Bab 1. Gadis dengan Tiga Kaki

13 1 0
                                    


Anak kecil itu meringkuk bersembunyi di dalam lemari sembari menahan tangisnya karena melihat seseorang mencekik serta menusukan pisau dengan tidak manusiawi kepada ibunya.

Saat tubuh wanita paruh baya tersebut ambruk, terdengar suara tawa yang begitu puas. Seseorang itu bagai psikopat yang sudah berhasil membunuh mangsanya.

Anak kecil tersebut bersumpah akan membalaskan dendam kepada pria kejam yang telah membunuh ibunya.

Ia akan balas dendam!

******

"Sialan lo Bar, gue samperin ke rumah eh taunya lo udah di sini," ujar Raka.

Bara-seseorang yang dicari melemparkan sebungkus rokok kepada Raka.

"Gue gak ngerokok," tolaknya dengan melempar kembali sebungkus rokok tersebut kepada Bara.

Bara dengan tatapan mata tajamnya mendengus, temannya itu sangat munafik, kemarin saja ia melihat Raka merokok.

"Munafik anjing."

"Sekarang di kampus nyet, gue gak mau kena masalah ya," jawab Raka.

Albara Reynan Gibran adalah laki-laki yang dikenal sebagai pembuat onar di kampus, wajar jika ia sudah kebal dengan hukuman. Buktinya, sekarang ia merokok di area kampus tanpa rasa takut.

"Lo gak takut dikeluarin dari kampus? Gila, lo udah dikasih peringatan sama rektor langsung tapi lo tetep nekat. Gak kasihan sama Tante Ana, Bar?"

"Lo bisa diem gak si njing, bacot mulu."

Bara membuang putung rokoknya kemudian berjalan meninggalkan Raka yang membuat kupingnya sangat panas. Sedangkan Raka yang sudah terbiasa dengan sikap Bara hanya bisa membiarkan temannya itu bertindak semaunya sendiri.

Albara menyukai ketenangan, ia benci orang yang berisik. Dia orang yang datar, nyaris tidak pernah tersenyum ataupun tertawa, bahkan dalam setahun bisa dihitung beberapa kali ia tersenyum.

Tertawa adalah hal paling tidak berguna. Seseorang bisa saja tertawa tapi kita tidak tau apa isi hati mereka. Tertawa adalah kepalsuan.

Bara menghela napasnya kasar ketika melihat gadis dengan tongkat yang digunakan untuk membantu sang gadis itu berjalan, menghampirinya.

Ia sudah tau tujuan gadis tersebut datang kepadanya.

Pertama, gadis dengan tiga kaki tersebut akan menyapanya dengan sangat ceria dan hal tersebut membuat seorang Albara muak.

"Halooo Kak Baraa, selamat pagi," sapa gadis tersebut dengan ceria.

Gadis tersebut bernama Star, hanya Star, tidak ada nama panjang. Gadis tersebut entah kenapa selalu tersenyum berbanding terbalik dengan Bara.

Tanpa menghiraukan kehadiran gadis dengan tongkat tersebut, Bara tetap berjalan dan mempercepat langkahnya.

Kedua, gadis itu pasti akan mengerjarnya walaupun gadis tersebut kesusahan untuk mengimbangi langkah panjang milik Albara.

"Kak Bara, tunggu."

"Kak!"

"Kak Bara gak bisa denger aku ya?"

"Kak Albara!"

Beberapa pasang mata memperhatikan Albara yang dikenal sebagai pembuat onar. Sadar menjadi pusat perhatian, langkah kakinya berhenti. Jarak antara dia dan Star cukup jauh dikarenakan Star yang memakai satu kruk itu berjalan sangat lambat. Bara dengan terpaksa menunggu gadis itu berjalan menghampirinya.

Lagi-lagi gadis itu tersenyum hingga lesung pipitnya mencuat.

"Diem, bisa?"

"Makanya dengerin aku ngomong dulu dong."

Bara menatap gadis itu dengan tajam tapi yang ditatap tetap tersenyum tanpa ada rasa terintimidasi.

"Aku ditugasin sama Bu Ana untuk bimbing kamu ke jalan yang benar. Jadi, sekarang kamu dalam pengawasan aku. Oh iya, tadi aku lihat kamu ngerokok, kan aturan di sini mahasiswa tidak boleh merokok di area kampus, kamu lupa?"

Bara berdecih, "jalan yang benar? Lo aja gak bisa jalan dengan benar, masih aja tuh lo jalan dengan tiga kaki."

Star sudah lumayan lama mengalami kelumpuhan, salah satu kakinya susah digerakkan hingga ia terpaksa berjalan dengan bantuan kruk. Semuanya bermula sejak dua tahun lalu saat ia mengalami kecelakaan mobil bersama keluarganya, beruntung ia selamat walau kedua orang tuanya meninggal.

"Bukan Kak Bara emang kalau gak ngomong dengan mulut setajam itu. Kalau bukan aku, orang lain pasti udah sakit hati loh kak."

"Jadi lo mau ngelaporin gue karena ngerokok?"

Star menggeleng, "enggak, kalau aku ngelapor sekali aja pasti kamu udah dikeluarin dari kampus, jadi aku kasih kamu kesempatan. Setiap manusia harus diberi kesempatan kan?"

"Hanya manusia bodoh yang memberi orang lain kesempatan," ucap Bara meninggalkan Star yang masih kebingungan mencerna ucapan tersebut.

"Jadi maksud Kak Bara aku bodoh gitu?" tanya Star kepada dirinya sendiri.

****

Sepulangnya dari kampus, Star langsung menuju ke rumah sakit. Ia mempunyai adik yang masih harus dirawat intensif karena dari kecil adiknya itu mempunyai masalah jantung.

Alasan Star masih bersyukur walaupun ia divonis jika kaki kirinya lumpuh adalah karena adiknya mempunyai penyakit yang lebih parah, adiknya itu tidak bisa bertahan lebih lama lagi jika tidak segera mendapat donor jantung.

"Star?"

"Hai Bintang, aku di sini, maaf ya kali ini aku gak bawain apa-apa buat kamu."

"Apaan sih Tar, gue gak pingin lo bawain apa-apa buat gue. Gue yang harusnya minta maaf."

"Buat?"

"Selalu ngerepotin lo."

Melihat wajah kakaknya yang lelah, Bintang jadi tak tega untuk merepotkan kakaknya lebih lama.

"Gue pingin pulang Tar," pinta Bintang.

Star menggenggam erat tangan laki-laki yang notabene adalah kembarannya.

"Kamu gak usah khawatir soal uang untuk berobat. Aku ada kerjaan tambahan kok, aku disuruh jagain anaknya rektor biar gak buat onar lagi, bayarannya lumayan Bi. Uang peninggalan papah juga masih ada kok."

"Please?"

"Bi, kondisi kamu makin parah."

"Gue tau Tar, gue cuma pingin ngabisin waktu berdua sama lo. Apa ga boleh? Lagian kalo gue disini juga percuma Tar, gue tetep kaya gini."

Manik mata mereka saling bertemu, mereka saling berharap, mereka hanya tidak ingin berpisah.

"Aku bicarain dulu sama dokter ya."

Bintang tersenyum dan Star rindu akan senyuman itu. Bintang adalah segalanya bagi Star, tanpanya mungkin Star sudah tidak tahan lagi berada di dunia yang sangat kejam ini.

Mata sayu Star entah kenapa tiba-tiba mengeluarkan setetes embun bening. Ia mendongak dan dengan cepat menghapus air matanya karena tak mau sang adik melihatnya rapuh, tapi sepertinya Star terlambat.

"Tar, are you okay?"

"Ah tadi aku kayaknya kelilipan deh."

Bintang tau kembarannya itu berbohong.

"Don't be a liar."

"Tadi polisi yang nyelidiki kasus papah ngehubungi aku dan dia bilang kalau kasus kecelakaan Papah udah dinyatakan polisi murni kecelakaan dan mereka akan memberhentikan penyelidikan. Tapi aku yakin kalau itu bukan kecelakaan Bi."

"Orang seperti kita memang sulit untuk mendapat kebenaran, Tar."

Hidup Star dan Bintang tidak lagi sama setelah kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuanya terjadi. Mereka hanya berdua, hanya mereka yang bisa saling menguatkan lewat genggaman tangan, tak ada lagi kedua orang tuanya yang selalu menuntun dan memeluk mereka.

Lost StarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang