Chapter [ II ] Whispers of Desperation

8 1 0
                                    

========[Dilarang Plagiat]=======

Banyak malam telah berlalu sejak Ashalan dikurung di sel yang dingin dan gelap.Dalam kesunyian malam, saat desa kecil itu tertidur lelap, Ashalan duduk sendirian di pojok selnya.
Dalam kegelapan yang menyelimuti dirinya, pikirannya beralih ke dunia luar, sangat kontras dengan situasi saat ini.

Namun, malam itu, keheningan yang sedang berjalan Ashalan terganggu oleh suara langkah kaki ringan di luar selnya. Anak-anak sebaya yang sengaja menunggu malam untuk menuju sel ashalan.

Mereka sama sekali tidak mengerti atau bahkan mencoba memahami penderitaannya, datang untuk mengejeknya. Mereka melempar batu kecil melalui celah-celah besi yang memisahkan mereka dari Ashalan.

"Sihir bodohmu tak bisa menyelamatkanmu, Ashalan! Kamu hanyalah sampah!" teriak salah satu dari mereka sambil tertawa sinis.

Dalam Heningnya malam yang kembali, Ashalan kembali merenung dan mencari sebuah harapan karena ketika manusia tenggelam dalam kegelapan, dan keputusasaan hanya ingin mencari cahaya sekecil apapun cahaya itu.

Dia merasa seperti melawan arus yang begitu kuat, dan bunga semangatnya yang tumbuh kembali mulai layu. Rasa sakit dari ejekan dan lemparan batu itu menjadi begitu menyakitkan.

Dalam kesepian dan keputusasaannya, Ashalan merasakan dirinya hanyut di lautan malam yang tak berujung.Setiap provokasi, setiap batu yang dilempar ke arahnya seperti badai yang dahsyat.Semangatnya yang dulu membara seakan padam oleh hembusan dingin kebencian dari dunia luar.

Dia merasakan dirinya semakin tenggelam dalam ketidakpastian dan keputusasaan. Seiring waktu berlalu, Ashalan yang dulu begitu tegar mulai menyerah pada keadaan yang tak adil ini. Pikirannya melayang ke ujung jurang, dan dia merasa dirinya semakin tenggelam dalam gelombang penderitaan.

Hari-hari berlalu tanpa ada tanda-tanda perubahan. Ashalan terbaring lemah di sudut sel yang gelap, merasakan kelelahan fisik dan kekosongan batin. Tubuhnya yang kurus kering dan matanya yang semakin memudar mencerminkan penderitaan yang tak berujung

Suatu hari, tanpa peringatan, sipir datang ke sel Ashalan. Mereka secara brutal melenyapkannya, tidak memberinya kesempatan untuk memprotes. Ashalan lemah dan tidak bisa melawan.Mereka membawanya melewati gang-gang gelap menuju gerbang utama penjara.

Secara kasar, mereka mendorong Ashala keluar dari penjara dan membawanya ke sungai yang gelap. Ashalan yang tak punya kekuatan untuk melawan, terlempar begitu saja ke tepian sungai, terbawa arus deras. Tubuh lemahnya terasa tak berdaya melawan sifat kerasnya.

Terombang-ambing di tepi sungai, Ashalan mencoba merangkak keluar dari air. Tubuhnya yang lemah terasa berat, dan pakaian basah yang melekat membuatnya semakin kesulitan. Hanya suara gemuruh air yang mengalir menjadi saksi bisu atas penderitaannya yang terus berlanjut.

Ashalan melihat sebongkah kayu yang tertahan di tepian sungai, Ashalan mencoba mengatur posisinya agar badannya tertahan oleh kayu yang ada didepan. Kemudian badan ashalanpun tertahan oleh bongkahan kayu tersebut, dan ashalanpun mencoba ketepian sungai.

Ashalan tergeletak di tepi sungai, tak berdaya dan lemah. Kehidupannya yang tampaknya sudah tak memiliki harapan semakin terasa suram. Namun, di dalam dirinya, masih ada bara keinginan untuk bertahan. Dalam keadaan yang lemah dan terhempas, Ashalan merenung tentang arti hidupnya yang terus bergulir seperti air sungai di hadapannya.

Sementara Ashalan berbaring di tepi sungai, tubuhnya yang basah kuyup dan lemah, tiba-tiba cahaya bulan menerangi malam yang gelap. Suara gemuruh air sungai dan hembusan angin malam menciptakan suasana sunyi di sekitarnya.

