Chapter 2

7 2 0
                                    

Markas terlihat seperti sebuah perkampungan dengan pola berbentuk lonjong melingkar dengan api unggun raksasa sebagai pusatnya. Bangunan-bangunan yang kebanyakan dari tenda berjajar rapi sampai ke ujung dekat kaki bukit. Orang-orang berlalu lalang mengerjakan tugas masing-masing. Semua kalangan terlihat, bahkan anak kecil sekalipun—mereka bertugas untuk meramaikan markas dengan canda tawa dan jiwa polos tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi di luar sana.

Alpi dan Raz memasuki tenda yang cukup besar. Tempat itu berada tepat dua tenda sebelum api unggun raksasa yang kini sedang mati. Memasuki tenda, mereka langsung disambut oleh bau obat-obatan yang menguar. Ada meja dan kursi resepsionis serta sofa untuk pasien yang datang. Ruangan itu hanya dibatasi oleh kain tipis yang hampir transparan. Di belakangnya ada sekat-sekat yang terbuat dari kain sebagai batas antar kamar pasien. Raz membuka salah satu kain penutup itu dan langsung membaringkan si pemuda tak berdaya di ranjang yang tersedia.

"Apa kau tidak heran, Pi?" tanya Raz sambil memperhatikan keadaan orang yang baru saja membuat lengannya pegal.

"Kenapa?" Alpi bertanya balik sembari mempersiapkan peralatan medis. Tas besar yang dibawanya sudah disimpan di dekat pintu masuk.

"Dia masih hidup untuk ukuran orang yang terluka parah."

"Itu mungkin karena pertolongan pertamaku."

Raz berdecak sebal. "Yang benar saja."

"Daripada kau berdiri tidak ada kerjaan, lebih baik panggilkan kekasihmu untuk membantuku."

"Berhati-hatilah. Kau tidak tahu dia siapa dan berasal dari mana," ujar Raz sambil keluar tenda. Alpi hanya bergumam sebagai tanggapan.

Alpi terus memilih peralatan yang sekiranya dibutuhkan. Mulai dari kapas, alkohol 70%, gunting bedah, alat jahit, obat merah, dan alat-alat lainnya. Syifa yang tidak lain adalah paramedis selain Alpi sekaligus kekasih Raz yang dimaksud datang ketika si Bocah Dokter membersihkan peralatan yang akan digunakan dengan alkohol.

"Alpi, kau sudah pulang!" kata seorang gadis berkerudung abu-abu panjang sampai dada dengan pakaian gamis senada yang menutupi seluruh tubuh langsingnya.

"Hai, Sis," sapa Alpi.

"Dan kau membawa ... pasien."

"Ya, dan kau pasti sudah mendengar ocehan Raz tentangnya."

"Um, ya ...."

"Sis, kita masih punya kantung infus? Ayolah, kita harus bergerak cepat!"

"A-ah, iya!"

Syifa langsung mengambil alih tugas Alpi yang sedang menyiapkan peralatan. Sebagai gantinya, bocah itu memeriksa keadaan pasien dimulai dengan membuka seluruh pakaiannya sampai hanya tertinggal dalaman saja. Syifa bahkan harus menutup mata saat si Bocah Dokter melakukan itu semua.

Setelah kedua paramedis itu memakai masker dan sarung tangan lateks, Alpi memulai perawatannya dengan membersihkan luka-luka si pemuda menggunakan kapas yang telah dicelup alkohol. Suara erangan kecil sesekali terdengar. Rupanya pemuda itu masih sanggup bertahan dengan keadaannya yang demikian.

Butuh waktu kira-kira dua jam untuk melakukan perawatan dan operasi untuk menjahit luka di beberapa bagian tubuh si pasien. Selama itu berlangsung, Raz sesekali masuk dan melihat keadaan mereka semua. Keringat terlihat membasahi wajah Alpi dan Syifa ketika mereka melakukan pekerjaannya.

"Aku takut dia tidak akan selamat," kata Alpi setelah mengatur keran infus yang tersambung ke punggung tangan kanan si pemuda. Bocah itu melihat pasiennya yang terbalut banyak perban dengan ragu. "Dia kehilangan banyak darah dan kita tidak bisa menyediakan transfusinya."

Feniks (Arsip)Where stories live. Discover now