggapnya sebagai tanda ketidakberdayaan dan kelemahan, bukan anugerah yang luar biasa.

Seiring waktu, cerita tentang Ashalan menyebar di desa, dan tidak lama kemudian, kehidupannya menjadi penderitaan. Ibunya meninggal saat melahirkan, meninggalkannya tanpa keluarga yang memahami. Bullying yang tak berkesudahan dari teman sebayanya menjadi lagu yang menyakitkan di setiap langkahnya.

Pada usia 12 tahun, Ashalan dipaksa bekerja di ladang oleh para petani setempat. Mereka menyuruhnya melakukan pekerjaan yang terlalu berat, tanpa memberinya istirahat yang layak. Bayaran yang diterimanya sangat rendah, mencerminkan pandangan masyarakatnya terhadap kemampuan magis yang dimilikinya.

Namun, penderitaannya tak berhenti di situ. Anak-anak sebaya terus membullynya, menyulut nyala kebencian di dalam dirinya. Setiap kali mereka mendekat, kata-kata cacian meluncur deras, merobek hati Ashalan lebih dalam lagi.

Suatu hari, ketika langit berwarna senja dan angin malam berbisik, Ashalan menjadi sasaran bullyan yang lebih kejam dari sebelumnya. Sejumlah anak muda mengepungnya di tengah desa, menghina dan mengejeknya.

"Hello, Ashalan! Pikirkanlah, apakah hidupmu sepadan dengan sihir bodoh itu?" teriak salah satu anak sambil melempar batu kecil ke arahnya.

Ashalan mencoba menahan tangisnya, tetapi rasa sakit itu terasa begitu dalam. Ia tidak bisa melawan fisik, tapi perasaannya hancur berkeping-keping. Salah satu anak lainnya menyindir, "Kau tak berguna! Bahkan sihirmu tak bisa menyelamatkan ibumu!"

Perkataan itu menjadi pukulan terakhir. Ashalan terjatuh ke tanah, hatinya terasa hancur. Ia merasa seperti tak ada tempat untuknya di dunia ini.

Penderitaan Ashalan terus berlanjut, menjadi kekerasan tak berujung di tempat kerja. Para petani yang merasa terancam oleh kemampuan magisnya memperlakukannya dengan kejam. Mereka memaksanya melakukan pekerjaan paling berat dan berisiko tinggi tanpa melihat kondisinya.

Pada suatu hari, ketika Ashalan mencoba menolak tugas yang melelahkan, kepala ladang, seorang pria kejam bernama Garret, memukulinya dengan kejam. "Kau beruntung kami membutuhkan tenaga ekstra. Tidak ada yang akan peduli dengan sampah seperti dirimu," ancam Garret sambil meludahi wajah Ashalan.

Setiap pukulan, setiap kata kasar, semakin menggiring Ashalan ke jurang keputusasaan. Kesedihan dan kemarahan bercampur dalam dirinya, dan keinginan untuk mengakhiri penderitaannya merayap perlahan.

Malam-malam sepi di gubuknya, Ashalan merenung tentang arti hidupnya yang terus disiksa. Pada saat-saat gelap itu, pikiran untuk mengakhiri hidupnya mulai menghantuinya. Ia merasa seperti dunia ini tidak memiliki tempat untuknya, dan keinginan untuk melarikan diri dari rasa sakit terus membesar.

Ashalan, yang semakin terjepit oleh keputusasaan, mendengar bisikan-bisikan kegelapan yang menggoda di telinganya. Suara-suara itu memujinya untuk mengakhiri penderitaannya, meyakinkannya bahwa kematian adalah satu-satunya jalan keluar dari kehidupan yang tanpa harapan.

Suatu malam, ketika langit gelap dan tanah bergetar karena hujan deras, Ashalan memegang sebilah pisau tua yang ditemuinya di gudang. Dia merenung sejenak, tangan gemetar, menggenggam keputusan yang mungkin mengakhiri segalanya.

Namun, takdir memiliki rencana lain. Saat Ashalan berdiri di ambang keputusan tragisnya, kilatan cahaya misterius muncul di depannya. Suara lembut yang tidak terlihat mengatakan, "Tidak usah takut, Ashalan. Kekuatanmu mungkin disalahpahami, tetapi masih ada makna yang lebih besar dalam hidupmu."

Ashalan, tercengang dan bingung, merasa ada sesuatu yang memberinya harapan. Apakah ini awal dari perubahan yang lama dinantikannya?

Hari-hari Ashalan terus seperti biasa, dipenuhi dengan pekerjaan yang melelahkan dan penindasan dari sekelilingnya. Para petani terus memanfaatkannya sebagai pekerja kasar, dan anak-anak sebaya tetap melanjutkan serangan verbal mereka.

Setiap langkah Ashalan di ladang dirasakan seperti beban berat yang tak terhentikan. Dengan setiap matahari terbenam, ketidakberdayaannya semakin terasa. Namun, di balik kelemahan yang terlihat, tumbuh kekuatan batin yang mengakar dalam hatinya.

Meski dianiaya, Ashalan memutuskan untuk menjaga hatinya yang rapuh dan membuktikan bahwa kekuatannya bukan kutukan. Dia menahan tangisnya di dalam gubuk kecilnya, meresapi kegelapan dan menyusun rencana untuk membuktikan nilai dirinya.

Di hari-hari gelap itu, Ashalan menemukan kekuatan dalam kesendirian. Dia memutuskan untuk menggali lebih dalam ke dalam dirinya sendiri, merenung tentang arti hidup dan kemampuannya yang unik. Meski tak dihargai oleh yang lain, dia mulai menemukan nilai diri dalam perisai magisnya yang dianggap kutukan.

Pada suatu hari, ketika anak-anak sebaya mencoba menyulutnya dengan ejekan, Ashalan memutuskan untuk memberikan reaksi yang berbeda. Alih-alih merespon dengan kemarahan, dia menjawab dengan senyuman. Tindakan ini membingungkan para penindasnya, namun di dalam dirinya, Ashalan tahu bahwa inilah cara dia membuktikan keteguhannya.

Dengan setiap hari yang berlalu, Ashalan mulai merangkul mantra diamnya, menyemangati dirinya sendiri dengan memikirkan bahwa suatu hari, kebenaran tentang kekuatannya akan terungkap. Meski dunia menolaknya, ia tetap bertahan, menjadi contoh keberanian di tengah kegelapan yang menyelimutinya.

Suatu hari yang kelam, tuduhan tak berdasar menimpa Ashalan.
Anak-anak seusianya dan bahkan beberapa petani menuduhnya mencuri barang-barang berharga.

Tanpa ada kesempatan untuk membela, Ashalan diadili secara sepihak di depan warga desa.
Kepala desa sebelumnya telah mencurigainya dan menghukumnya dengan berat bahkan tanpa mendengarkan penjelasan Ashalan.

Pada saat itu, hawa dingin menyelimuti desa kecil itu, mencerminkan ketidakadilan yang menggantung di udara.
Penduduk desa, yang dipenuhi amarah dan kebencian, memutuskan untuk menghukum Ashalan dengan brutal.

Mereka memukulinya tanpa ampun, menganggapnya sebagai ancaman terhadap ketertiban desa mereka.
Ashalan, yang terbiasa dengan kekerasan, menahan rasa sakit fisik dalam diam.

Setelah dipukuli secara brutal, Ashalan dijebloskan ke sel yang gelap dan sangat dingin.
Tembok-tembok ini menjadi saksi bisu ketidakadilan yang menimpa mereka.

Dalam kegelapan yang sunyi, semangatnya yang tadinya membara mulai memudar.
Terkena dinginnya sel dan kekosongan penjara, Ashalan merasa terisolasi dan kehilangan harapan.
Penderitaannya semakin dalam dan keyakinannya pada keadilan hancur.
Namun, dalam kegelapan yang mengelilinginya, ada secercah cahaya kecil yang mendesaknya untuk tidak menyerah sepenuhnya.

Pertahanan lama Ashalan mulai melemah di bawah tekanan kesepian dan ketidakadilan.
Meski tubuhnya kedinginan dan terluka, yang paling ia rasakan adalah runtuhnya keyakinannya pada kebaikan manusia.

Dalam kegelapan yang sunyi, Ashalan merenungkan makna hidupnya yang semakin kelam.
Terjerumus ke dalam situasi yang sangat dingin dan sepi, Ashalan menghadapi pilihan sulit: menyerah dalam keputusasaan atau menemukan kekuatan dalam ketidakadilan.

Selama keheningan, terdengar bisikan suara wanita yang lembut
Terjebak yang dalam kegelapan, dan semakin banyak api semangat yang padam.

Dalam kesunyian malam, ia mulai berpikir dan tidak ingin berharap pada manusia kembali dalam kesendirian.
Meski terisolasi dari dunia luar, ia menemukan dalam keheningan dan kesendirian sebuah ketenangan yang membantunya membangun kembali jiwanya yang layu.

Tetaplah mengikuti perjalanan Ashalan melalui penderitaannya yang penuh keputusasaan, dan saksikan bagaimana kekuatan magis yang pernah dianggap kutukan dapat menjadi katalisator untuk kebangkitannya.

Outcast's Shield of Destiny: A Zero's Triumph  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang