Anak yang masih berusia delapan tahun harus menyaksikan pembunuhan keluarga satu-satunya secara langsung, hanya ibunya yang anak itu punya tapi dengan kejamnya seseorang telah mengambil nyawa orang yang paling ia sayang.
Darah terlihat mengucur deras dari perut wanita paruh baya tersebut hingga mengotori ubin.
Anak itu ingin sekali memeluk ibunya untuk yang terakhir kali, ah tidak, ia harap ibunya masih hidup, ia harap ada keajaiban datang walaupun sangat mustahil.
Masih bersembunyi di dalam lemari dan melihat nyawa ibunya melayang dari celah pintu, anak itu samar-samar melihat seseorang yang entah kenapa sangat buram hingga ia tidak bisa mengenali wajah pria dengan perawakan besar itu.
Seseorang itu tersenyum puas, memberikan tas hitam besar kepada pria pembunuh.
"5 milyar yang kamu minta ada di sana, jika kamu tertangkap jangan bawa nama saya."
Si pembunuh itu memeriksa tas tersebut dan tersenyum sangat puas saat melihat bongkahan emas serta uang berada di dalamnya.
"Saya akan bertanggung jawab apapun yang terjadi."
Sumpah demi apapun anak itu akan membalas apa yang diperbuat para orang jahat tersebut setimpal dengan perbuatan mereka.
******
"Wah hebat, seorang Albara Reynan kalah dari Raka Arfian. Gue hebat banget." Raka tak henti-hentinya memuji dirinya sendiri saat menang pertama kali setelah banyak percobaan bermain game melawan Bara.
Raka melepas headphone-nya dan menghampiri temannya yang menjadi saksi kemenangannya setelah dua puluh kali kalah.
"Lihat kan? Lo belum tentu bisa menang dari Bara. Gue hebat, kan?"
"Lo emang hebat banget beda dari dua puluh game sebelumnya, gue bangga deh," jawab Zico-cowok dengan rambut blonde asli yang khas.
Raka tersenyum puas saat mendengar jawaban Zico.
"Gimana rasanya kalah Bar?" Tanya Raka dengan nada mengejek.
"Gimana rasanya pertama kali menang setelah dua puluh kali jadi pecundang?" Tanya Bara berbalik.
"Lo gak bisa apa nyenengin gue sekali aja, omongan lo itu benar-benar ngerusak suasana hati gue."
Bara hanya mengedikan bahunya acuh tak acuh.
Raka yang moodnya sudah lenyap akibat perkataan sahabatnya yang begitu menusuk pun bergabung bersama Zico yang sedang menonton film.
"Nyokap lo luang kapan Co?" Tanya Bara tiba-tiba.
Griselda-Ibu Zico adalah psikolog handal yang terkenal dengan julukan ahli mimpi, ia terkenal dengan terapi mimpinya atau dikenal dengan istilah hipnoterapi.
"Lo mau terapi lagi? Gue bisa atur jadwalnya."
"Heem, atur buat gue ya."
Zico menyatukan jari telunjuknya dengan jempol, pertanda setuju.
"Mimpi itu masih belum jelas Bar?" Tanya Raka.
"Gue ngelihat kelanjutannya tapi semua masih buram. Pembunuh sialan itu selalu ada di mimpi gue."
*****
Suasana tidak nyaman muncul saat satu-satunya anak laki-laki dari keluarga tersebut baru membuka pintu. Ia disambut dengan tatapan tajam dari wanita paruh baya yang biasa dipanggil ibu olehnya.
Bara tau kesalahannya kali ini, pasti gadis pincang itu melapor kepada ibunya yang sekaligus merangkap menjadi rektor di kampusnya jikalau ia merokok.
Tak memperdulikan tatapan tajam ibunya, Bara dengan santainya melangkah menuju kamarnya.
"Diam disitu Bara."
Bara menghentikan langkah kakinya.
"Sayang, Ibu kan sudah bilang jangan merokok di kampus. Kamu mau kalau Ibu di-cap sebagai rektor yang buruk dengan mempertahankan kamu yang melanggar aturan hanya karena kamu anak Ibu?"
Bara tetap bergeming di tempatnya. Ia tidak berniat menjawab ataupun menyangkal pertanyaan Ibunya.
"Bara, Ibu menyuruh Star untuk mengawasi kamu tapi kenapa kamu menolak, Nak?"
"Star ngadu?"
"Dia gak ngadu, Ibu liat sendiri kamu merokok Bara. Jadi Star tau kamu merokok? Ah kenapa anak itu tidak bilang ke Ibu?"
Bukannya menjawab pertanyaan dari Ibunya, Bara malah melanjutkan langkahnya.
Suara teriakan Ibunya yang memanggil namanya berulang kali tidak digubris olehnya
Ingatan tentang masa kecilnya membuat Bara tidak menaruh respek lagi terhadap kedua orang tuanya.
Saat usianya menginjak 9 tahun saat ia baru pulang sekolah tanpa sengaja ia mendengar percakapan kedua orangtuanya.
"Anak itu semakin lama semakin merepotkan," ujar Andre yang merupakan ayah Bara.
"Harusnya kita tidak mengambil anak itu dari panti asuhan."
Ucapan itu masih terdengar jelas dan terputar otomatis setiap harinya. Fakta ia bukan anak kandung dari keluarga itu membuat dirinya sangat berkecil hati apalagi ketambahan fakta jika kedua orang tua angkatnya tidak menginginkannya, hal itu sangat menganggu pikiran Bara. Ah, belum lagi ditambah mimpi yang mengganggunya setiap kali ia tertidur.
Bara meluruskan tulang punggungnya di ranjang miliknya. Ia sungguh lelah dengan hidupnya.
Andai saja ia tau siapa dalang dari mimpi buruk itu, andai ia tau siapa orang yang membuat hidupnya sekacau ini.
Tanpa sengaja tatapan Bara tertuju pada foto keluarganya. Ayahnya tersenyum berwibawa lalu tatapan mata Bara tertuju pada ibunya yang juga tersenyum sangat manis. Mereka semua tersenyum bahagia tapi semua itu senyum palsu.
Wajar jika kedua orang tua Bara terbiasa menampilkan senyum palsu. Mereka adalah orang penting. Andre-ayahnya adalah seorang pejabat tinggi negara sedangkan Juana-ibunya adalah seorang rektor di kampus terkenal yang bahkan kampus tersebut masuk peringkatnya 30 besar dunia.
Mereka harus menjaga nama baik keluarga, mungkin hal itu juga menjadi alasan Bara tidak dikembalikan ke panti asuhan walaupun mereka tidak suka, alasannya karena kedua orang itu sudah terlanjur mengadopsi dan mengumumkannya kepada media, mereka tidak mau reputasi keluarga hancur hanya karena anak panti asuhan. Kedua orang tua angkatnya gila reputasi.
Ia sungguh membenci keluarga palsu ini.
Bara meraih foto keluarga yang terletak di nakasnya kemudian ia simpan di laci. Ia tidak ingin melihat keluarga palsunya.
"Anjing," umpatnya.
******
Panti Asuhan Guardian beberapa tahun yang lalu.
Setelah diumumkan bahwa panti asuhan tempat ratusan anak mendapat tempat tinggal dan kasih sayang itu harus tutup karena masalah dana yang tidak mencukupi, maka keadaan di panti sungguh sangat kacau.
Salah satu anak yang berada di panti asuhan itu hanya terduduk lesu, bukan karena berita ditutupnya panti tapi karena ia tidak ingat apapun sejak minggu kemarin, ia hanya mengetahui namanya tanpa memori masa lalunya. Ia mengalami kecelakaan saat bermain di sekitar panti sehingga didiagnosis mengalami lupa ingatan.
"Halo Bara," sapa salah satu temannya.
"Apa?"
"Aku denger dari ibu panti kalau kita gak bakal satu panti lagi, kamu sama aku dioper ke panti yang beda"
Jujur Bara sedih mendengarnya, anak laki-laki di sampingnya itu adalah teman satu-satunya, ia juga yang membantu mengingat memori masa kecilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost Star
Mystery / ThrillerMimpi sialan itu terus menghantui Bara. Ambisinya untuk menemukan pembunuh itu sangat besar. Ia harus menemukan pembunuh itu, ia harus balas dendam. Namun, ambisinya itu malah membuatnya kehilangan bintang.