Di tengah keputusasaannya, Ashalan merasakan kehadiran tak kasat mata di sekelilingnya. Sesuatu yang lebih besar dari dirinya, sesuatu yang memberinya kekuatan dan harapan. Sebuah suara lembut mencapai telinganya, "Jangan menyerah, Ashalan. Hidupmu memiliki makna yang lebih dalam dari yang kamu kira."

Meskipun tubuhnya terasa rapuh dan pikirannya masih terhantui oleh keputusasaan, Ashalan merespon suara itu dengan gerakan mata yang lemah. Di saat yang sama, Ashalanpun mulai tak sadarkan diri.

Tiba-tiba, seorang kakek tua muncul dari kegelapan malam. Tubuh renta namun penuh kebijaksanaan, kakek itu melangkah mendekati Ashalan.
menyingkirkannya dari tepian sungai yang dingin Dengan lembut, ia membungkus tubuh basah Ashalan dengan kain kering dan Dengan langkah-langkah hati-hati, kakek tua itu membawa Ashalan ke rumahnya yang sederhana di tengah hutan.

Di rumah kakek tua, Ashalani diperlakukan dengan penuh kasih sayang. Luka-lukanya dirawat dan dia merawat Ashala dengan perawatan yang sama seperti anaknya sendiri. Dia tahu penindasan, ketidakadilan dan keputusasaan yang menindasnya, Apa yang terlihat dari lukanya.

Banyaknya luka seperti kulit yang sobek, dan bernanah akibat pecutan, luka memar, beberapa tulang rusuk yang retak. "Sepertinya kau berundung masih bisa bertahan nak" gumam kakek tua yang sedang mengobati ashalan.

Kakek tua itu sangat berusaha mengobati semua luka yang ada di tubuh anak yang berumur 12 tahun tersebut." Entah apa yang menimpamu nak hingga kau diperlakukan seperti ini" gumam si kakek lagi.

Setelah kakek tua mengobati Ashalan,Suasana sunyi malam menyelimuti gubuk. Cahaya bulan temaram menerobos melalui celah-celah kayu dan menciptakan pola bayangan yang menari di dinding gubuk sederhana itu. Suara hembusan angin malam yang sejuk sesekali menyusup masuk, menggetarkan daun-daun kering yang menutupi atap gubuk.

Di Gubuk yang gelap, suara malam menjadi lebih jelas. Gemerisik dedaunan dan gemericik air sungai yang terdengar dari kejauhan menambah indahnya malam. Terkadang gemerisik lembut dedaunan atau bebatuan yang diletakkan di luar gubuk menambah rasa damai, seolah orkestra alami sedang tampil dalam keheningan.

Sebatang lilin setengah terbakar menggantung dari dinding, memberikan cahaya temaram yang menciptakan bayangan tari di sekitarnya. Sinarnya menyinari beberapa benda sederhana di dalam gubuk: sehelai tikar anyaman di lantai, beberapa alat tulis yang berserakan di meja kayu kecil, dan sebotol ramuan herbal yang tenang beristirahat di pojok.

Di keheningan malam itu, terkadang terdengar suara serangga malam yang bersahutan, menciptakan melodi alam yang khas. Itu seperti pertunjukan kecil di malam yang sunyi, yang hanya bisa dinikmati oleh yang bersedia mendengarkannya.

Gubuk sederhana itu menjadi tempat perlindungan dari kegelapan malam, tetapi juga menjadi saksi bisu atas berbagai perjuangan dan pikiran Ashalan. Suasana sunyi yang akrab, meskipun tenang, membawa beban kehidupan yang rumit dan penuh tantangan.

Dalam keheningan itu, wajah Ashalani tentang perjalanannya yang penuh liku-liku. Sinar bulan yang masuk melalui jendela menggambarkan wajahnya yang penuh pertimbangan. Keputusasaan dan harapan bersaing di dalam dirinya, menciptakan konflik yang tersembunyi di balik raut wajah yang lesu sangat terlihat walau dia sedang tidak sadarkan diri.

Suara hening malam itu, seakan memberikan panggung bagi pikirannya yang bergejolak. Meski sunyi, namun di dalam sunyi itu terkandung kekuatan dan keteguhan untuk melangkah lebih jauh. Suasana sunyi malam di dalam gubuk menciptakan ruang untuk refleksi, mempersiapkan Ashalan untuk perjalanan berikutnya dalam hidupnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 18, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Outcast's Shield of Destiny: A Zero's Triumph  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang