STEAK [BAB 4]

40 5 1
                                    

[Seminggu setelah malam itu]

Rumah mewah Mbok Darmi sudah di hiasi ornamen pernikahan, dua Janur kuning sudah berada di depan gerbang masuk di pelataran yang luas, panggung pewayangan dan tempat resepsi pun sudah tertata rapi. Sena diam di kamar menatap hampa keluar jendela, melihat para jongos sibuk kesana kemari, Sena sudah tidak bisa menangis lagi, dia memegang belasan surat dari Mahesa yang sengaja tak dia balas.

"Ndoro, ini saya.. Tantri" suara Tantri sang calon pengantin membuyarkan lamunan Sena, dengan nada tak sudi sena menjawab wanita jawa cantik jelita itu, "masuk saja, apa yang kamu inginkan.. Tantri?" Sena memasukkan belasan surat itu di laci meja dan Tantri melihatnya, wanita itu awalnya akan bersandiwara dan meminta maaf namun berubah saat tau calon suaminya masih berkiriman surat dengan pria di hadapannya, rupanya cinta itu masih belum lenyap. "Ndoro, saya ingin sampeyan dan mas Mahesa berhenti bersama" Sena yang awalnya sibuk menata surat surat Mahesa langsung menoleh dengan tatapan tajamnya.

"Bukan karena maksud apa.. saya akan menjadi istri Mas Mahesa, saya tidak mau suami saya masih membagi cinta dengan orang lain" tambah Tantri, luka hati Sena ibarat luka basah yang di tetesi jeruk nipis, pedih.. sangat perih. "Jangan khawatir, Tantri. Kisah ku dan Mahesa sudah usai, seperti yang nenek dan masyarakat inginkan.. dia milikmu sekarang" Tantri yang mendengar jawaban ini pun langsung tersenyum lebar tanpa memikirkan perasaan Sena, dia kemudian menggenggam tangan kanan Sena dan dengan mata berseri seri Tantri menatap Sena. "Saya benar benar berterimakasih, Ndoro.." semenit kemudian dia pergi meninggalkan Sena yang terpaku. Dia menatap tangannya lalu sebuah batu sebesar biji salak menghantam kaca kamar Sena, di susul Mahesa yang mengendap - endap mendekat.

"Psst.. Ndoro, Ndoro Sena, buka jendelanya. Ini saya.. Mahesa" dengan panik Sena membuka jendela itu, bagaimana dia tak panik jika Centeng milik Mbok Darmi berpatroli kesana kemari. Tapi kok bisa Mahesa lolos dari para banteng mata duitan itu?

"Mahesa! Kenapa kamu kesini?! Kalau ada yang lihat bagaimana?!" Mahesa membekap mulut Sena dan memberi isyarat jari telunjuk di bibir seksinya. "Saya datang karena saya khawatir, sudah seminggu saya berusaha menghubungi Ndoro. Tapi tak satupun surat dari saya dijawab, tak pernah seharipun saya tidak memikirkan Ndoro" di akhir ucapannya, Mahesa mengecup mesra kening Sena, menangkup wajah Sena dengan dua telapak tangannya dan membelai pipi Sena dengan ibu jarinya, Sena memejamkan mata dan membiarkan rindunya terkikis habis dengan kedatangan Mahesa.

Kening Mahesa bertemu kening Sena, Sena sedikit mendongak menyesuaikan dengan Mahesa yang lebih tinggi darinya. Mahesa melihat betapa kejam dunia memperlakukan kekasihnya, Sena semakin kurus sejak terakhir bertemu. Bibir mereka kembali bertemu, rasa manis itu tak lama bercampur rasa asin air mata Sena. "Bawa saya pergi.. kemanapun tak apa asalkan ada kamu, saya tidak keberatan.. saya akan belajar menjadi petani.. kita akan beli sebuah rumah dan tak ada yang tau siapa kita, saya mohon Mahesa.. saya tidak kuat melihat kamu bersama wanita lain, saya tidak bisa.." rengek Sena sembari memeluk erat Mahesa seolah pria tampan ini akan hilang begitu dia membuka mata.

"Maaf Ndoro, saya tidak bisa" suara Mahesa terdengar tak berdaya, dia mengecup puncak kepala Sena. "Mbok Darmi pasti akan melakukan apapun untuk menangkap kita, ndoro.. lihat mata saya" mata mereka bertemu, "di kehidupan ini kita tak bisa bersatu, jika ada kelahiran kembali.. tolong jadilah istriku" dijawab anggukan oleh Sena, mereka kembali berciuman sebelum ketukan pintu membuyarkan kemesraan mereka dan Mahesa kembali pergi.

Mahesa datang ke Restoran William, restoran itu tengah tutup karena hari ini William mengajari anak anak desa, iya pria berdarah Belanda itu rutin mengajar anak anak dan memiliki banyak penggemar. "Hai Liam.." William menoleh lalu segera mendekati Mahesa, dia menyangga tubuh Mahesa yang hampir ambruk ke tanah. "Anak anak, kalian boleh bermain dulu..nanti aku akan memanggil kalian. Mengerti?" Anak anak dengan semangat mengangguk lalu di ruangan itu hanya ada William dan Mahesa. "Buka pakaian mu, idiot.." William mengambil kotak obat dan membuka gulungan perban. "Aku berhasil menemui Sena" Mahesa menyingkap kaosnya dan terlihatlah sebuah perban melilit pinggangnya.

"kalian dua pria dimabuk asmara, aku tidak mengerti jalan pikiran mu,bung. Kemarin Centeng Wanita tua sialan itu menusuk perutmu dengan golok.. lalu kau nekat kembali lagi dengan luka basah seperti ini hah? Kau mau mati perjaka?" Keluh William kesal sambil membuka perban itu dan terlihatlah luka sabitan yang cukup panjang di perut Mahesa, Mahesa meremas pundak William karena rasa perih ketika betadine di oleskan ke lukanya menggunakan kapas. "Sial... pelan pelan Liam, kau seperti akan membunuh ku.. hngh!" William hanya terkekeh melihat sahabatnya yang berbadan kekar namun tengah merengek padanya seperti bocah. "Jangan mendesah, bodoh.." William kemudian membalut perban di luka Mahesa dan Mahesa mulai menceritakan pertemuannya dengan Sena.

"Semenarik apa dirimu, Sena.. sampai sampai pria ini rela menahan sakit dan mempertaruhkan nyawa hanya untuk melihat mu"  Ucap William dalam hati

"Sudah selesai, kau mengganggu kelas ku" keluh William lalu membereskan kotak obatnya, "aku tak tau harus pergi dan meminta bantuan pada siapa, hanya kau yang ku ingat. Sobat" Mahesa turun dari meja dan memeluk temannya yang tampan itu lalu mereka terkekeh. "Kau memang mengingat ku hanya saat kau dalam masalah, bung" mereka berdua memiliki kesamaan yaitu tidak memiliki keluarga, sudah kebiasaan Mahesa akan datang mencari William jika dia terluka atau membutuhkan pelukan keluarga, namun di otak William hanya ada satu pemikiran..

"Jika saja kau wanita.. sudah ku hidangkan kau di piring sebagai menu terindah ku" begitulah isi pikiran William, sang predator yang ahli memanipulasi korbannya. Pria yang terkenal karena kebaikan hati, ketampanan dan kejeniusan nya ini menyimpan rahasia kelam. Setelah Mahesa pergi dan anak anak menyelesaikan kelas mereka, malam mengambil alih dan diri William yang lain muncul. Dia memakai setelan rapi dan menuruni anak tangga di lorong bawah tanah rumah mewah miliknya, ada banyak toples kaca berisi organ manusia berjajar rapih dari mata hingga jantung, dia bersiul sambil memakai sarung tangan medis dan membuka bungkusan plastik di peti penuh garam.

"Hmm.. daging ini nampak bagus" jari jemari William menekan dan membelai sepotong daging yang masih berlumuran darah dan penuh urat nadi dan otot. "Aku harus berburu lagi.. ah mari kita lihat, siapa wanita yang sudah ku catat untuk kencan besok~" darah membasahi ujung sarung tangan medisnya, dia membuka kalender di dinding dan nama nama para gadis tercatat di sana. "Ratni... Surti... ah wanita wanita ini menempel seperti kuman, aku mual mencium parfum mereka, bibirnya pun terasa seperti kosmetik.." setelah dia berkata seperti itu, tiba tiba saja dia menyeringai. Dia mengingat ucapan Mahesa ketika menceritakan Sena.

"Seperti apa rasa bibir mu... tubuhmu... darahmu... air matamu... aku menginginkan mu, Antasena Aji Rajasa"

STEAK [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang